Jangan Pernah Melupakan Tuhan

Konten Media Partner
15 Juni 2018 16:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin). Tulisan ini opini pribadi yang dikirim untuk banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id - Kala kondisi ekonomi makin mencekik dan manusia minim nalar dan rasa, maka keberingasan pun meledak. Potret itu bisa Anda lihat di layar kaca atau baca di media cetak. Mereka gampang marah dan anarkis. Tersangka maling yang diamankan polisi pun direbut untuk dihakimi agar jera.
Sepertinya, semakin banyak orang salah paham terhadap dirinya sendiri hingga menganggap diri pribadi paling penting, paling layak diurus, harus paling selamat, paling kaya, dan paling kuasa. Kesalahpahaman itu kadang begitu sengitnya pada level anarkis hingga menganggap orang lain sama sekali tidak penting, tidak berhak hidup bersama, tak berhak menjadi pesaing, dan berujung tak boleh memiliki hak hidup.
Maka atas nama kecintaaan diri sendiri, orang lain harus dihapuskan. Masya Allah! Padahal mari kita tengok posisi orang lain itu dalam hidup kita. Kita lihat siapakah yang lebih penting antara orang lain dan diri sendiri, serta siapakah diri sendiri dan siapa orang lain.
ADVERTISEMENT
Banyak orang menyangka bahwa diri sendiri berbeda dengan orang lain, sehingga setiap pribadi manusia sering memanjakannya lewat tumpukan ego. Sekarang marilah kita lihat fakta-fakta berikut dan mari dibuktikan sesungguhnya penumpukan ego secara berlebih justru bunuh diri secara perlahan.
Kita ambil contoh kasus seseorang yang bernafsu menumpuk kekayaan pribadi. Dari mana sejarah penumpukan ini dimulai? Pada awalnya , bisa saja ia berangkat dari filosofi sederhana: untuk sanggup menolong orang lain, harus kuat menolong diri sendiri dulu.
Sebelum kuat memberi orang lain, diri sendiri harus lebih dulu memiliki materi. Filosofi ini benar dan bisa dimengerti. Yang kurang diperhatikan kita: apapun kehebatan filosofi itu, kalau diperas, muaranya tetap saja kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Dari sana sebenarnya tafsir terhadap diri sendiri bisa tergelincir sedemikian rupa. Terbukti, banyak pemakai filosofi ini akhirnya menjadi pihak yang tak cuma cukup dengan ‘sekadar memiliki’ tapi harus ‘banyak memiliki’, lalu berkembang lagi menjadi ‘memiliki amat banyak sekali’ dan akhirnya ‘semua ingin dimiliki’.
Sepertinya masalah dan keinginan manusia tak pernah habis. Apalagi jika hasrat itu tak terkontrol. Biarpun harta segunung, misalnya, tak pernah merasa cukup. Kendati pangkat memberati pundak, misalnya, masih tak puas.
Alih-alih tenteram, yang mencuat justru keserakahan. Memang manusia boleh melakukan apa saja asal wajar. Mau jadi koruptor, kolutor, manipulator boleh saja, asalkan wajar. Manusia boleh keliru, boleh jahat, dan rakus sepanjang tidak keterlaluan.
Alam sebetulnya sangat toleran terhadap kesalahan manusia sepanjang ia belum menjadi kebiadaban. Tetapi betapa sulitnya manusia menempati kewajaran. Kalau ia korupsi, harus banyak sekali. Jarang manusia mau berhenti dalam takaran biasa-biasa saja. Manusia selalu ingin menjadi luar biasa, bahkan dalam melakukan ketololan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Solusinya? Mudah dan sederhana. Hati diajak dialog agar tak membatu. Jujur pada diri sendiri. Sebab menyalahkan orang lain—untuk penderitaan sendiri—niscaya hanya menambah satu penderitaan lagi. Koreksi batin.
Mengapa kesusahan demi kesusahan menghampiri kita? Mengapa penyakit datang? Dalam kekusutan hidup pasti terkandung pesan dan hikmah. Ketika kita merugikan orang lain, kita sendiri nantinya yang merugi kemudian hari. Kalaupun menyusahkan orang, kita sendiri pula yang menanam kesusahan itu. Jadi, penyebab utamanya bersumber pada diri sendiri. Kita sendiri yang mengundang permasalahan.
Perbuatan buruk yang kita lakukan justru akan mengantar kenestapaan, yang mungkin malah berkepanjangan. Tiada manusia yang bisa lolos dari kejaran akibat kebusukannya. Maka benar kata orang bijak bahwa sebelum menguatkan orang lain, pribadi manusia harus menguatkan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Tetapi yang terjadi kemudian, penumpukan kekuatan ini tak cukup cuma sekadar kuat, melainkan harus menjadi begitu kuat, kuat sekali, amat sangat kuat sekali dan akhirnya semua kekuatan harus dimiliki.
Hal yang tak pernah kita duga ketika orang yang mulai dianggap kuat, malah menjadi pihak yang lemah. Maka mulailah manusia yang merasa kaya perlu membangun tembok tinggi, manusia yang terancam karena popularitas perlu membangun tempat bersembunyi dan menumpuk musuh karena kekuatan politik perlu memiliki bodyguard.
Jika ditelisik, tembok tinggi, tempat sembunyi hingga tentara pribadi itu adalah produk kecemasan. Lebih jauh lagi, rasa cemas itu bersumber dari kepemilikan, entah itu berupa kekayaan, ketenaran, hal yang dicari manusia dengan segenap kerja keras, segenap ambisi, keringat , air mata, dan darah.
ADVERTISEMENT
Kalau kembali harus mengusut, ternyata baru terbukti betapa konyolnya manusia. Betapa yang dicari selama hidupnya dengan segenap kerja keras dan ambisinya itu, tak lebih cuma berupa kecemasan. Jadi, ego yang diagung-agungkan nyatanya cuma berujung takut dan cemas. Sekarang baru tahu betapa penumpukan ego sebetulnya adalah yang sangat destruktif. Situasi Indonesia saat ini sebetulnya adalah bukti, betapa penumpukan ego para pejabatnya telah membuahkan akibat yang dramatis.
Satu hal yang harus segera dikembalikan ke tengah bangsa ini adalah pentingnya apresiasi hak hidup orang lain. Orang lain dan diri sendiri ibarat dua sisi mata uang. Membunuh salah satu sisi tak beda membunuh semuanya. Maka mencintai diri sendiri tanpa mencintai orang lain adalah ketololan kita.
ADVERTISEMENT
Maka wejangan Gus Mus—panggilan akrab Mustofa Bisri—dalam acara Mata Najwa menemui relevansinya: “Kita terus berdoa mudah-mudahan kita terutama para pemimpin kita tidak melupakan Tuhan. Orang yang melupakan Tuhan akan dibuat Tuhan akan melupakan diri sendiri. Lupa diri kalau dia orang Indonesia. Lupa diri kalau dia orang beragama. Lupa diri kalau dia panutan. Jadi jangan pernah lupa Tuhan betapapun kemampuan Anda, betapapun kehebatan Anda. Karena kalau lupa pada Tuhan, akan dibuat Tuhan lupa diri.”
Foto: Pixabay