Kata Masyarakat Dayak soal Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Selatan

Konten Media Partner
16 Juli 2019 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suku Dayak Meratus menggelar ritual Aruh Basambuk di Balai Adat Malaris, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Foto: dok banjarhits.id
zoom-in-whitePerbesar
Suku Dayak Meratus menggelar ritual Aruh Basambuk di Balai Adat Malaris, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Foto: dok banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, Yulius Tanang, meminta kesigapan pemerintah pusat dan daerah dalam mengiringi rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Selatan (Kalsel). Provinsi Kalsel merupakan satu dari tiga provinsi yang digadang jadi ibu kota negara, selain Kalteng dan Kaltim.
ADVERTISEMENT
Menurut Yulius, warga adat Dayak bersikap terbuka terhadap rencana ibu kota negara di Kalsel, asalkan pemerintah memberi pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat. Yulius merespons rencana pemerintah pusat memindahkan ibu kota negara ke Kalsel saat dialog nasional bersama Kementerian PPN/Bappenas di Banjarbaru, pada Senin (15/7).
"Kalau mau pindah ibu kota, ya akui juga kami-kami orang Dayak di Pegunungan Meratus. Kami minta pengakuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten saja dalam bentuk peraturan daerah," kata Yulius Tanang kepada banjarhits.id.
Menurut Yulius, ada sekitar 171 komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tersebar di 8 kabupaten di Kalsel. Meski jumlahnya ratusan, semua komunitas itu belum satupun mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Yulius menjamin kalangan masyarakat adat siap menerima keputusan pemindahan ibu kota, sekalipun itu di Kalsel. Sebab, kata dia, hal ini demi kemajuan bersama. Namun, jika kebutuhan masyarakat adat dikesampingkan, Yulius khawatir masyarakat adat menilai pemindahan ibu kota sebagai suatu kesalahan.
ADVERTISEMENT
"Intinya ibu kota pindah, kearifan lokalnya tetap harus dijaga. Jangan sampai (karena tidak ada perlindungan) budaya kami seperti ladang berpindah, ritual-ritual lain jadi hilang. Padahal itu merupakan hubungan kami dengan leluhur," ujar Yulius.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Taufik Arbain, belum melihat ada konflik akibat gesekan sosial budaya di tengah masyarakat Banua. Hal ini mendorongnya optimistis Kalsel bisa menjadi acuan untuk menjadi lokasi ibu kota negara.
"Terkait apakah masyarakat Banjar terbuka atau tidak, saat ini saya belum ada menemukan ada fakta atau data yang menunjukkan konflik yang besar (di Kalsel). Jadi, tidak perlu takut apakah nanti akan mendegradasikan wilayah keagamaan dan adat mereka," kata dia.
ADVERTISEMENT
Adapun Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, optimistis provinsinya bisa menjadi pilihan hati pemerintah pusat untuk menjadi ibu kota baru. "Kalau kami membuka peta lalu melipatnya, Kalsel akan terlihat menjadi posisi sentral," kata dia.
Selain itu, Sahbirin mengatakan Kalsel memiliki daya dukung infrastruktur yang mumpuni untuk dijadikan ibu kota negara. Ada beberapa bandara yang dioperasikan seperti Bandara Warukin, Bandara Syamsudin Noor, Bandara Bersujud, Bandara Gusti Syamsir Alam, dan Bandara Mekar Putih.
Kondisi pelabuhan di Kalsel juga siap digenjot untuk mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Di Kalsel, Sahbirin menyebut ada Pelabuhan Samudera Batulicin, Pelabuhan Nasional Trisakti, Pelabuhan Stagen, dan Pelabuhan Internasional Mekar Putih.