Konsep BLUM dan BPJS

Konten Media Partner
14 Desember 2018 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konsep BLUM dan BPJS
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Sesungguhnya bagi mereka yang bergerak dalam manajemen layanan kesehatan umumnya paham akan konsep BLUM. Konsep yang sudah berumur puluhan tahun itu menjelaskan bahwa status kesehatan seseorang itu dipengaruhi oleh genetik penduduk, efektivitas pelayanan kesehatan, perubahan perilaku masyarakat, dan perubahan lingkungan sekitarnya. BLUM bahkan jelas-jelas mengatakan bahwa faktor perilaku dan lingkungan lebih berperan dibanding pelayanan kesehatan.
di era BPJS, konsep BLUM justru lebih relevan. Perilaku kita yang belum menjaga kesehatan, menghambur- hamburkan sumber daya alam seperti penggunaan gas fosil dan air bersih, kebiasaan membuang sampah sembarangan, termasuk sampah plastik, memicu pelayanan kesehatan sia-sia.
Perubahan lingkungan seperti pemanasan global, polusi udara, air dan tanah, sebagai dampak perilaku masyarakat umum, maupun segelintir orang yang mempunyai kekuasaan, menyebabkan kita terpapar pada penyakit baru, di samping penyakit menular yang masih setia menemani kita. Kalau kita memahami konsep BLUM maka pemahaman itu semestinya dicerminkan dalam tataran praktis.
ADVERTISEMENT
Cerminan pertama adalah mengonkritkan konsep itu dalam program kesehatan. Memang, sekilas dilihat pada tingkat ini, konsep itu sudah menjelma dalam program-program yang relevan. Misalnya, kalau kita menggunakan alokasi anggaran Kementerian Kesehatan sebagai patokan maka ada alokasi untuk promosi dan pemberdayaan masyarakat, lingkungan sehat, upaya kesehatan, dan penyediaan obat (pelayanan kesehatan kuratif) di samping yang lain-lain. Tetapi, kalau dilihat dari besarnya alokasi anggaran dan defisit yang terjadi di era BPJS, karena fokusnya masih pada pelayanan kesehatan kuratif.
Lebih dari separuh anggaran BPJS digunakan untuk pelayanan kesehatan kuratif. Artinya, pemerintah menghabiskan uang banyak dan waktu berpikir tentang bagaimana mengobati penyakit serta menanggulangi wabah epidemik yang terjadi di masyarakat. Sudah pasti pengobatan penyakit akan terus meningkat dengan semakin meningkatnya angka kematian akibat penyakit bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Padahal, semestinya fokus upaya penanggulangan penyakit perlu melalui strategi promosi dan prevensi kesehatan di semua lini, sehingga insiden serta prevalensi penyakit makin lama makin berkurang. Sambil menunggu semua itu, pelayanan kesehatan kuratif memang harus dilakukan untuk mengobati mereka yang terlanjur sakit.
Cerminan kedua adalah dalam penyediaan tenaga. Kalau kita menggunakan konsep BLUM maka logikanya kita harus berfokus pada penyediaan berbagai jenis tenaga yang diperlukan agar perilaku orang perorang maupun masyarakat ke arah perilaku sehat maupun tenaga yang relevan agar lingkungan kita bisa lebih sehat.
Sebuah kajian tentang tenaga kesehatan di Indonesia menyatakan bahwa ketenagaan kesehatan nasional saat ini menghadapi berbagai masalah kecukupan, distribusi, mutu, dan pengembangan profesi. Tenaga kesehatan belum mencapai jumlah yang diinginkan, distribusinyapun kurang merata, kompetensi tenaga kurang memadai, dan pengembangan profesi yang masih belum sesuai harapan.
ADVERTISEMENT
Kajian itu juga menyimpulkan bahwa kekurangan tenaga terjadi pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada epidemiolog, teknis medis, rontgen, penyuluh kesehatan masyarakat dan dokter spesialis. Masalah utama ketenagaan adalah terbatasnya formasi dan kemampuan pendanaan, serta proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan.
Kalau kita perhatikan, fokus pemerintah selama ini masih pada tenaga pelayanan kesehatan dalam arti kuratif/pengobatan. Pada umumnya, tekanannya hanyalah pada jumlah dan distribusi tenaga medis. Sering kali pembicaraan hanya pada distribusi dokter umum atau bahkan dokter spesialis.
Padahal agar pelayanan bisa berjalan baik, dokter saja tidak cukup. Agar sehat, kita butuh tenaga penyuluh kesehatan: berapa yang dibutuhkan di Indonesia? Berapa yang ada sekarang? Kalau kita benar-benar serius mau menyehatkan masyarakat Indonesia, kita memerlukan berbagai “sub” jenis tenaga promotif dan preventif.
ADVERTISEMENT
Kita perlu berjuang untuk tidak saja mengakui “tenaga penyuluh kesehatan”, tetapi juga tenaga ahli komunikasi kesehatan, ahli broadcasting kesehatan, ahli yang kompeten membuat berbagai brosur, iklan, ataupun yang ahli membuat film tentang kesehatan, sampai ke tenaga lapangan yang bisa membimbing kader serta tenaga posyandu yang mampu menyuluh keluarga dengan baik.
Kita juga memerlukan berbagai jenis tenaga yang mampu membina maupun memantau lingkungan kesehatan. Misalnya, kita tidak harus berhenti di “sanitarian” saja, tetapi yang ahli tentang air bersih, ahli limbah, ahli pemantau polusi udara dan seterusnya. Semua ini mesti tercermin dalam perencanaan, pengadaan, pendidikannya, pendistribusian, dan pendayagunaannya.
Singkatnya dalam banyak hal, kita memang memerlukan berbagai tenaga ahli yang bekerja sama secara lintas disiplin. Misalnya untuk mengendalikan masalah rokok di Indonesia yang fenomenal itu, perlu kerja sama antara ahli ekonomi kesehatan yang bisa berdebat praktis tentang biaya manfaat merokok.
ADVERTISEMENT
Termasuk disini ahli promosi kesehatan, ahli hukum kesehatan, dokter yang menangani penyakit akibat merokok, ahli negosiasi dan lobby dengan yang terhormat anggota DPR/DPRD sehingga Perda antirokok itu bisa disetujui.¬ Artinya, untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat perlu kerja sama lintas disiplin dari berbagai tenaga kesehatan, bahkan dengan tenaga non kesehatan juga. Hanya dengan begitu, pelayanan kesehatan di era BPJS akan efektif. Begitulah konsep BLUM. Semoga bermanfaat. IIustrasi: Pixabay