Koruptor, Hukum dan Keadilan

Konten Media Partner
8 Desember 2018 22:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koruptor, Hukum dan Keadilan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Secara sinis orang bilang Indonesia negara korup tanpa koruptor. Apakah hukumnya tidak berdaya menjaring para koruptor ? Padahal peraturan hukum tentang korupsi sudah sangat mencukupi untuk memenjarakan para koruptor itu, bahkan dengan penjara seumur hidup.
Namun, pelaksanaan dari semua peraturan itulah yang sungguh memprihatinkan. Apalagi pelaku korupsi adalah tokoh politik. Apalagi yang berada di lingkar pusat kekuasaan. Apalagi mempunyai jaringan koneksi yang luas serta bisa membayar pengacara handal, maka hukum (dan aparat hukumnya) seperti tak berdaya menghadapi mereka.
Sayangnya, hal serupa tidak terjadi untuk para pencopet atau maling jemuran di kampung-kampung. Para penjahat jalanan ini mudah saja untuk dikirim ke sudut-sudut pengab penjara, bahkan bertahun-tahun. Maka benarlah apa yang disampaikan wong cilik bahwa siapa bilang hukum itu adil dan tidak berpihak.
ADVERTISEMENT
Jadi tidak mengherankan bila cita-cita besar pendiri bangsa Indonesia untuk terbebas dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) rasanya sangat sulit tercapai. Pesimisme itu muncul ketika melihat moralitas bobrok para pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum.
Harus diakui, sudah begitu lama keadilan di republik ini menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ketitik paling rendah. Juga , sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan dinegeri ini. Keadilan tidak untuk semua, namun untuk sebagian (yang bisa “membeli”nya).
Proses pengadilan di Indonesia selalu menjadi sorotan masyarakat, karena banyak keputusan peradilan dianggap kontradiktif. Sejumlah perkara yang telah menggiring berbagai tokoh masyarakat, mantan menteri ke meja hijau selalu dinyatakan, sebagai pengadilan yang sarat dengan tujuan politik. Seolah-olah mereka dibawa ke meja hijau, hanya untuk mengakomodasikan keinginan dan kehendak kelompok yang sedang berkuasa, bukan karena tindakan mereka benar terbukti melawan hukum.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, banyak perkara dakwaan korupsi yang sudah diputuskan oleh pengadilan, hanyalah semata pengadilan hukum dan bukan pengadilan keadilan. Inilah yang membuat banyak perkara hukum di Indonesia selalu disambut sinis, sebagai peradilan sandiwara, peradilan yang sebelum disidangkan sudah bisa dipastikan berakhir dengan bebas atau dengan hukuman yang ringan.
Semua itu dilakukan bukan demi keadilan sendiri, melainkan hanya memenuhi order penguasa atau sekadar ingin memperlihatkan kepada khalayak , orang ini sudah menjalani proses peradilan. Apakah keputusan itu adil atau tidak bukan lagi tujuan peradilan itu.
Ujung-ujungnya dihimbau agar masyarakat menghormati keputusan pengadilan adalah permintaan untuk menghormati hukum Negara, tetapi hukum Negara bisa saja bertentangan dengan cita rasa keadilan masyarakat. Kedua unsur cita rasa hukum ini , dimasa yang akan datang diharapkan menyatu dan sama dalam ukuran keadilan.
ADVERTISEMENT
Memang dalam masyarakat , selalu terbentuk opini publik apriori menyalahkan seseorang yang masih menjalani proses peradilan. Begitu putusan pengadilan, bertentangan dengan opini publik yang sudah terbentuk maka masyarakat akan kecewa.
Tetapi kebiasaan ini, tidak serta merta bisa disalahkan, karena masyarakat tidak lagi sepenuhnya mempercayai sebuah hasil peradilan. Bagaimana mungkin mereka percaya, jika masyarakat telah melihat contoh ada jaksa, hakim, pengacara ketangkap OTT di Indonesia. Bagaimana mungkin masyarakat akan percaya, jika para advokat bisa “:membeli” pejabat panitera, jaksa dan hakim?
Begitulah. Meski ada Hari Anti Korupsi Sedunia masih banyak penegak hukum kita, ternyata hanya pedagang keadilan dan hukum. Bahkan untuk perkara hukum kecil yang menyangkut rakyat kecil yang mencari keadilan, secara tidak terpuji diperas habis-habisan. Sesungguhnya masyarakat sudah banyak yang tidak ingin menyelesaikan sengketa mereka melalui pengadilan, bukan takut akibat hukum dari perkara itu, tetapi takut menjadi obyek pemerasan.
ADVERTISEMENT
Indonesia memang masih jauh dari sebuah negara hukum seperti cita-cita pendiri bangsa dalam semua bidang kehidupan. Supremasi hukumlah yang berdiri diatas segala -galanya. Semua ini hanya sekadar impian, jika pengadilan untuk keadilan tidak pernah menjadi tujuan penegakan hukum.
Kita memerlukan sebuah aparat penegak hukum yang bersih dan jujur. Sebuah amsal yang berbunyi, jika ingin membersihkan sebuah ruangan, pakailah sapu yang bersih, jangan membersihkan sebuah ruangan dengan menggunakan sapu yang kotor.Selamat Hari Anti Korupsi Internasional, 9 Desember! Ilustrasi: Pixabay