Mahalnya Mahar Pernikahan Dayak Meratus

Konten Media Partner
22 Juli 2018 20:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banjarhits.id, Rantau - Puluhan warga berbondong-bondong memasuki Balai Adat Desa Ranai Baru ketika hari beranjak tengah malam, Sabtu akhir pekan (21/7/2018). Di dalam balai adat, ratusan pasang mata takzim melihat sekumpulan pria menari sambil mengelilingi langgatan. Di tengah temaram lampu, penari pria itu meliuk-liuk di tengah rancak irama gendang yang ditabuh oleh penjulang.
ADVERTISEMENT
Acara ritual perkawinan adat itu dilanjutkan ritual Batatarawan Mahar. Pihak mempelai pria berhadapan dengan para tokoh adat membahas mahar untuk mempersunting si wanita.
“Ulun (aku) buka dari nilai Rp 45 juta untuk mahar dari perempuan yang bernama JN,” ucap si penghulu adat, Sarman.
“Aku sanggupi dengan Rp 35 juta," ujar pihak mempelai pria. Setelah 30 menit tawar menawar mahar, kedua belah pihak sepakat dengan nilai Rp 40 juta. Beres ritual batatawaran, mempelai pria menyerahkan mahar untuk selanjutnya melangkah ke resepsi pernikahan di Balai Adat Lahung Kipung esok harinya, tepatnya Minggu (22/7).
Upacara adat perkawinan ala Dayak Meratus lewat tawar menawar mahar ini membudaya di Desa Ranai Baru, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Menurut Sarman, masyarakat desa sudah terpengaruh kemajuan zaman dan materialistis yang mendasarkan pada materi benda.
ADVERTISEMENT
“Apa saja selalu jadi duit,” kata Sarman.
“Oleh karena itu, masyarakat di sini menghasilkan pola pikir di mana mereka laki-laki yang ingin menikah harus menyediakan mahar paling sedikit antara Rp 40 juta - Rp 100 juta,” ujar pria berusia setengah abad lebih itu.
Mahar paling murah yang pernah ia temui sekali di kisaran Rp 35 juta. Ia menuturkan mahar rata-rata untuk meminang wanita sebesar Rp 40 juta-80 juta. Sebagian dari nilai mahar mesti disisihkan sebagai uang mati.
Menurut dia, duit mati adalah duit untuk dibagikan kepada semua tokoh adat kampung dan perangkat desa sebagai saksi atau orang tengah yang terlibat dalam proses pernikahan.
“Kegunaan orang tengah adalah bilamana kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka orang tengah bertanggung jawab menyelesaikan masalah sedemikian rupa,” ucap Sarman. (Zaidi)
ADVERTISEMENT