Mau Apa Kita di Hari Kartini?

Konten Media Partner
20 April 2019 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sosok Kartini. Foto: istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Sosok Kartini. Foto: istimewa
ADVERTISEMENT
Kartini. Siapapun tahu, dalam pingitan tradisi kebangsawanan telah melakukan pembangkangan ideologi keluarga. Perjuangannya tidak saja menyentuh persoalan yang hari ini kita pahami sebagai kesetaraan gender. Strategi mengorbankan diri untuk perjuangan yang ia yakini sungguh luar biasa.
ADVERTISEMENT
Sungguh tidak terbantahkan, dalam kemudaannya, Kartini telah mengindentifikasi dengan tekun hambatan struktural dan kultural di negerinya sendiri, yang terefleksi melalui surat-suratnya.
Kartini sadar betul hidup di negara jajahan. Negerinya tetap dalam subordinat kolonialis, yang tidak pernah sungguh-sungguh ingin membantu, kendatipun keleluasaan dibukakan untuknya.
Setengah abad lebih bangsa ini merdeka, yang mengenaskan justru masih ada tertinggalnya perempuan, jika dilihat dari derajat kesehatan. Banyak Kartini-kartini muda keburu loyo akibat kesehatan yang masih sangat memprihatinkan. Kondisi yang dulu jelas-jelas hendak dilawan Kartini dengan berbagai cara.
Sementara sektor lain program pembangunan menunjukkan tingkat keberhasilan yang mengagumkan, perempuan Indonesia justru sebaliknya di bidang kesehatan. Jika Indonesia bisa berbangga hati dengan program pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan, tetapi rendahnya derajat kesehatan perempuan menjadi titik lemah yang masih menggelayut.
ADVERTISEMENT
Apabila Indonesia terbilang sukses membangun fasilitas megah sebuah rumah sakit, tetapi pencapaian target untuk meningkatkan mutu kesehatan perempuan selalu sulit dipenuhi.
Itulah sebabnya perempuan yang dulu dikenal sebagai benteng utama pertahanan kesehatan keluarga, mungkin di tahun-tahun mendatang (zaman now) akan berubah. Dulu kita mengenal bahwa perempuan sehat akan tampil menjaga kesehatan keluarganya dengan baik.
Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, ada kemungkinan besar wanita yang sakit akan pula menyebarkan penyakit kepada keluarganya. Dan pada akhirnya, keluarga yang tak sehat berdampak pula pada kesehatan bangsanya.
Hal itu bisa terjadi karena kesalahan besar dari kalangan kedokteran yang pada mulanya, dan mungkin sampai saat ini didominasi kaum laki-laki. Mereka tidak terlalu concern mencermati perempuan sebagai manusia dengan kekhasan biologis yang berpengaruh terhadap kesehatan.
ADVERTISEMENT
Umumnya, kalangan kedokteran bersikap medis perempuan dan laki-laki tidak berbeda. Kalaupun berbeda hanya ketika perempuan itu hamil dan melahirkan. Selepas masa itu, mereka adalah sama dengan laki-laki.
Padahal masalah kesehatan reproduksi bukan hanya menyangkut masalah ketika ia hamil atau melahirkan. Sebab yang namanya fungsi reproduksi berlangsung lebih luas dari itu, dari saat menarkhe (haid pertama) sampai menopause (berhenti haid).
Ketidaksetaraan gender yang banyak terjadi di masyarakat kita mempengaruhi pola pikir praktisi kalangan kedokteran. Ketidaksetaraan gender adalah pembedaan kesempatan dan peranan wanita yang lebih didasar oleh pandangan dan sikap sosio kultural ketimbang kenyataan yang nyata.
Misalnya, pembedaan kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi atau kesempatan melaksanakan tugas-tugas yang dianggap khas untuk pria karena stigma tidak pantas dilakukan perempuan.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk Indonesia, dampak kelupaan kita terhadap masalah kesehatan perempuan ditandai masih tingginya angka kematian ibu. Indikasi bahwa selama ini kegiatan kesehatan ibu dan anak masih lebih ditekankan pada aspek anaknya, dan belum serius menyentuh aspek ibunya.
Celakanya, perhatian yang sangat besar justru diberikan pada perawatan tubuh dan vagina dalam berbagai cara agar tubuh dan vagina dapat kembali seperti semula. Perhatian semacam ini menjelaskan bagaimana fungsi dan nilai perempuan dilihat dalam hubungannya dengan laki-laki (suami) saja.
Vagina yang kencang dan sempit dianggap merupakan jaminan bagi kepuasan seks suami. Begitu pula dengan bagian-bagian tubuh lainnya, seperti buah dada, paha, dan perut diupayakan dibentuk kembali menurut gambaran bagaimana selayaknya perempuan yang seksi.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak perempuan mengaku kesulitan dalam memenuhi kebutuhan yang sebenarnya hak dirinya tersebut. Masalahnya jelas di sini adalah adanya tuntutan sosial di luar diri individu daripada kebutuhan-kebutuhan yang dirasakannya.
Dalam keadaan seperti ini cukup banyak perempuan seakan tak kuasa menghadapi tuntutan yang datang dari luar dirinya. Sementara sebagian lainnya mengambil cara-cara tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan reproduksinya.
Dengan demikian, ini berarti bahwa isu kesehatan perempuan tidak dapat dipahami tanpa pengertian yang luas mengenai keterkaitannya dengan berbagai aspek di luar dirinya.
Akar permasalahannya seringkali bersumber pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks makro, kebijakan dan implementasi kebijakan misalnya, jelas berdampak terhadap kondisi kesehatan perempuan.
Sementara itu dalam tingkat lebih mikro, masalah kesehatan ini tidak dapat dilepas dari keterkaitan kondisi lingkungan sekitar serta orang lain disekelilingnya, termasuk suami.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita mau apa di Hari Kartini ini? Haruskah menempatkan kedudukan perempuan setara laki-laki? Bukankah dengan tidak setaranya kedudukan perempuan dengan laki-laki inilah yang pada akhirnya memberi keuntungan atau andil besar terhadap pembangunan kesehatan perempuan.
Yang menarik juga, masih banyak di antara kita kaum laki-laki tidak tahu bahwa janin yang tumbuh dalam kandungan saat hamil telah menjadi pesaing bagi ibunya dalam berebut oksigen dan nutrisi makanan.
Ilustrasi wanita. Foto: Pixabay
Dalam persaingan ini ada dua kemungkinan dapat terjadi. Pertama, si janin kalah hingga ia tidak akan tumbuh secara sempurna, mungkin cacat atau lahir dengan berat badan rendah, atau lahir sempurna secara fisik tetapi lambat dalam perkembangan kemampuan otaknya, atau mungkin pula mati menjelang saat lahir.
ADVERTISEMENT
Kedua, si ibu yang kalah. Ia akan menderita anemi, kurang gizi, atau tekanan darahnya akan naik secara drastis yang diikuti kejang dan mati. Karena itu yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana upaya kita agar kartini-kartini muda mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi.
Sebab lewat pendidikan kesehatan reproduksi yang cukup berpotensi meningkatkan aspek kognitifnya sehingga wanita jadi tahu kapan sehat, kapan tidak sehat untuk hamil. Selamat hari Kartini, 21 April !
----