Menengok Nateh, Desa Ekowisata Meratus yang Terancam Tambang

Konten Media Partner
25 Oktober 2019 7:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Air jernih di Sungai Desa Nateh dengah landscap Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
zoom-in-whitePerbesar
Air jernih di Sungai Desa Nateh dengah landscap Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Menyimpan kekayaan gunung karst dan kandungan batu bara kualitas tinggi, Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, telah lawas diincar perusahan tambang untuk dikeruk hasil alamnya. Alih-alih tergoda iming-iming materi, warga sepakat menolak korporasi beroperasi.
ADVERTISEMENT
Di sela agenda Temu Wicara Kenal Medan XXXI, reporter banjarhits.id bersama Walhi Kalsel dan pecinta alam se-Indonesia menelusuri cerita perlawanan warga atas tambang.
***
Barisan gunung kapur (karst) terlihat menjulang tinggi saat banjarhits.id mulai memasuki gerbang Desa Nateh. Berlokasi di lereng Pegunungan Meratus, deretan karst itu menyatu dengan tumbuhan liar yang menghijau dan goa-goa yang bisa ditelusuri hingga seharian penuh.
Di bawah deretan gunung karst, mengalir deras Sungai Batang Alai yang merupakan daerah hulu air Kabupaten HST. Sungai berwarna jernih itu mengalir menuju titik-titik strategis seperti Bendung Batang Alai hingga sungai-sungai yang berada di hilirnya.
Bersama aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, kami diajak menyusuri desa berbasis ekowisata tersebut. Bukan untuk jalan-jalan belaka. Tapi, melihat nasib Nateh yang belakangan jadi perbincangan gara-gara sedang diincar perusahaan tambang batu bara asal India, PT Mantimin Coal Mining (MCM).
ADVERTISEMENT
Sudah sejak dua tahun terakhir, MCM memang mengantongi izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan pertambangan di Nateh dan sekitarnya. Lewat SK Izin Operasi Produksi yang diteken langsung Dirjen Minerba ESDM RI, Bambang Gatot Ariyono.
Dikeluarkan per 4 Desember 2017, SK ini sejatinya menyasar dua blok tambang: Upau dan Batu Tangga. Untuk blok yang kedua, sebagian besar berlokasi di Desa Nateh, Desa Pembakulan, dan Desa Batu Tangga. Semuanya berada di Kecamatan Batang Alai Timur. Total luas konsesinya mencapai 1.995 hektare.
Beruntung, perusahaan belum bisa beroperasi karena terganjal dokumen Amdal yang belum juga diterbitkan oleh pemerintah daerah. Derasnya kritikan publik membuat pemkab dan pemprov urung menerbitkan administrasi untuk Amdal MCM.
ADVERTISEMENT
Melihat celah harapan amdal tak terbit, warga semakin semangat menolak masuknya tambang batubara MCM. Melalui gerakan moral #SaveMeratus, dari aktivis lingkungan hingga seniman ikut bersuara menyuarakan penolakan tambang.
Walhi pun menggugat perusahaan dan Kementerian ESDM hingga sekarang menjalani proses kasasi di Mahkamah Agung. Tujuan mereka: cabut SK Menteri ESDM tersebut.
Bentang alam Pegunungan Meratus di Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten HST, Kalsel. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
Lantas, bagaimana dengan suara warga desa yang terancam izin dari MCM? Di sana, kami bertemu dengan sosok Arbaini yang getol menyuarakan penolakan tambang. Sering disapa Abah Nateh, lelaki uzur ini menegaskan 90 persen masyarakat sudah sadar atas bahaya ancaman tambang batu bara.
"Kami ini 90 persen penyadap karet dan berkebun. Kalau ditambang semuanya, mau makan apa?" kata Arbaini.
ADVERTISEMENT
Selain ancaman hilangnya mata pencaharian, kekhawatiran Arbaini tambah menjadi ketika melihat luasan hektare konsesi MCM yang mencapai ribuan hektare. Artinya, tak cuma perkebunan, tapi permukiman warga juga kena babat habis pertambangan jika benar-benar beroperasi.
"Makanya Nateh itu benar-benar harga mati. Akan kita lawan sampai habis," tegasnya.
Ia tak habis pikir mengapa pihak ESDM bisa-bisanya menerbitkan izin operasi produksi bagi PT MCM. Setahu Arbaini, enam bulan sebelum perizinan tambang keluar, Presiden Jokowi menyerahkan SK Pengelolaan Hutan Desa (HD) ke Desa Nateh. Penyerahan SK pun langsung diterima oleh dirinya selaku Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Nateh.
"SK Hutan Desa ini memberikan akses kami supaya bisa masuk ke hutan. Saya langsung yang menerima. Nah, tapi setelahnya ada keluar izin tambang itu. Kan sangat berlawanan. Artinya, pemerintah kita itu tidak koordinasi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sosok Arbaini mengaku tak takut melawan perusahaan jika seandainya itu merupakan pilihan terakhir. Ia sudah kenyang dengan intimidasi dari preman-preman yang silih berganti mengancamnya.
"Terakhir pertengahan tahun 2018 lalu. Pas masa-masa persidangan gugatan (MCM dan Kementerian ESDM) di Jakarta, saya didatangi dua orang preman di depan rumah. Bawa golok dan pistol. Mereka datang membawa dokumen minta persetujuan tambang," ujarnya.
Menurut Arbaini, dua orang preman itu memang mengaku bukan langsung dari perusahaan MCM. Namun, ia menduga kuat hal itu cara klasik yang dilakukan korporasi besar agar membuat warga ketakutan: memakai jalan kekerasan.
Pegunungan Meratus dan aliran air Sungai Nateh yang jernih. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
"Akhirnya saya memilih tidak keluar rumah. Langsung telepon polisi, pas sudah sampai mereka langsung kabur. Tapi akhirnya kami ketemu juga. Sama saya, bilangnya mau minta persetujuan buat tambang lokal saja. Dia orang pengen dapat kerjaan di sana, makanya begitu. Tapi, paling enggak sampai dua tahun udah dipecat, " cerita Arbaini.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Arbaini, warga Nateh lainnya, Abi, berpendapat serupa. Menurut dia, kawasan Meratus khususnya, haram hukumnya untuk ditambang.
"Lebih pemerintah mengelola tempat wisata di sini. Dulu pernah hidup objek wisatanya. Tapi sekarang mati lagi karena enggak ada yang mengelola. Daripada ditambang. Masyarakat yang rugi. Untungnya buat siapa, kita enggak ada yang tahu," tandasnya.
Penelusuran banjarhits.id lewat mesin pencari Google, kantor PT MCM terlacak di Jalan Jenderal Ahmad Yani Kilometer 1 Nomor 49E, Kota Banjarmasin.
Namun, reporter banjarhits.id tak mendapat jejak secuil pun atas keberadaan MCM di sana. "Emang sudah lawas ini tokonya. Nama MCM enggak pernah tahu kita," kata Firdaus, si juru parkir di kawasan setempat.