Menjaga Keadaban Profesi Dokter

Konten Media Partner
21 Oktober 2018 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menjaga Keadaban Profesi Dokter
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Keadaban, berasal dari kata “adab” artinya budi pekerti luhur. Bicara tentang keadaban dokter mencakup segala hal tentang keluhuran pemikiran, sikap dan perilaku, maupun budi pekerti dalam pengembangan ilmu, pengamalan ilmu, dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan manusia.
Maka dari itu untuk menjadi dokter, dibutuhkan pendidikan khusus agar profesional dengan diberi gelar dokter dari lembaga pendidikannya. Yang menarik, dalam perkembangannya gelar dokter ini menjadi semakin membanggakan karena di masyarakat kita hanya dokter yang dipanggil dengan menyebut gelar pendidikan tersebut.
Mungkin, itulah salah satu yang menjadi sebab mengapa banyak ibu atau orang tua (baca: zaman dulu) kita suka ”memberi semangat” anaknya sambil berujar:”Ayo nak belajar yang pinter biar besok jadi dokter!”
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana pendidikan kedokteran sekarang? Sepertinya sudah beda. Sekarang untuk jadi dokter selain lama pendidikannya, juga butuh pinter dan duit. Akibatnya tumbuh keinginan untuk menjadi dokter karena ingin menjadi kaya.
Pada dasarnya yang namanya pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, latihan, ataupun penelitian. Kalau ada tokoh hebat dan pintar, sering kali orang bertanya, di mana universitas atau sekolahnya.
Padahal, tidak semua lulusan sekolah atau universitas tersebut hebat dan sepintar tokoh tersebut. Ada tokoh yang hebat, tapi sekolahnya tidak sampai pendidikan tinggi atau bergelar sarjana. Tapi, sampai sejauh ini, tidak ada seseorang yang otodidak tanpa menyelesaikan pendidikan di fakultas kedokteran kemudian menjadi dokter.
ADVERTISEMENT
Buya Hamka pernah berkata:”Dengan ilmu, kehidupan menjadi mudah; dengan seni, kehidupan menjadi indah dan dengan agama, kehidupan menjadi terarah". Dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memenuhi kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
Saat ini masyarakat kita berada di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola tunggal pembiayaannya. Kurang lebih sudah 70 persen penduduk Indonesia telah menjadi anggotanya. Beribu-ribu klinik, puskesmas, dan rumah sakit sudah menjadi penyelenggara pelayanan BPJS. Disini dibutuhkan regulasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik agar pelayanan tetap pada kaidah ilmu kedokteran.
Sayangnya, sampai tahun keempat pelayanan BPJS Kesehatan masih banyak kendala. Banyak kasus yang “dipaksa” untuk dirawat tanpa kompetensi yang memadai dengan alasan biaya atau istilah kerennya BPJS “kendali biaya”. Harus diakui tingkat dari semua penyelenggara pelayanan kesehatan memang beragam dari segi kapasitas kemampuan memberikan pelayanan.
ADVERTISEMENT
Demikian pula bekal ilmu dokter yang bekerja di berbagai tingkat penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut sudah tentu tidak sama pula. Walaupun begitu dokter mestinya tetap harus memilki ”ABC” yang baik. Attitude- nya baik (perilakunya baik), Brainnya baik (ilmunya banyak), dan Competent (cekatan tangannya).
Sebenarnya tidak ada yang bisa membedakan seorang dokter lebih pintar daripada dokter yang lainnya. Yang ada hanya seorang dokter lebih dahulu tahu tentang suatu ilmu pada wawasan yang lebih sempit dan mendalam serta menjalankan profesinya dengan baik.
Perbedaan semakin terasa ketika ”apresiasi” masyarakat juga berbeda atau mungkin dibuat berbeda. Apakah sejauh ini para dokter yang menjaga ujung tombak pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan 1 tidak mampu memberikan pelayanan dasar yang profesional di tempat tugasnya? Sulit untuk menjawabnya. Maka dari itu, penyesuaian kurikulum di fakultas kedokteran tentu akan menjadi lebih bijak dengan mendengarkan pengalaman mereka yang telah bertahun-tahun lamanya menjalankan profesi dokter .
ADVERTISEMENT
Ada sepuluh hal yang menyangkut soal profesi. Satu, profesi harus mengandung keahlian; dua, profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu; tiga, profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal; empat, profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri; dan lima, profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikasi.
Kemudian poin keenam, pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas; tujuh, profesi memiliki kode etik yang disebut kode etik profesi; delapan, profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan; sembilan, profesi memerlukan organisasi profesi yang kuat; dan terakhir kesepuluh, profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain.
Untuk itu dibutuhkan solidaritas positif dari para dokter untuk menjaga citra positif profesi. Bagaimanapun, pendidikan dan pelatihan profesi butuh disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan konsep asuransi sosial bidang kesehatan butuh terus dicermati lebih saksama agar tidak muncul arogansi yang mematahkan kaidah asuransi kesehatan publik.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan dialog multilateral dengan berbagai pihak agar tercipta sistem penjaminan kesehatan masyarakat yang paripurna, bukan cuma dari aspek kuratif semata, melainkan juga totalitas sinergi yang berkeadilan.
Perlu diingat, mempertahankan manusia Indonesia tetap sehat secara jasmani, rohani, dan sosial adalah bagian dari memajukan kesejahteraan umum diamanahkan dalam tujuan bernegara. Masalah kesehatan bukan saja masalah kuratif, melainkan patut diperhatikan juga aspek promotif dan preventif.
Tidak perlu munafik bahwa bekerja sebagai dokter itu memang untuk mencari duit. Namun, kalau tumbuh keinginan untuk menjadi dokter karena ingin menjadi kaya, boleh jadi itu akar masalahnya.Selamat Hari Dokter Indonesia!