Mimpi Buruk Perempuan Indonesia

Konten Media Partner
7 Maret 2019 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi seorang perempuan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang perempuan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Jujur, saya dan Anda pasti sepakat bahwa perempuan itu sumber inspirasi. Keanggunan, kecantikan dan keceriaan perempuan dimata pelukis, sastrawan, penyair, ataupun petualang cinta melahirkan sejuta arti. Bisa membuat mata tak berkedip atau mengusik orang untuk berpikir negatif.
ADVERTISEMENT
Di zaman now ini, perempuan jadi lakon penting. Apalagi kalau ditinjau dan kecenderungan sosial dan kependudukan. Perempuan akan menempati peran sentral dalam proses dan dinamika kemasyarakatan.
Salah satu dampak dari dinamika itu adalah perubahan dalam konsep dan bentuk keluarga masa depan. Secara demografi, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan selalu seimbang. Keadaan alami ini akan bertahan. Cuma kedudukan sosial perempuan yang secara tradisional dianggap alami mulai ditanyakan orang. Dulu umur menikah perempuan dianggap alami bila batasnya lebih rendah dari umur menikah laki-laki.
Apa betul alami kecenderungannya sekarang begitu? Yang pasti batas umur menikah perempuan kini makin meningkat. Bahkan makin lama makin mendekati batas usia menikah laki-laki. Bisa karena pendidikan, karena partisipasi dalam angkatan kerja, karena persamaan hak dan kewajiban dalam keluarga dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Nampaknya perkara persamaan hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan ini akan makin menjadi kenyataan. Timbul pertanyaan, apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh perempuan? Bukankah perempuan sudah banyak yang jadi menteri, gubernur, bupati,wali kota, bahkan presiden?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini terus menerus dihadirkan di berbagai kesempatan seolah perempuan dianggap terlalu banyak menuntut dan berujung pada emansipasi yang dianggap kebablasan.
Sementara faktanya di Indonesia hingga saat ini perempuan masih banyak mengalami berbagai stigmanisasi, diskriminasi, persekusi dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Bahkan masalah kekerasan terhadap perempuan telah berlangsung lama seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Dan berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya adalah berbicara tentang sebuah bangunan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan menampakkan diri dalam beragam bentuk, muncul dari ranah sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan dari dan atas nama agama dalam semua tingkatan masyarakat. Hal tersebut harus dipahami tidak terbatas pada tindak kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan verbal.
Lebih dari itu, kekerasan terhadap perempuan bukan hanya yang terjadi di ranah domestik seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun sebagian besar terjadi di ranah publik.
Pernikahan anak perempuan, sunat perempuan, pelecehan seksual, upah dan kesejahteraan buruh perempuan, buruh migran perempuan /TKW, kematian ibu hamil dan melahirkan yang tinggi, perdagangan manusia (human trafficking) dan kasus-kasus lainnya yang sangat memprihatikan tersebut hingga saat ini masih merupakan mimpi buruk bagi perempuan di Indonesia.
Ilustrasi boneka wanita dalam cengkraman. Foto: Pixabay
Dan tahukah Anda, pernikahan anak perempuan Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja. Sedangkan untuk kasus sunat perempuan berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Unicef (2014) tertinggi ditemukan di Provinsi Gorontalo, dan terendah di Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Data itu mengungkap bahwa orangtua adalah orang yang paling banyak merekomendasikan anak gadisnya untuk disunat, sisanya adalah pemuka agama, saudara, dan tokoh masyarakat.
Apabila disejajarkan dengan negara-negara lain, Indonesia menduduki tempat ketiga tertinggi dalam praktik sunat perempuan, setelah Mauritania dan Gambia. Sungguh menyedihkan.
Untuk itu merupakan tantangan bagi kelompok perempuan khususnya untuk terus menerus menuntut tanggung jawab negara agar sungguh-sungguh mengimplementasikan komitmennya berkaitan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang telah disepakati.
Tentu aksi-aksi yang dilakukan tidak boleh berhenti pada tahapan tersebut, melainkan perlu terus menggalang kekuatan bersama melalui upaya-upaya yang lebih sistematis dan sinergis antar anggota/kelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini pelibatan laki-laki dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender menjadi keharusan mengingat bahwa lingkungan sosial yang patriakhi, maskulin dan cenderung diskriminatif.
Sungguh dibutuhkan kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan untuk menciptakan lingkungan sosial baru dan ramah terhadap perempuan. Semoga mimpi buruk perempuan Indonesia segera berakhir. Selamat Hari Perempuan Internasional, 8 Maret!
----