Serba-ribet Morfin Medis Pasien Kanker

Konten Media Partner
15 Januari 2019 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serba-ribet Morfin Medis Pasien Kanker
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Pixabay
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.id.
ADVERTISEMENT
banjarhits.id - Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sekarang, pasien kanker menjadi urutan nomor satu terbanyak di rumah sakit rujukan fasilitas kesehatan tiga. Maka tidak usah heran bila untuk operasi saja, pasien bisa menunggu jadwal 3 sampai 6 bulan, bahkan bisa setahun.
Bagi mereka selama menunggu entah itu operasi maupun kemoterapi (penyuntikan obat anti kanker), mereka harus melawan nyeri yang hebat. Tapi apa mau dikata, di negeri ini, obat anti nyeri kelas tertinggi (morfin medis) tidak mudah mereka dapatkan.
Kalau pun dapat, jumlahnya terbatas. Apalagi untuk pasien kanker yang sudah stadium akhir tentunya nyeri menjadi menu makanan sehari-hari. Bagi mereka tiada hari tanpa nyeri.
Sebenarnya guna mengatasi nyeri kanker, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan yang dikenal dengan istilah WHO Step Ladder. Jika semua tenaga kesehatan di Indonesia berpedoman pada panduan ini, seharusnya masalah nyeri kanker di negara ini sudah tidak menjadi masalah lagi.
ADVERTISEMENT
Kenyataan di lapangan tidak sesuai apa yang diharapkan. Masih banyak pasien kanker yang harus menderita karena dokter tidak dapat mengontrol nyeri yang mereka rasakan. Seorang pasien kanker pernah berkata: “Sayangnya, skor nyeri hanya sampai 10. Coba kalau sampai 1.000, saya pasti pilih 1000”.
Pernyataan ini sebenarnya hendak melukiskan betapa nyerinya seseorang yang terkena kanker jika tidak ditangani secara baik dan benar. Hal mendasar yang membuat masalah nyeri kanker di negeri ini masih belum teratasi dengan baik adalah masih rendahnya penggunaan morfin medis.
Melihat pedoman yang dikeluarkan oleh WHO, morfin diberikan untuk nyeri berat. Jika seorang terkena kanker, hampir dapat dipastikan nyeri yang mereka rasakan adalah nyeri yang hebat. Apa lagi jika pasien sudah dinyatakan paliatif, jangan pernah berharap dosis morfin dapat diturunkan. Akibat hal tersebut di atas, akhirnya Indonesia dicap oleh dunia internasional sebagai salah satu negara yang menelantarkan pasien-pasiennya yang mengalami nyeri kanker. Bahkan, di dunia paliatif ada slogan yang berbunyi “Paliatif tanpa morfin adalah bukan paliatif”.
ADVERTISEMENT
Guna mengatasi masalah ini, perlu diidentifikasi apa yang menjadi penyebab. Satu hal yang pasti adalah pengetahuan tenaga kesehatan yang masih kurang mengenai penggunaan morfin medis sehingga peresepannya pun menjadi sangat rendah.
Sudah saatnya kurikulum di Fakultas Kedokteran, dilengkapi dengan pelajaran tentang cara penggunaan morfin medis untuk mengatasi nyeri kanker. Setelah tenaga kesehatannya diedukasi, ketersediaan morfin medis juga harus menjadi hal yang diperhatikan. Jangan sampai dokternya sudah mau meresepkan, morfin medisnya ternyata tidak tersedia.
Menurut informasi dari perusahaan yang diberi tanggung jawab untuk memproduksi morfin medis di negeri ini, ketersediaan obat ternyata mencukupi. Hanya saja, permintaan masih sangat rendah. Selain itu, morfin medis saat ini hanya dapat dijumpai di rumah sakit-rumah sakit tertentu.
ADVERTISEMENT
Morfin medis bahkan sulit sekali didapat di apotek. Keadaan ini ternyata berkaitan dengan masalah administratif yang sangat berbelit-belit yang harus dilakukan oleh penanggung jawab apotek jika mereka hendak menyediakan morfin medis.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki segala perangkat perundang-undangan yang mengatur segala sesuatunya tentang penggunaan morfin medis. Hanya, sosialisasinya belum terlaksana dengan baik. Sebagai contoh, peraturan pemerintah menyatakan bahwa semua dokter dapat meresepkan morfin medis.
Kenyataannya ada rumah sakit yang hanya memperbolehkan dokter spesialis tertentu untuk meresepkannya. Bayangkan seandainya pada malam hari ada pasien yang membutuhkan obat tersebut. Sudah barang tentu nyeri yang dirasakan pasien tidak dapat segera ditangani karena harus menunggu kedatangan dokter di pagi hari.
Tapi jangan berpikir akar permasalahan terjadi di pihak tenaga kesehatan saja. Masalah juga terjadi di pihak pasien. Banyak pasien maupun keluarganya yang menolak pemberian morfin. Biasanya hal ini berkaitan dengan minimnya pengetahuan dan kadang kala ada kaitannya dengan kepercayaan yang mereka anut.
ADVERTISEMENT
Pernah ada seorang anak yang terkena kanker berteriak-teriak kesakitan. Dokter menawarkan untuk pemberikan morfin medis, namun ditolak oleh orang tua dan membiarkan anaknya terus berteriak-teriak kesakitan. Raut wajah orang tua tampak sangat tenang, sementara anaknya meraung-raung kesakitan.
Suatu pemandangan yang memilukan hati. Mungkin diperlukan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia terkait dengan penggunaan morfin medis agar pasien dan keluarganya tidak berpikir bahwa morfin medis yang diberikan dokter itu melanggar aturan agama.
Melihat apa yang terjadi di atas, masih banyak hal yang harus diperjuangkan agar pasien kanker dapat terbebas dari nyeri. Memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.
Saat para pejuang harus mengangkat senjata guna merebut kemerdekaan negeri ini, mereka tidak pernah tahu sampai kapan mereka harus berperang melawan penjajah.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan upaya kita semua untuk membebaskan pasien kanker dari rasa nyeri. Kita tidak pernah tahu kapan itu terjadi, namun satu hal yaitu bahwa suatu saat nanti pasti kita dapat membawa pasien kanker bebas dari nyeri. Semoga.