Menyulap Kapah Jadi Kapur di Barito Kuala

Konten Media Partner
3 Juni 2018 20:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id, Marabahan - Berbekal kekuatan telapak dan kedua lengan tangan, Maimunah mengaduk-aduk adonan kapur di dalam ember agar merata. Wanita sepuh berusia 60 tahun ini sudah puluhan tahun menekuni jasa pengolahan kapur dari bahan cangkang kapah (sejenis karang).
ADVERTISEMENT
Maimunah sadar, mengaduk kapur semacam mengolah duit karena bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah. Dari hasil penjualan kapur yang telah diolah, ia bisa menerima Rp 50 ribu per hari.
"Usaha membuat kapur sudah ada sejak zaman nenek datu (buyut)," kata Maimunah di sentra usaha tradisional pembuatan kapur di Desa Pulau Sugara, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Minggu (3/6/2018). Dalam sehari, ia bekerja mulai pagi sampai sore menjelang untuk mengaduk sebanyak tujuh sampai delapan kaleng kapur.
Masyarakat lokal menyebut kaleng dengan penamaan blek --tempat menakar beras bagi warga Banjar. Satu blek berisi kapur seberat 20-25 kilogram. Setiap blek, ia mendapat upah Rp 8 ribu ketika bulan Ramadan, dan Rp 7 ribu plus kue di luar Ramadan.
ADVERTISEMENT
”Kapur ini untuk bahan membuat kue, juga obat sakit perut dan sakit menyamak (gangguan pernafasan)," tuturnya.
Masyarakat tradisional umumnya hanya mengenal kapur yang bersama tembakau dan sirih sebagai bahan baku menginang. Di luar itu, kapur diyakini berkhasiat untuk obat bekas gigitan nyamuk hingga pasta gigi.
Seorang pemilik usaha pembuatan kapur, Wati, berkata warga Banjar kerap memakai kapur untuk campuran odol dan bahan kosmetik. Toh soal khasiat ini, Wati tak paham detail keampuhannya. “Tahu membuat kapur saja," kata Wati.
Ia mendatangkan bahan baku kapah dari hasil melaut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Menurut Wati, kapah kualitas terbaik kawasan Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah karena kulitnya putih.
Adapun kapah asal Kecamatan Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala cenderung hitam. Wati membeli kapah seharga Rp 1,2 sampai 1,7 juta per ton. Wati bisa menghabiskan 10 ton per minggu sampai setengah bulan, tergantung ketersediaan stok.
ADVERTISEMENT
Kapah, sebelum diolah menjadi kapur, mesti melewati proses penjemuran selama satu hari dan pembakaran 6 jam dengan kulit kayu keruing.
Abu kapah hasil pembakaran berwarna putih inilah yang menjadi serbuk kapur mentah. "Kalau musim menanam padi dan panen, kapah mahal karena bahan baku tak banyak. Orang yang bekerja mengumpulkan kapah memilih bertani," ujar Wati.
Wati rutin mengirim kapur sebanyak 70 blek per minggu ke Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Ia melego seharga Rp 60 ribu per blek bila transaksi di tempat usahanya. "Kalau diantar sampai Astambul harganya jadi Rp 70 ribu per blek," ujar Wati.
Selain Astambul, jangkauan pemasaran kapur buatan Wati sampai ke Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan); Kota Palangka Raya, dan Muara Teweh (Kalimantan Tengah).
ADVERTISEMENT
Pengrajin kapah lainnya, Agus Salim menuturkan kapah banyak terdapat di daerah laut, di antaranya asal Kuala Pembuang (Kalteng), Pagatan, Sungai Danau, Kintap, Jorong, Asam-Asam dan Sungai Telan (Kalsel). Ia membakar kapah memakai kulit kayu keruing supaya bagus hasilnya.
Air yang dipakai untuk mencampur kapur pun tidak sembarangan. "Air sungai masam (asin) tak akan jadi kapur yang bagus, jadi mesti beli air bersih."
Hasil pembakaran kapah sebanyak satu ton akan diperoleh sekitar 60 blek kapur. Agus mengirim kapur ke Kota Sampit, Kalimantan Tengah, setiap 100 kaleng dengan harga Rp 75 ribu per kaleng. Adapun harga kapur kapah ketika tiba di Muara Teweh sampai Rp 150 ribu karena ada ongkos pengiriman. (Yudi Yusmili)
ADVERTISEMENT