news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Warga Adat Dayak Menolak Ibu Kota Negara Dipindah ke Tanbu

Konten Media Partner
15 Juli 2019 18:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua AMAN Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu), Taufik Haderani ditemui di Batulicin, Senin 15 Juni 2019. Foto: Diananta/banjarhits.id
zoom-in-whitePerbesar
Ketua AMAN Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu), Taufik Haderani ditemui di Batulicin, Senin 15 Juni 2019. Foto: Diananta/banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Wacana pindah ibu kota negara ke Kalimantan Selatan agaknya tak direspons positif oleh sebagian masyarakat Kalsel, terutama warga adat Dayak Meratus. Di Kalsel, Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) dan Kotabaru paling berpeluang sebagai lokasi ibu kota negara yang baru, pengganti Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Tanah Bumbu, Taufik Haderani, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Tanah Bumbu bisa mencerabut kehidupan sosial warga adat. Ia mengakui keberadaan ibu kota negara akan memacu pembangunan, tapi sekaligus penghancuran terhadap warga adat Dayak Meratus.
Taufik menegaskan budaya Dayak akan lenyap seiring pembangunan ibu kota negara di Tanah Bumbu. “Proyek ibu kota pasti menggusur masyarakat adat. Yang sekarang saja, kami sudah tergusur tambang dan perkebunan,” ucap Taufik Haderani kepada banjarhits.id -- official partner kumparan.com, Senin (15/7/2019).
Ia khawatir pemindahan ibu kota justru mencerabut sembilan komunitas adat yang mendiami hulu Kabupaten Tanah Bumbu. Di antaranya Alut, Tamone, Dadap, Hatone, Sembilan Satu, Merikut, dan Aliuh. Komunitas adat di Tanah Bumbu dan Kotabaru sering berkonflik melawan perusahaan tambang dan perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, daripada sibuk pindah ibu kota negara ke Kalsel, ada baiknya pemerintah daerah dan pusat segera merealisasikan masyarakata hukum adat (MHA). Pihaknya sudah mendesak penerbitan peraturan daerah ke DPRD Tanah Bumbu dan Pemkab Tanah Bumbu, tapi belum ada realisasi sejak disuarakan pada 2013. Padahal, kata Taufik, perda sangat penting sebagai legalitas pengakuan masyarakat adat.
“Kami merasa tidak mampu bersaing dengan pendatang. Biarkan kami hidup tenang di hutan, kami sudah hidup turun temurun, jangan diganggu. Pengakuan hukum adat dan tanah adat itu yang kami harapkan. Itu sangat penting, karena hutan adat dan tanah adat sudah turun temurun. Kami keturunan Dayak Meratus sering ritual adat,” ujar Taufik.
Ketua BPH AMAN Kalsel, Yulius Tanang, turut mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengakui eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) di tengah wacana pemindahan ibu kota negara.
ADVERTISEMENT
"Kalau mau pindah ibu kota, akui juga kami-kami orang Dayak di Pegunungan Meratus. Kami minta pengakuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten saja dalam bentuk peraturan daerah," kata Yulius.
Kata Yulius, ada sekitar 171 komunitas MHA yang tersebar di 8 kabupaten di Kalsel. Meski jumlahnya ratusan, semua komunitas itu belum satu pun mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Yulius tak menolak pemindahan ibu kota, tapi mesti memperhatikan eksistensi warga adat.
"Intinya ibu kota pindah, kearifan lokalnya tetap harus dijaga. Jangan sampai (karena tidak ada perlindungan) budaya kami seperti ladang berpindah, ritual-ritual lain jadi hilang. Padahal itu merupakan hubungan kami dengan leluhur," ujar Yulius.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Taufik Arbain, justru belum melihat ada potensi gesekan sosial budaya di tengah masyarakat Kalsel. “Jadi, tidak perlu takut apakah nanti akan mendegradasikan wilayah keagamaan dan adat mereka," kata Taufik.
ADVERTISEMENT