Aktivis Sebut Perilaku Masyarakat Ikut Sebabkan Banjir di Gorontalo

Konten Media Partner
9 Januari 2020 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Saluran air di Kota Gorontalo yang dipenuhi sampah. Kamis, (9/1). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Saluran air di Kota Gorontalo yang dipenuhi sampah. Kamis, (9/1). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Sejak Desember 2019, Gorontalo telah diguyur hujan. Puncaknya terjadi pada awal tahun 2020, hujan turun dengan intensitas yang tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam upayanya memperingati masyarakat, kemudian mengeluarkan memo peringatan dini yang berisi informasi cuaca selama tiga hari di Provinsi Gorontalo. Mulai dari 5 Januari sampai 7 Januari 2020.
ADVERTISEMENT
Dalam pengumumannya tersebut, BMKG memperingati masyarakat di sejumlah wilayah di Gorontalo akan potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat dan angin kencang. Artinya, peringatan itu juga bermaksud menghimbau kepada masyarakat agar bersiap-siap datangnya bencana banjir, terutama yang berada di wilayah pesisir sungai.
Di Kota Gorontalo, kondisinya mengkhawatirkan. Sejumlah tempat di wilayah ini pada minggu 5 Januari 2020 terlihat digenangi air setinggi 20 cm. Di beberapa perempatan jalan yang ramai, genangan air ini menyebabkan arus lalu lintas terhambat. Kondisi semacam itu diterima Kota Gorontalo hanya karena hujan yang mengguyur dalam beberapa jam saja. Bayangkan jika seharian.
Walaupun tidak parah seperti yang terjadi di Jakarta, namun protes dari pengguna jalan dan masyarakat tidak terhindarkan. Sejumlah masyarakat bahkan mendesak pemerintah untuk segera bertindak cepat dalam mengatasi persoalan tersebut. Karena bukan tidak mungkin, kondisi yang sama dengan di Jakarta akan menimpa Gorontalo.
Tumpukan sampah dan genangan air ini menyebabkan arus lalu lintas terganggu. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Namun, Rahman Dako, salah seorang aktivis yang perhatian terhadap persoalan lingkungan di Kota Gorontalo, menyoroti sikap masyarakat tersebut. Memang keluhan masyarakat terkait banjir yang tiap tahun terjadi di Kota Gorontalo selalu terjadi. Ia menguraikan persoalan banjir ini, selain karena kiriman dari Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo, banjir di Kota Gorontalo juga terjadi akibat saluran air yang buruk.
ADVERTISEMENT
“Banyak yang mengeluh dan menyalahkan pemerintah karena hampir tidak memiliki solusi menangani persoalan banjir ini. Faktanya memang benar, pemerintah belum maksimal. Salah satunya karena kurangnya alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah dan selokan yang menjadi sebab utama genangan,” ungkapnya belum lama ini.
Rahman melihat masalah ini dengan menyoroti bagaimana sikap dan partisipatif masyarakat terhadap lingkungan. Menurutnya, tidak seluruhnya menjadi kesalahan pemerintah. Karena masyarakat juga ikut berkontribusi terhadap banjir lokal tersebut. Misalkan pada perilaku membuang sampah oleh masyarakat di Kota Gorontalo yang belum baik. Sampah dibuang sembarangan di saluran air hingga menutupi aliran air, sedimen di selokan di depan rumah yang hanya dibiarkan karena berharap pada petugas kebersihan, dan sulitnya masyarakat diajak bekerja sama dalam membersihkan lingkungan.
ADVERTISEMENT
“Saat diajak ‘mohuyula’ membersihkan sampah atau selokan, yang paling aktif biasanya hanya sebagian ASN, LSM, dan mahasiswa. Sedangkan masyarakat, dalam beberapa kali kegiatan mohuyula, hanya jadi penonton dan cuek bebek,” ungkapnya.
Sejumlah tempat di wilayah ini digenangi air setinggi 20 cm. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Menurut Rahman, jawaban ketus kerap diungkapkan oleh sebagian masyarakat ketika diajak untuk kerja sama atau dalam istilah lokal di Gorontalo ‘mohuyula’. Banyak masyarakat menganggap dengan telah membayar iuran sampah, maka telah menggugurkan kewajibannya untuk ikut berpartisipasi dalam membersihkan sampah, atau berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Padahal, iuran sampah diberikan pun, kadang tidak terlalu besar dan rata-rata memang kecil.
“Di wilayah saya, iuran ini hanya lima ribu rupiah saja per bulan. Artinya, jika dihitung perhari, masyarakat hanya membayar 167 rupiah. Angka ini tentu tidaklah cukup untuk menggantungkan semuanya pada peran petugas sampah. Kue saja sekarang harganya dua ribu rupiah per biji” katanya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menurutnya, harus menggaji kurang lebih 319 orang petugas kebersihan. Selain itu, juga membayar sewa lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di wilayah Talumelito. Tidak hanya itu, biaya bahan bakar mesin untuk operasional, perawatan armada pengangkutan sampah dan biaya lainnya, tentu memerlukan ongkos yang banyak. Apalagi jika ditambah dengan gaji sopir armada.
Akibatnya menurut dia, gaji petugas kebersihan terlalu kecil, bahkan jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). Mengutip informasi dari Bidang Lingkungan Hidup Kota Gorontalo, tukang sapu di Kota Gorontalo dibayar 42.500 rupiah per hari. Dengan nilai upah itu, mereka diberi tugas menyapu di wilayah publik kota setiap pagi dan sore. Tidak hanya itu, petugas ini juga rangkap kerja membersihkan gulma di bibir jalan atau di median jalan. Selanjutnya, tukang angkat sampah ke mobil hanya dibayar 55 ribu rupiah per hari dan sopir 65 ribu rupiah per hari. Dengan upah yang menurutnya tidak terlalu besar tersebut, tidak semua petugas kebersihan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Di beberapa perempatan jalan yang ramai, genangan air ini menyebabkan arus lalu lintas terhambat. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Kadang, jika ada peluang kerja di luar yang menjanjikan atau mampu membayar mereka lebih dari itu, biasanya mereka tidak masuk bekerja. Misalkan mereka menjadi pembantu tukang dan lain-lain,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Dengan fakta tersebut, Rahman memberikan himbauan bahwa banjir atau genangan yang kerap terjadi di Kota Gorontalo, juga menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus inovatif dengan solusinya, dan masyarakat harus lebih banyak di bagian partisipasinya. Bukan hanya mengeluh.
“Kota Gorontalo ini adalah milik kita bersama. Kalau bukan kita yang memperindah, siapa lagi?” tutupnya.
Bukti masyarakat terlalu menggantungkan pengelolaan lingkungan itu dilihat dari seringnya unggahan di media sosial tentang sampah.
“Ada seseorang mengunggah sebuah pohon kecil tumbang di depan rumahnya, kenapa tidak ada petugas kebersihan datang membersihkan. Juga, sebuah selokan depan rumah yang kemudian tersendat karena adanya tumpukan sampah, lalu difoto dan diunggah di media sosial dengan nada protes kepada pemerintah. Padahal, dilakukan sendiri juga bisa,” kata Evan, salah satu mahasiswa pencinta lingkungan mengomentari hal itu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, memang saat ini seluruh pekerjaan lingkungan, diserahkan oleh masyarakat kepada pemerintah. Padahal seharusnya, masyarakat ikut membantu. Sehingga bisa bahu-membahu.
“Sampah depan rumah kita, tapi harus menunggu pemerintah yang bergerak. Kan lucu,” tutupnya.
----
Reporter : Wawan Akuba