news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Japesda Mengungkap Musabab Banjir di Gorontalo

Konten Media Partner
10 Juli 2020 12:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Banjir masih menggenangi sejumlah wilayah di Gorontalo. Jumat, (10/7). Foto: Dok banthayoid (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Banjir masih menggenangi sejumlah wilayah di Gorontalo. Jumat, (10/7). Foto: Dok banthayoid (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
GORONTALO - Curah hujan ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini, memicu banjir hingga menenggelamkan sejumlah wilayah di Provinsi Gorontalo. Dalam kurun waktu Juni hingga awal Juli 2020, tercatat sudah dua kali banjir besar menerjang. Banjir pertama terjadi pada hari Kamis 11 Juni 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Kota Gorontalo, dan Boalemo. Jumlah korban yang tercatat di Bone Bolango 8.867 jiwa dan Kota Gorontalo sebanyak 15.083 jiwa. Sedangkan di Boalemo, 107 rumah terendam. Meski begitu, tak ada warga yang diungsikan.
ADVERTISEMENT
Lalu, tak sampai sebulan, banjir susulan kembali terjadi pada tanggal 3 Juli 2020 di wilayah yang sama. Badan Penanggulanagan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Gorontalo mencatat, ada puluhan ribu masyarakat yang terkena dampak banjir pada awal Juli tersebut. Di Kota Gorontalo misalnya, sedikitnya 22 ribu jiwa yang terdampak, sedangkan di Kabupaten Boalemo, tercatat sebanyak 2 ribu jiwa.
Sebelumnya, pada akhir tahun 2018 silam, banjir bandang juga pernah menerjang Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara. Saat itu, banjir diakibatkan oleh meluapnya sungai Alo-Pohu. Sehingga persoalan banjir seperti menjadi ritual tahunan bagi Provinsi Gorontalo.
Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) menjelaskan bahwa pada dasarnya, banjir memang diakibatkan oleh intesitas hujan yang cukup tinggi hingga menyebabkan air sungai meluap. Meski begitu, sebenarnya hal itu tidak akan terjadi jika wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Gorontalo belum rusak. Tapi nyatanya, saat ini wilayah tersebut sudah rusak karena kerusakan hutan atau deforestasi yang semakin cepat.
ADVERTISEMENT
“Kehadiran konsesi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, ikut memberikan sumbangsih besar terhadap deforestasi di Gorontalo. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2016, terdapat 24 izin pertambangan bahan mineral, yang terdiri dari 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tiga izin Kontrak Karya (KK),” kata Nurain Lapolo, Direktur Japesda
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010, luas hutan di Provinsi Gorontalo adalah 824.668 hektare, dan tutupan lahan dengan tingkat deforestasi sebesar 17 persen. Sementara data dari Forest Watch Indonesia, luas hutan di Gorontalo pada tahun 2016 adalah 714.031 hektare. Selang enam tahun terjadi pengurangan luasan sebesar 110.367 hektare atau 13 persen akibat deforestasi.
Selain itu menurut Ain, data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018, pada kategori deforestasi Hutan Lindung (HL): luas hutan lindung yang hilang seluas 1.009,1 hektare dan Gorontalo berada pada peringkat ke-13 di Indonesia (Deforestasi Indonesia Tahun 2017-2018, KLHK 2019).
ADVERTISEMENT
Dari 490.996,29 hektar lahan di Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone (beberapa sungai besar yang sering meluap sehingga mengakibatkan banjir), 50.513,29 atau 10 persen di antaranya dalam kondisi baik. Artinya, ada sekitar 90 persen lahan (dalam dan luar kawasan hutan) di wilayah itu yang rusak atau dalam kondisi kritis.
“Selain kerusakan di area hulu, sungai-sungai yang di Provinsi Gorontalo juga dalam kondisi tidak baik. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Bone Bolango, dari 520 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Provinsi Gorontalo, hanya 27 DAS yang masih dipertahankan (kondisi baik). Sementara, 493 atau 94 persen DAS lainnya, sedang dipulihkan; dengan kata lain, kondisinya kritis. (BPDASHL, 2019),” katanya.
ADVERTISEMENT
Atas persoalan tersebut, JAPESDA memberikan rekomendasi kepada pemerintah, pihak swasta maupun perusahaan dan masyarakat pada umumnya, untuk segera evaluasi konsesi perizinan bagi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Lalu, pemerintah juga harus melakukan perbaikan kawasan hutan dan lahan yang telah rusak parah, serta melakukan evaluasi keberhasilan dan kegagalannya.
Selain itu kata Nurain, pemerintah harus menindak tegas pelaku dan korporasi perusak kawasan hutan dan lahan, seperti perusahaan yang mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, pertanian, serta peruntukkan lainnya.
“(kami Japesda) Mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib warga yang menjadi korban banjir di tengah pandemik COVID-19, dengan melakukan distribusi pangan yang adil di semua wilayah yang terdampak banjir di Provinsi Gorontalo. Dan menghimbau kepada warga yang berada di lokasi rawan banjir untuk tetap terus waspada terhadap banjir susulan, dan tetap terus menjaga kesehatan,” tutupnya. Jumat, (10/7).
ADVERTISEMENT
-----
Reporter: Wawan Akuba