Kisah Pilu Sri Warti Polapa di Gorontalo: 9 Tahun Idap Kanker Otak

Konten Media Partner
19 Februari 2020 12:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sri Warti Polapa, warga Desa Huidu, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, mengidap kanker di kepala. Rabu, (19/2). Foto: Dok Banthayo.id
zoom-in-whitePerbesar
Sri Warti Polapa, warga Desa Huidu, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, mengidap kanker di kepala. Rabu, (19/2). Foto: Dok Banthayo.id
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Seorang wanita paruh baya bernama Sri Warti Polapa (45 tahun), warga Desa Huidu, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, meneteskan air mata saat menceritakan perjuangan hidupnya melawan penyakit kanker otak yang diderita sejak tahun 2011. Ia melawan kanker sambil berjuang membesarkan dua anaknya. Tanpa sosok suami.
ADVERTISEMENT
Suaminya telah meninggal. Sejak kepergian suaminya, ia mulai merasakan sakit kepala. Sakit itu dianggap biasa. Maka Sri hanya mengonsumsi obat yang dibeli di kios.
Sri Warti Polapa, melawan penyakit kanker otak yang diderita sejak tahun 2011. Foto: Dok Banthayo.id
"Ketika merasakan sakit, saya hanya minum obat dari kios. Alhamdulillah sakitnya bisa reda," ucap wanita yang akrab dipanggil Dona tersebut.
Lanjut Sri, bukannya sembuh yang didapat. Sakit kepala itu bahkan semakin menjadi-jadi. Sakitnya luar biasa. Sampai-sampai darah keluar dari pori-pori kulit kepala.
"Rambut mulai rontok ketika akan diratakan dengan sisir," katanya.
Ia melawan kanker sambil berjuang membesarkan dua anaknya. Tanpa sosok suami. Foto: Dok Banthayo.id
Selama merasakan sakit, ia belum pernah memeriksakan penyakitnya tersebut ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat, maupun rumah sakit terdekat.
"Saya tidak punya biaya untuk ke puskesmas, apalagi ke rumah sakit," ucap Sri.
Barulah tanggal 6 Februari 2020 lalu, ia dilarikan ke Rumah Sakit Dunda Limboto untuk mendapatkan perawatan. Saat itu ia pingsan karena tak mampu lagi menahan sakit kepala.
ADVERTISEMENT
"Sakitnya itu tak bisa ditahan, kepala saya sering saya benturkan karena tak bisa lagi saya tahan," ujarnya.
Saat sakit datang, Sri hanya mengonsumsi obat yang dibeli di kios. Foto: Dok Banthayo.id
Selama 10 hari di rumah sakit, ia mengungkapkan, terpaksa memutuskan keluar dan kembali ke rumah karena tak mampu lagi membeli obat di luar BPJS yang harganya sekitar Rp 170 ribu.
"Selama di rumah sakit, saya membeli obat setiap hari di apotek terdekat dengan harga ratusan ribu. Karena menurut dokter, obat tersebut tak tersedia di rumah sakit," ungkapnya.
Sri mengatakan, biaya obat-obatan di luar tanggungan BPJS tersebut, ditanggung oleh saudaranya yang juga sudah berkeluarga dan tergolong keluarga kurang mampu.
Kondisi rumah Sri Warta Polapa. Foto: Dok Banthayo.id
"Saat konsumsi obat itu, sakitnya juga tidak kunjung hilang," katanya.
Untuk kesembuhannya, dokter menyarankan ia dirujuk ke rumah sakit di Makassar, agar mendapatkan penanganan lebih lanjut. Namun lagi-lagi soal biaya menjadi penghalangnya untuk berobat.
ADVERTISEMENT
Sri bekerja sebagai pemulung. Yang setiap hari mengumpulkan plastik bekas dan dijual ke pengepul dengan harga Rp 1.000 per kilogram. Ia mulai memulung pukul 06.00 pagi, lalu kembali pulang setelah gerobaknya sudah terisi penuh.
Gerobak sampah milik Sri yang sering gunakan untuk memulung sampah. Foto: Dok Banthayo.id
Sebelum ditinggal pergi suami untuk selama-lamanya, Sri bekerja sebagai buruh cuci pakaian. Ia selalu menawarkan jasanya ke masyarakat sekitar dengan bayaran mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu sekali cuci.
Setelah suaminya meninggal, Sri memutuskan menjadi seorang pemulung. Ia selalu membawa anak keduanya saat memulung. Usia anak itu masih sembilan tahun.
"Saya tidak ingin menitipkannya ke saudara. Jangan sampai merepotkan. Sehingga saya sering bawa ketika bekerja," ungkapnya sambil meneteskan air mata.
Sri Warti Polapa saat di temui jurnalis banthayo.id dan Ketimbang Ngemis Gorontalo. Foto: Dok Banthayo.id
Saat ini, untuk biaya hidup sehari-hari, Sri dibantu oleh anak pertamanya yang sudah menikah, Fikran Deluma (20 tahun), yang bekerja sebagai buruh serabutan. Sri juga mendapat bantuan dari saudaranya.
ADVERTISEMENT
Sri dan anak keduanya tinggal rumah dengan luas sekitar dua belas meter persegi dan lantai yang mulai retak serta sebagian dinding hanya menggunakan tripleks. Aliran listrik di rumahnya masih bersumber dari rumah ayahnya.
Saat ini, Sri sudah berada di rumahnya. Ia sedang mengonsumsi obat tradisional untuk menghilangkan rasa sakit kepala yang masih sering muncul.
----
Reporter: Ikdal Amala