Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID,GORONTALO – Kelompok tani di Desa Dulamayo, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo mulai kembangakan industri gula semut. Tujuannya untuk menunjang perekonomian sekaligus mengurangi pengelolaan air nira menjadi minuman keras jenis cap tikus.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkap Ketua Kelompok Tani Hutan Ayula, Anwar Canon (59) saat ditemui di rumah produksi pengelolaan gula semut, Sabtu (19/10). Pengelolaan gula semut di kelompok itu sudah dimulai sejak tahun 2018.
“Banyak masyarakat di sini yang hanya menjual cap tikus. Namun pendapatan itu tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka,” kata Anwar.
Anwar pernah mengikuti pelatihan membuat gula semut di Kota Bekasi, Jawa Barat. Pengalaman itulah yang ia terapkan di desanya. Ia mengundang warga pembuat cap tikus untuk sama-sama membuat gula semut.
“Rata-rata di desa ini masyarakatnya kategori miskin. Sehingga saya ajak mereka untuk masuk dalam kelompok ini agar nantinya bisa menaikan ekonomi keluarga dan mencukupi kebutuhan,” jelas Anwar.
ADVERTISEMENT
Air nira bahan baku gula semut milik kelompok tani Hutan Ayula didapatkan dari pohon enau yang banyak tumbuh di Desa Dulamayo. Proses penyadapan air nira harus dilakukan pada pukul 06.00 WITA atau sebelum 08.00 WITA. Bisa juga menyadap pukul 16.00 WITA sampai malam hari.
“Pada pagi hari lewat dari jam yang ditentukan itu, zat asam pada air nira mulai naik. Jika dimasak hasilnya hanya akan menjadi seperti gula batu secara umumnya. Intinya, hasil sadapan air nira tidak bisa diambil pada saat matahari mulai panas,” ungkap Anwar.
Ada beberapa perbedaan pembuatan gula batu dan gula semut. Salah satunya pada proses pemasakan. Di gula batu hanya membutuhkan satu kali pengadukan. Kemudian ditunggu sampai mengental, lalu dicetak. Di gula semut, proses mengaduk harus dilakukan terus-menerus hingga sedikit mengental. Setelah itu dipindahkan ke mesin penggiling selama 15 menit sampai mengering. Lalu hasilnya diayak hingga menghasilkan serbuk yang siap dikemas.
“Biasanya kalau gula batu, nira segar yang diambil dari pohonnya langsung dituangkan ke kuali. Tapi untuk gula semut harus ditapis dan dibersihan dari kotoran. Maka hingga proses akhir, gula semut tidak meninggalkan limbah atau ampas,” jelas Anwar.
ADVERTISEMENT
Kelompok yang diketuai Anwar memiliki 25 anggota. Mereka bekerja bergantian sebagai penimbun air nira. Setiap orang mendapatkan Rp 30 ribu untuk satu kilogram air nira hasil sadapan. Rata-rata setiap orang bisa mendapatkan tujuh kilogram air per hari. Dalam sehari kelompok itu bisa memasak gula semut sebanyak dua kali.
“Anggota kelompok yang sebelumnya hanya memperoleh uang Rp 50 ribu dari hasil jualan cap tikus, sekarang mereka sudah bisa meraih keuntungan hingga ratusan ribu rupiah. Bahkan ada anggota yang sudah bisa beli motor dan membangun rumah mereka,” ungkap Anwar.
Gula semut milik kelompok Anwar memiliki dua varian rasa. Ada rasa orisinal dan rasa jahe. Rasa jahe yang banyak diminati masyarakat Gorontalo. Untuk rasa orisinal paling banyak disukai warga negara asing.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu mereka berkunjung ke sini. Ada yang dari India dan Prancis. Mereka lebih menyukai yang rasa orisinal. Katanya mantab,” Anwar mengisahkan.
Kunjungan warga negara asing itu membuat perusahaan luar negeri melirik produk mereka. Ada perusahaan dari Belanda yang sudah memesan 20 ton gula semut. Negara Prancis juga tak ketinggalan memesan 20 ton gula semut rasa orisinal.
“Satu saset itu ada 200 gram dengan harga Rp 20 ribu. Jadi, untuk saat ini kami lagi menyiapkan bahan yang cukup banyak untuk diekspor ke Prancis pada akhir tahun ini,” tandas Anwar.
----
Reporter : Rahmat Ali
Editor : Febriandy Abidin