Mereka yang Berpesta Jelang Panen Padi

Konten Media Partner
13 Desember 2019 9:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gelaran seni budaya Itu diinisiasi oleh Tupalo dan Huntu Art Distrik (Hartdisk). Jumat,(13/12) Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Gelaran seni budaya Itu diinisiasi oleh Tupalo dan Huntu Art Distrik (Hartdisk). Jumat,(13/12) Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Padi yang menguning di sawah adalah bahagianya para petani. Setelah sekian lama membajak sawah, menanamnya, menyiangi rumput, dan proses lainnya, kini padi-padi tersebut siap panen. Di Gorontalo, saat ini, untuk beberapa kabupaten sudah memasuki masa panen. Dan secara kultural, panen untuk masyarakat agraris menjadi momen untuk mengadakan festival dan perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan atau adat.
ADVERTISEMENT
Di Desa Huntu Selatan, Kabupaten Bone Bolango, sebuah acara tahunan digelar sebagai perayaan jelang panen padi. Kegiatan itu diinisiasi oleh Tupalo dan Huntu Art Distrik (Hartdisk), dua organisasi seni di Gorontalo. Serta melibatkan masyarakat desa, mahasiswa, dan para seniman.
Bertajuk Maa Ledungga, gelaran seni budaya ini telah digelar sejak tahun kemarin. Di tahun keduanya, Tupalo dan Hartdisk memusatkan pergelarannya di sebuah tempat penggilingan padi di areal sawah desa itu. Dua gudang penyimpanan hasil panen dijadikan ruang pameran karya-karya seni.
Secara bersama-sama, yang terlibat dalam kegiatan ini menyulap gudang-gudang tersebut menjadi tempat yang layak untuk memajang karya-karya seni. Walaupun begitu, keadaan sebenarnya tidak banyak diubah. Kesan gudang penyimpanan tetap dipertahankan. Alat timbang beras, mesin dan beberapa alat petani, tetap diletakan di dalam gudang, disandingkan bersama karya seni. Sehingga perasaan memasuki gudang penyimpanan hasil panen petani tetap dirasakan oleh pengunjung.
Pameran digelar di Desa Huntu Selatan, Kabupaten Bone Bolango. Sebuah acara tahunan sebagai perayaan jelang panen padi. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Berbeda dengan tahun kemarin, Maa Ledungga digelar dengan mendatangkan puluhan seniman dari luar Gorontalo. Seniman-seniman ini berasal dari beberapa kota yang telah dikenal sebagai kota seni rupa, seperti Jogjakarta, Bali, dan Jakarta. Selain itu, juga ada dari Kota Mojokerto, Kupang, Makassar, Surabaya, Palu, Pasuruan, dan Kota Batu.
ADVERTISEMENT
Maa Ledungga resmi dimulai sejak 11 Desember 2019. Dibuka oleh Oej Hong Djien, pria yang juga akrab dipanggil OHD itu, adalah seorang kolektor dan kurator seni rupa Magelang yang terkenal di Indonesia.
Di kota asalnya, OHD memiliki museum seni rupa yang diberi nama OHD Museum. Ini merupakan museum pribadi, yang diisi oleh karya seni Indonesia modern kontemporer, yang didirikannya pada tahun 1997 silam. OHD sendiri telah memulai mengoleksi karya seni sejak 1970-an dan saat ini telah memiliki lebih dari 2000 koleksi karya seni.
Koleksinya mulai dari lukisan, patung, instalasi, dan seni media baru. Dalam museumnya, OHD menyediakan koleksi yang mewakili esensi seni Indonesia modern dan kontemporer serta menginspirasi generasi muda untuk menghargai, menikmati, dan melestarikan seni Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketika membuka acara Maa Ledungga, OHD mengungkapkan bahwa kemungkinan tidak banyak orang yang mengenalnya di Gorontalo, karena kedatangannya ini adalah yang pertama kalinya, bahkan di Sulawesi. Ia juga sebenarnya sedang bersiap untuk menghadiri sebuah acara seni di Singapura. Ia diundang membicarakan perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Namun datang ke Gorontalo, dan melihat langsung perkembangan seni rupanya, maka ia kemudian terpikir untuk membicarakan Gorontalo juga di sana. Bahwa denyut seni rupa, juga ada di Gorontalo.
Maa Ledungga digelar dengan mendatangkan puluhan seniman dari luar Gorontalo. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Seni rupa Indonesia, terutama yang kontemporer, memang sudah dikenal di dunia internasional, tapi yang terkenal itu hanya yang ada di pusat saja, seperti Jogja, Bali, Jakarta, Bandung. Yang lainnya belum. Dan hanya dianggap second layer yang belum begitu terkenal,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Maka menurutnya, sudah waktunya denyut seni rupa di Gorontalo digalakkan dan digerakan oleh seniman-senimannya. Karena selama berkeliling di Gorontalo, ia melihat bahwa daerah ini adalah daerah yang subur, tidak hanya untuk tanaman, tapi untuk pertumbuhan seni rupa itu sendiri. Ke depan harapannya, Gorontalo akan melakukan ‘panen raya’ seni rupa.
“Saya itu berasal dari Kota Magelang yang lebih kecil dari Gorontalo. Kota saya ini kota tembakau sebenarnya. Tapi saya berhasil menggerakan masyarakatnya untuk mencintai, memperhatikan, dan mengoleksi karya seni. Sampai akhirnya saya membuat museum privat di sana, tapi terbuka untuk umum,” ungkapnya.
Keberhasilan itu menurutnya juga ikut memberi tempat tersendiri untuk seni di hati masyarakat. Keberhasilannya dilihat dari beberapa gudang tembakau yang kemudian menjadi museum karya seni di sana. Sehingga harapannya, beberapa gudang padi di Gorontalo juga bisa menjadi museum karya seni.
Maa Ledungga dibuka oleh Oej Hong Djien, pria yang juga akrab dipanggil OHD itu, adalah seorang kolektor dan kurator seni rupa Magelang yang terkenal di Indonesia. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
"Ya, ini sedikit provokatif. Tapi memang kerjaan saya itu memprovokasi masyarakat setempat dan pemerintah daerah supaya bersama-sama memajukan seni rupa. Karena bagaimanapun juga, seni rupa ini levelnya tidak lebih rendah dari politik dan ekonomi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu nilai positif dari Gorontalo terkait dengan seni rupa menurutnya adalah peran media dalam memberi ruang pemberitaan terhadap itu. Dia mencontohkan RRI di daerah tersebut yang memberi ruang untuknya dan beberapa seniman untuk berbicara tentang seni.
“Saya pikir, membangun seni budaya di Gorontalo tidak usah menunggu politik dan ekonomi stabil dan mapan. Karena kita bisa memulainya dari sekarang. Jika ini digalakkan, dan semua komponen masyarakat, seniman dan pemerintah daerah ikut serta, Gorontalo sebentar lagi akan menjadi ibu kota seni rupa di Sulawesi,” harapan OHD, sambil menutup sambutannya.
Hasrul Eka Putra, salah seorang pengunjung menyoroti dua karya yang menurutnya dibuat dengan teknik yang sangat baik, dan secara visual mampu menggambarkan Gorontalo.
ADVERTISEMENT
Lukisan pertama yang ia soroti, berjudul “Hilang”, karya Rio, dibuat pada 2019. Lukisan berdimensi 120 x 150 itu didominasi warna kuning dengan sedikit warna kecokelatan di setiap sudutnya. Sedangkan bagian tengahnya diberi ornamen-ornamen kecil yang berbentuk sembarang. Sekilas seperti rumah penduduk yang dilihat dari atas.
Bertajuk Maa Ledungga, gelaran seni budaya ini telah digelar sejak tahun kemarin. Di tahun keduanya, Tupalo dan Hartdisk memusatkan pergelarannya di sebuah tempat penggilingan padi di areal sawah desa itu. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Hasrul melihat karya itu seperti melihat alam dan iklim Gorontalo. Warna kuning yang menyilaukan itu menurutnya seperti warna benda-benda di Gorontalo di siang hari. Porsi cahaya yang berlimpah menurutnya diterima oleh alam Gorontalo, dan lukisan itu merepresentasikan bagaimana alam memantulkan cahaya itu. Sangat silau menurutnya. Sama dengan keadaan siang hari di Gorontalo, ketika tak ada segumpal awan menghalangi matahari.
“Melihat karya seni Rio ini seperti melihat warna-warna yang sudah biasa kita lihat sehari-hari di Gorontalo, tapi dalam karya seni. Itu (lukisan) terlihat seperti disinari matahari yang sangat terang, hingga lukisan itu terkelupas. Kondisi itu menurut saya sangat Gorontalo ‘banget’ jika ditafsirkan secara liar. Karena karya seni,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karya seni kedua yang ia soroti adalah lukisan berjudul “The Blue Sea Olele”, karya kolaborasi Lini Natalini Widhiasi dan Joni Ramlan. Lukisan acrylic di atas kanvas berdimensi 120x160 cm. Dibuat pada hari menjelang pameran.
Jika lukisan pertama menggambarkan sesuatu yang ada di atas permukaan bumi, yang kedua ini menurut Hasrul menggambarkan warna-warna di bawah laut. Memberi pengalaman tersendiri kepada yang melihatnya, bahwa ketika menyelam di bawah laut Gorontalo, maka warna-warna ini yang akan ditemui. Yang menurutnya adalah warna-warna magis.
OHD sendiri telah memulai mengoleksi karya seni sejak 1970-an dan saat ini telah memiliki lebih dari 2000 koleksi karya seni. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Birunya, hijaunya, bahkan ada warna yang saya sendiri tidak tahu, itu warna apa,” katanya.
Walaupun begitu, kepada karya-karya yang lain, Hasrul mengungkapkan kekagumannya. Pada warna, gaya dan tekniknya. Pada pergelaran kegiatan Maa Ledungga ini, ia senang karena masyarakat Gorontalo bisa berada dalam panggung yang sama dengan para seniman nasional. Karena dari karya-karya yang ditampilkan, Hasrul menganggap bahwa selain bisa direfleksikan sebagai diri orang Gorontalo, juga bisa menempatkan orang Gorontalo di tengah keberagaman Nusantara.
ADVERTISEMENT
Hasrul juga mengapresiasi langkah Tupalo dan Hartdisk dalam merangkul kembali seniman-seniman Gorontalo yang berkarya di luar Gorontalo untuk kembali pulang menggairahkan daerahnya. Selain itu, Tupalo dan Hartdisk juga menurutnya berhasil menghadirkan seni tidak hanya pada ruang-ruang eksklusif seperti galeri seni saja, tapi juga pada ruang-ruang publik seperti gilingan padi.
Pergelaran Maa Ledungga diharapkan bisa berada dalam panggung yang sama dengan para seniman nasional. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Tupalo memperlihatkan kepada kita bahwa kesenian itu tidak harus disetir oleh negara, tapi juga oleh individu-individu secara swadaya. Dari penilaian itu, maka saya cukup optimis dengan nafas panjang kesenian Gorontalo,” tutupnya.
----
Reporter : Wawan Akuba