Psikolog Sebut Berita Negatif soal COVID-19 Memengaruhi Mental Masyarakat

Konten Media Partner
31 Maret 2020 12:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO-Dominasi pemberitaan tentang wabah COVID-19, nyatanya memengaruhi kesehatan mental banyak orang. Terlebih ketika informasi yang dikonsumsi adalah berita negatifnya. Misalnya, angka kematian yang tinggi, namun tidak dibarengi dengan berita tentang kesembuhan pasien. Alih-alih mencegah COVID-19 dengan memperkuat sistem imun tubuh, hal ini justru membuat kesehatan mental masyarakat terganggu akibat stres, panik, dan ketakutan lainnya.
ADVERTISEMENT
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Gorontalo, Sukma Nurilawati Botutihe, mengungkapkan di tengah wabah COVID-19, ada perubahan mental masyarakat. Awalnya, masyarakat masih akan bersikap santai dan menganggap biasa saja, bahkan bercanda, tapi semakin disuguhi informasi negatif, dengan dominasi pemberitaannya, kecemasan masyarakat mulai terlihat. Hal itu dapat diamati dengan melihat perilaku yang mulai sensitif dan bahkan cenderung agresif.
“Ini bisa disebabkan karena selain stres dengan berita-berita tentang COVID-19 yang menakutkan, perubahan psikis juga bisa disebabkan karena hal lain. Misalnya rasa jenuh. Work From Home (WFH) yang tadinya dimaknai semacam liburan saja, makin lama dirasakan seperti tekanan. Belum lagi tekanan dan desakan ekonomi. Ini juga pasti dampaknya luar biasa dan bisa menjadi stres yang tinggi buat masyarakat,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut Sukma, pemberitaan negatif yang hanya berisi tentang sesuatu yang tidak menyenangkan saja bisa membuat masyarakat terpengaruh atau stres. Apalagi hal negatif itu bermakna pada hidup dan matinya orang-orang yang dicintainya, serta masyarakat luas. Dampaknya bisa terjadi kepanikan masal.
Tambahnya, secara psikologi, dalam kondisi tertekan individu akan cenderung mencari sesuatu yang bisa mereduksi ketegangan yang dirasakannya. Entah itu objek, atau aktivitas. Hal itu yang mengarahkan masyarakat mendekatkan dengan media sosial. Beraktivitas di media sosial ini pada dasarnya dijadikan masyarakat untuk membantu meringankan stres yang dirasakan, tapi yang terjadi biasanya malah sebaliknya.
“Justru semakin memperparah kondisi mentalnya, karena informasi yang diperoleh bukan memberi ketenangan atau mengalihkan stres yang dirasakan, tapi malah menggugah rasa takut dan cemas yang berlebihan, serta emosi lainnya, seperti marah dan kecewa. Yang ujung-ujungnya bisa memicu agresivitas, baik secara verbal maupun non-verbal,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Sukma, jika ini terjadi bersamaan dan timbul kepanikan massal, maka yang dikhawatirkan juga bisa berdampak pada agresi massal. Dan sangat berbahaya menurutnya.
“Dalam teori sosial, ada yang disebut dengan social contagion. Jadi emosi negatif yang dirasakan bisa memengaruhi orang lain dan akhirnya memicu kekerasan massa. Biasanya ini terjadi saat tawuran, demo anarkis atau penjarahan dan sebagainya. Kita berdoa dan berharap semoga tidak terjadi ya,” tutupnya.
----
Reporter: Wawan Akuba