Upah Minimum di Bawah Standar KHL, Gorontalo Disorot Kemnaker RI

Konten Media Partner
23 Oktober 2019 14:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kenaikan gaji.(SHUTTERSTOCK.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kenaikan gaji.(SHUTTERSTOCK.
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Gorontalo disoroti Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI karena upah minimumnya pada tahun 2015 masih di bawah nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
ADVERTISEMENT
Menurut pasal 63 PP Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan, Gorontalo diwajibkan menyesuaikan upah minimunya sama dengan KHL paling lambat pada penetapan upah minimum 2020.
Kewajiban menyesuaikan upah menimum dengan KHL ini disampaikan Kemnaker RI melalui surat edaran tentang penyampaian data tingkat inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto 2019.
Dalam surat edaran yang disampaikan 15 Oktober 2019 tersebut, menjelaskan penetapan upah menggunakan formula perhitungan umpah minimum. Hal itu merupakan program strategi nasional yang masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid IV.
KHL sendiri adalah kebutuhan seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. Standar KHL ditetapkan sebagai dasar dalam penetapan upah minimum sejak UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Tanggapan APINDO
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Gorontalo, melalui Soeharto Puluhulawa menjelaskan, Provinsi Gorontalo masuk dalam sorotan Kemnaker RI karena pada saat itu, di tahun 2015, UMP hanya ada di angka 1.600.000 rupiah, sedangkan KHL berada di angka 2.098.000 rupiah.
“Namun di tahun ini, UMP kita sudah melebihi angka KHL itu, sehingga justru melampaui KHL,” katanya.
Menurutnya lagi, survey KHL terakhir dilakukan pada 2015, sedangkan sejak PP Nomor 78 tahun 2015 keluar, KHL tidak lagi dijadikan prosedur perhitungan upah. Namun, jika tetap melihat angka KHL 2015, maka UMP saat ini justru sudah jauh melampui KHL.
Ilustrasi kenaikan gaji (Foto: Thinkstock)
“Jika merujuk pada PP no 78 tersebut, UMP kita saat ini ditentukan dari inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, bukan lagi dari hasil survey KHL," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk kenaikan UMP yang mencapai Rp 2.5 juta, Soeharto menanggapi dengan kekhawatiranya terhadap ‘kematian’ pengusaha. Ia menjelaskan tentang pertumbuhan sektor rill dan usaha yang pertumbuhannya stagnan dan sulit berkembang.
“Lihat saja, beberapa galery (produk) di beberapa tempat harus close, juga pabrik-pabrik yang harus tutup. Sedangkan formulasi penentuan UMP sudah tidak bisa diutak-atik. Sementara, banyak industri kita yang tidak tumbuh,” katanya lagi.
Namun menurutnya, jika melihat dua tiga tahun belakangan, sebenarnya para pengusaha sudah tidak merasa kaget dengan kenaikan UMP, karena menurutnya, hal yang perusahaan bisa lakukan adalah hanya melakukan penyesuaian jika mampu menyesuaikan.
“Dengan kondisi seperti ini, berarti beberapa pengusaha hanya akan jalan apa adanya saja, karena jika dipaksakan pun, tentu akan sulit untuk meraka,” tutupnya, Rabu (23/10).
ADVERTISEMENT
----
Reporter: Wawan Akuba