news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Antara Bupati, Kajitow Dan Wisata Syariah Pulau Santen Banyuwangi

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
Konten dari Pengguna
13 Juli 2019 15:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pantai khusus wanita di Pulau Santen, Banyuwangi (Foto: Budi Candra Setya/ANTARA)
Oleh Bachtiar Djanan - Banyuwangi, 12 Juli 2019
Tema Wisata Syariah Pulau Santen Banyuwangi kembali marak menghias jagat postingan sosmed dan pemberitaan berbagai media. Gara-gara sebuah postingan pedas di status facebook Kajitow Elkayeni, membuat banyak pihak bereaksi.
ADVERTISEMENT
Hanya lantaran sebuah postingan sosial media, pemerintah Banyuwangi terlihat cukup tergopoh-gopoh dalam menyikapi, sampai-sampai merasa perlu mengumpulkan budayawan, tokoh agama, dan media massa, demi meng-counter sebuah status facebook.
Bila membaca tulisan Kajitow tersebut, memang wajar banyak orang (terutama orang Banyuwangi) menjadi merasa tersinggung. Kondisi tersebut kemudian (terkesan) dikondisikan lebih lanjut oleh Pemerintah Banyuwangi, untuk membuat si penulis menjadi "common enemy". Saya pikir hal tersebut yang rasanya agak terlalu berlebihan.
MEMILAHKAN UNTUK MENJERNIHKAN
Bagi penulis sekaliber Kajitow Elkayeni, membuat tulisan untuk status di sosial media, mungkin ibarat kentut belaka. Setelah menulis, dilupakan begitu saja. Sementara tulisannya ternyata membuat sebagian orang merasa terusik.
Semula saya sebenarnya enggan berkomentar, namun akhirnya tergelitik juga untuk ikut berpendapat, karena saya rasa ada rangkaian komentar dengan framing yang kemudian membuat bias informasi, dan dapat membuat publik gagal paham dengan ada apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Santen.
ADVERTISEMENT
Jadi, saya berniat untuk meluruskan beberapa informasi yang "kurang pas", dan sedikit mengomentari dialektika panas yang tengah terjadi akibat postingan di status facebook Kajitow Elkayeni mengenai wisata syariah Pulau Santen berjudul "Di Tanah Hindu Banyuwangi Itu, Arabisasi Dipaksakan Tumbuh".
Namun, sebelumnya kita perlu memilah-milahkan pembahasan perihal wisata syariah Pulau Santen dalam beberapa pokok bahasan, agar tidak bercampur menjadi satu, dan bisa lebih jernih dalam menilainya.
ARABISASI VS KE-BHINNEKA-AN
Mengenai tulisan status facebook Kajitow Elkayeni, saya hanya bisa berkomentar, bahwa postingan penulis seword.com ini memang cenderung provokatif, tanpa penggalian lebih dalam mengenai situasi dan kondisi riil di Banyuwangi saat ini.
Terus terang saya tidak sependapat dengan Kajitow yang menyatakan Bupati Banyuwangi dan Dinas Pariwisata Banyuwangi tengah menyuburkan Arabisasi di Bumi Blambangan, ataupun melakukan islamisasi kepariwisataan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, Kajitow rupanya terlalu terburu-buru menyimpulkan, dan kurang jeli menelaah. Di media manapun sebetulnya bisa kita baca, bahwa di tanah ujung paling timur Pulau Jawa ini justru tradisi dan budaya sangat dilestarikan.
Berbagai aktivitas seni budaya dan tradisi, bahkan yang kental berbau mistik sekalipun, tetap subur dipertahankan, dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Seperti tradisi Kebo-Keboan, Seblang, Petik Laut, dll, semua tetap eksis dan merdeka dilaksanakan sesuai adat, tanpa berbenturan dengan agama.
Mungkin hangat dalam ingatan kita, saat adanya rencana aksi dari FPI (Front Pembela Islam) untuk menggagalkan gelaran budaya Gandrung Sewu 2018. Bupati Banyuwangi dan jajaran pemerintah daerah pasang badan menjamin agar event ini terlaksana dengan aman.
Demikian pula dengan "ke-bhinneka tunggal ika-an" di Banyuwangi, itu tak perlu lagi diperdebatkan. Masyarakat suku Osing, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Arab, Cina, dll, serta aneka agama yang ada, semua bisa hidup rukun berdampingan dan saling menghargai.
ADVERTISEMENT
Walaupun tentu tak sempurna, tapi Pemerintah Banyuwangi saya rasa cukup berhasil "mengawal" kondusifitas ke-bhinneka-an tersebut.
Maka menurut saya, dengan membaca kondisi riil Banyuwangi secara obyektif, gugurlah pendapat Kajitow mengenai kecenderungan Bupati Banyuwangi tengah melakukan Arabisasi di Bumi Blambangan.
IDEOLOGI VS CITRA
Tentang pendapat Kajitow terkait Islamisasi pariwisata, saya rasa itu juga terlalu jauh. Tidaklah se-ideologis itu yang terjadi di dunia pariwisata Banyuwangi.
Wisata Halal atau Wisata Syariah di Banyuwangi, menurut saya semata hanya sebuah desain sang Bupati dalam "mengejar prestasi" dalam ranah kepariwisataan nasional. Terbukti, Wisata Syariah Pulau Santen disebut-sebut sebagai wisata pantai syariah pertama di negeri ini.
Akhir Februari 2017, dalam waktu seminggu, semua SKPD (dinas dan instansi) terkait diterjunkan sang Bupati secara keroyokan membangun berbagai fasilitas pariwisata di Pulau Santen, tanpa sebelumnya di-prolog sosialisasi yang cukup pada masyarakat setempat. Semua serba cepat dan serba top down.
ADVERTISEMENT
Tanggal 2 Maret 2017, Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen di-launching dengan gegap gempita, dan gebyarnya menggaung sebagai headline berita di berbagai media. Tepat bersamaan dengan lawatan Raja Salman dari Arab Saudi ke tanah air, yang kemudian dilanjutkan dengan berlibur ke Bali, yang tentunya tidak beraroma syariah sama sekali.
KECELAKAAN KONSEP
Namun untuk Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen, saya anggap ini sebagai "sebuah kecelakaan konsep", yang semula memang cukup berhasil dikemas untuk "mencuri perhatian", namun belakangan ternyata kurang berhasil diimplementasikan di lapangan.
Mengapa saya mengatakan sebuah "kecelakaan konsep"...? Karena menurut saya memang Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen kurang direncanakan matang, dan tidak melalui riset yang representatif (bahkan bisa jadi memang tanpa riset sebelumnya).
ADVERTISEMENT
Tentang apa dan bagaimana wisata halal atau wisata syariah, siapa dan seberapa besar ceruk pasar yang dibidik, seperti apa konsep utuh wisata syariah di lapangan, sesuaikah konsep dengan atmosfer karakter masyarakatnya, bagaimana teknis pengelolaan dan strategi pemasaran yang sesuai segmen, saya rasa semua itu belum terencana dan tergarap secara komperhensif.
Wisata syariah Pulau Santen sempat ramai di bulan-bulan pertama pasca launching pada tahun 2017 yang lalu, karena euforia masyarakat yang penasaran setelah membaca media. Namun lambat laun pengunjung pantai yang hanya berjarak kurang dari 2 km dari pusat kota Banyuwangi ini makin menyusut.
Sudah sekitar setahun ini "aturan syariah" yang dulunya ditetapkan di wisata Pulau Santen, berupa pemisahan pria dan wanita, kini sudah tidak lagi diindahkan oleh pengunjung. Papan pengumumannya pun telah raib entah ke mana.
ADVERTISEMENT
Artinya, konsep wisata halal atau wisata syariah yang diusung Bupati Banyuwangi di Pulau Santen, kini terbaca tak lagi diminati pengunjung, dan bahkan oleh pengelolanya sendiri, yaitu masyarakat Pulau Santen.
Bukannya saya menolak wisata halal atau wisata syariah, tapi sudah terbukti, akhirnya hari ini wisata syariah ( = pemisahan pria dan wanita) di Pulau Santen tinggal "judul" belaka, namun prakteknya di lapangan tinggal cerita.
BRANDING VS KARAKTER ORIGINAL
Pulau Santen sebetulnya sangat menarik. Ada muara sungai dengan mangrove-nya, savana dengan jajaran pohon santennya, pemandangan indah Pulau Bali, sunrise yang menawan, pantai tempat penyu mendarat untuk bertelur, ditambah aktivitas keseharian masyarakat nelayannya yang eksotis. Semua itu adalah karakter unik dari pantai ini.
ADVERTISEMENT
Namun kehadiran tema Wisata Halal atau Wisata Syariah membuat pantai ini kedodoran dalam memaknai identitasnya. Nafas karakter khas yang original dari Pulau Santen seakan terabaikan, dan terkesan hanya dianggap sebagai pelengkap.
Dan sayangnya, selain adanya pemisahan antara pria dan wanita, sebenarnya tak ada hal istimewa lain yang membuat Pantai Santen "layak" digembar-gemborkan mengusung tema besar Wisata Halal atau Wisata Syariah.
Kalau tentang ketersediaan makanan halal, atau adanya mushola dan tempat wudhu, pantai-pantai lain di Banyuwangi juga hampir semuanya sudah menyediakan fasilitas serupa, tanpa harus distempel dengan label wisata halal atau wisata syariah.
Jadi apa yang khas dari tema wisata halal atau wisata syariah di Pulau Santen? Semestinya branding dalam pariwisata disematkan karena ada sesuatu yang istimewa, untuk menjadi pembeda antara produk pariwisata satu dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
SALAH RUANG DAN WAKTU
Alasan membidik ceruk pasar tertentu, alasan sekedar sebagai sebuah strategi marketing, atau apapun itu alasannya, saya rasa branding Wisata Halal atau Wisata Syariah di Pulau Santen memang kurang tepat, baik secara ruang maupun waktu.
Selain memang tidak matang dalam perencanaan, serta gagap dalam operasional teknis maupun pemasarannya, branding Wisata Halal atau Wisata Syariah tentu tidak senafas dengan karakter masyarakat Banyuwangi yang sangat multi agama, multi etnis, multikultur, bahkan multi bahasa.
Kalau boleh mengusulkan tema branding, tentunya branding "wisata bhinneka tunggal ika" di Banyuwangi akan jauh lebih tepat dibanding dengan branding wisata halal atau wisata syariah, dengan tagline "kalau ingin tahu tentang bagaimana bhinneka tunggal ika dipraktekkan, ya di Banyuwangi inilah tempat yang paling tepat".
ADVERTISEMENT
Jadi, tulisan Kajitow yang menyatakan Banyuwangi sebagai tanah Hindu, itu jelas tidak tepat. Namun mem-branding wisata halal atau wisata syariah di tanah Blambangan yang sangat bhinneka, itu juga sebuah kebijakan yang salah ruang.
Di tengah kondisi psikologis bangsa yang sensitif, antara kalangan Islam fanatik versus nasionalis, atau antara para kampret versus cebong, maka tema Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen menjadi "bahan gorengan" yang sexy, walaupun sebenarnya sudah terlambat lebih dari dua tahun semenjak lahirnya wisata ini.
FRAMING DAN IRONI
Satu hal "menyakitkan", terkait dengan terangkatnya lagi tema Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen, adalah munculnya kembali beberapa framing di media yang menuliskan bahwa Pulau Santen ini dulunya merupakan kawasan lokalisasi.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama persis terjadi dua tahun yang lalu, dalam gebyar pemberitaan launching wisata syariah Pulau Santen. Tema ini tayang baik sebagai judul berita, dalam isi tulisan, maupun pada caption foto.
"Wisata halal Pulau Santen didirikan di bekas lokalisasi", "dulu lokalisasi sekarang menjadi wisata syariah", "dari tempat mesum menjadi wisata syariah", dan sejenisnya. Tulisan semacam ini bahkan tampil di media-media skala nasional sekelas detik.com, cnnindonesia.com, hidayatullah.com, dan beberapa media lainnya
Framing ini membuat orang menilai bahwa wisata halal atau wisata syariah di Pulau Santen terkesan sangat "mulia", demi sebuah "perubahan akhlak" sekumpulan masyarakat yang dulunya dianggap terjerumus dalam dunia kegelapan.
Padahal informasi Pulau Santen adalah eks lokalisasi tersebut 100% adalah hoax. Saya sendiri kurang paham, hoax ini apakah bersumber dari kesalahan keterangan pers pihak pemerintah, atau berasal dari kesalahan reporter dan redaksi media dalam menulis..?
ADVERTISEMENT
Memang dulu ada lokalisasi Pakem yang telah lama ditutup Pemerintah Banyuwangi pada tahun 2013, yang berada di wilayah Kelurahan Karangrejo, kelurahan yang sama dengan Pulau Santen. Namun tetaplah tempat yang berbeda. Jaraknya pun cukup jauh, sekitar 1,5-2 km dengan Pulau Santen. Pulau Santen sendiri tidak terkait dan tidak tersentuh sama sekali dengan aktivitas lokalisasi Pakem tersebut.
Coba kita bayangkan, bagaimana perasaan warga Pulau Santen ketika membaca berita-berita tersebut, yang tentunya telah tayang dan bisa diakses dalam skala nasional.
Bila ternyata framing ini memang merupakan sebuah kesengajaan, maka sungguhlah ironis, membangun wisata syariah atau WISATA HALAL, tapi dilakukan dengan meng-HALAL-kan segala cara.
SAATNYA EVALUASI
Membaca kondisi terkini, baik dari sisi penerapan konsep wisata syariah di Pulau Santen yang belum jelas mau dibawa ke mana, dari sisi belum tajamnya segmen pasar yang dibidik, dari sisi pandangan pelaku pariwisata terhadap brand wisata syariah, dari pandangan umum masyarakat luas, dan dari berbagai sisi yang lain, nampaknya perlu segera ada evaluasi terhadap Wisata Halal atau Wisata Syariah Pulau Santen.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya Pemerintah Banyuwangi bisa meriset dan menganalisa secara obyektif tentang apa yang sudah dibangunnya sendiri, agar bisa diukur bagaimana indikator keberhasilan program, dari berbagai sisi tentunya.
Pemerintah perlu menggandeng kalangan akademisi atau pihak-pihak yang berkompeten untuk melakukan survey tentang evaluasi pengembangan Wisata Halal atau Wisata Syariah di Pulau Santen.
Apakah nantinya konsep wisata tersebut akan tetap dipertahakan dengan berbagai perbaikan, atau sekalian dirubah saja konsepnya, sesuai potensi dan karakter yang ada, tentu harus ada riset dan analisa yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan tentunya, pemerintah Banyuwangi perlu berbesar hati terhadap apapun rekomendasi dari hasil evaluasi tersebut.
Saya sendiri cenderung mengusulkan agar pemerintah berorientasi wisata di Pulau Santen ini dikelola sepenuhnya oleh warga. Maka sebaiknya wisata di sana bisa dikembangkan dengan konsep yang sesuai karakter dan potensi yang ada. Jangan mengada-ada atau dipaksakan dengan konsep yang "jauh" dari atmosfer riil yang ada di masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Namun apabila Pemerintah Banyuwangi tetap berniat mempertahankan konsep wisata halal atau wisata syariah di Pulau Santen, tentunya harus dikelola dan dikawal langsung oleh Pemerintah Daerah, atau menggandeng pihak-pihak yang memang ahlinya dan berpengalaman dalam bidang wisata halal atau wisata syariah.
Atau mungkin memang dunia pariwisata Indonesia perlu "membongkar ulang" pemahaman mendasar tentang apa itu wisata syariah dan wisata halal, apa yang mendasari munculnya wisata halal atau wisata syariah, apakah tema halal untuk pariwisata ini sebetulnya hanya perlu diperkuat sebagai fasilitas layanan, atau memang diperlukan untuk menjadi sebuah branding, bahkan menjadi sebuah tujuan...?
Dan sebetulnya masih banyak hal lain yang perlu untuk dipertimbangkan ulang, terkait dengan saat ini tema halal atau syariah tersebut mempunyai banyak implikasi yang cukup sensitif.
ADVERTISEMENT
Sebagai bahan referensi, silahkan dibaca bagian kedua postingan saya ini. Tulisan yang saya buat dua tahun yang lalu, hanya beberapa hari setelah kegiatan Launching Wisata Syariah Pulau Santen oleh Bupati Banyuwangi.
Semoga kita semua, terutama diri saya sendiri, senantiasa bisa bijak serta obyektif dalam memandang segala sesuatu dari kacamata yang jernih, dan dengan analisa yang komperhensif menyertakan berbagai sudut pandang. Aamiin. [BDj/BTD]