news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyoal Tentang Kebenaran

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
17 September 2017 0:07 WIB
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyoal Tentang Kebenaran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: LBH Jakarta
16 September 2017 adalah hari yang buruk bagi perkembangan demokrasi. Hanya terpaut sehari setelah Hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 15 September, pihak kepolisian mencoreng dan menginjak-injak demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada hari Sabtu, Polsek Menteng melakukan blokade dan penyerbuan terkait kegiatan Seminar Sejarah 1965 dengan tema "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung YLBHI Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta.
Ini merupakan pelanggaran serius atas hak berkumpul warga dan hak warga berekspresi tanpa direpresi dan ditakut-takuti. Ini juga kali pertama polisi berani masuk ke dalam gedung YLBHI/LBH Jakarta dan menggeledah tanpa izin di zaman pemerintah Joko Widodo.
Blokade telah dilakukan sejak pukul 07.00 WIB dengan pengerahan sekitar 30 Brimob dan 1 peleton Sabhara yang diturunkan di mulut jalan Mendut, pintu masuk ke arah kantor YLBHI. Selanjutnya kepolisian menggembok pintu YLBHI dan membentuk pagar manusia di depan YLBHI.
ADVERTISEMENT
Tindakan kepolisian ini semula diduga untuk melindungi kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang telah lebih dulu diberitahukan kepada pihak kepolisian dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, hingga Polsek Menteng pada Jumat, 15 September 2017 sore hari, setelah sebelumnya beredar broadcast berisi ajakan menolak kegiatan yang dituding menyebarkan komunisme. Namun ternyata, pada hari Sabtu, 16 September 2017 aksi gembok pintu dan pagar manusia berubah menjadi blokade terhadap peserta diskusi yang terdiri dari para korban '65/'66 dan akademisi.
Aliansi Masyarakat Pancasila Anti Komunis (Foto: Fadjar Hadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aliansi Masyarakat Pancasila Anti Komunis (Foto: Fadjar Hadi/kumparan)
Blokade dinyatakan berlaku tanpa pemberitahuan dan sekalipun panitia sudah menjemput para peserta diskusi dan menunjukkan telah ada kesepakatan dengan pihak kepolisian, Kapolsek Menteng Rudolf Purba bersikap keras kepala dengan menyatakan tidak ada perintah untuk membolehkan orang masuk ke gedung YLBHI.
ADVERTISEMENT
Setelah tindakan blokade, kepolisian juga tidak melakukan tindakan perlindungan terhadap para peserta diskusi saat rombongan massa anti-komunisme berdatangan ke depan kantor YLBHI. Jumlah mereka pada saat datang sekitar 50 orang dengan pelbagai seruan yang menolak penyebaran komunisme.
Pada pukul 15.00 WIB, saat massa anti-komunisme telah bubar dan orang mulai masuk ke dalam gedung YLBHI, tiba-tiba polisi menyerbu masuk dan naik ke lantai 4 Gedung YLBHI. Kapolsek Menteng Rudolf Purba dan anak buahnya melakukan pencopotan spanduk dan membubarkan sejumlah peserta diskusi dan panitia yang sedang duduk-duduk untuk evaluasi situasi. Alasannya bahwa sudah ada kesepakatan tidak ada acara dan karenanya ia melarang orang-orang yang berkumpul di lantai 4 untuk sekedar duduk untuk mengevaluasi situasi.
Kapolres Jakpus, Kombes Suyudi di gedung LBH. (Foto: Fadjar Hadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kapolres Jakpus, Kombes Suyudi di gedung LBH. (Foto: Fadjar Hadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Padahal perlindungan atas hak berkumpul dan menyuarakan pendapat sudah jelas dinyatakan dalam konstitusi negara Indonesia yaitu pasal 28 UUD 1945. Dan bilamana ada upaya untuk membatasi kebebasan tersebut, maka pihak yang melakukan upaya pembatasan perlu membawa perintah pengadilan.
Blokade dan penyerbuan ke gedung YLBHI terkait kegiatan itu juga menunjukkan posisi negara yang tidak ingin sejarah diluruskan, padahal sudah benderang ada persoalan pelanggaran kemanusiaan yang fatal pada awal masa Orde Baru tersebut yang terlalu lama dibiarkan dan para pelakunya mendapat impunitas.
Kronologi di atas merupakan detail peristiwa dan penjelasan yang disebarkan oleh Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi. Gerakan ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari gerakan buruh, petani, pelajar, mahasiswa, intelektual, kelompok keagamaan, jurnalis, aktivis kebebasan berekspresi, pengacara publik, aktivis literasi, dan komunitas seni. Segera setelah kejadian ini berlangsung, 80 organisasi masyarakat sipil dan individu menyatakan protes keras.
ADVERTISEMENT
Saya hanya terhenyak mendengar apa yang terjadi di gedung YLBHI/LBH Jakarta. Bagaimana bisa blokade dan penggerudukan terhadap kantor advokat, terjadi di negara (yang katanya) demokratis? Lalu bagaimana bisa di sebuah negara demokrasi, ada penutupan akses terhadap kebenaran?
Saya tidak ingin masuk dalam polemik mengenai PKI dan peristiwa G-30-S. Rasanya para sejarawan di luar sana pun masih tidak bersepakat tentang hal ini. Bagaimana bisa menemukan kata sepakat, jika dokumen yang ditemukan sangatlah terbatas dan sebagian besar orang yang diduga terlibat dalam peristiwa itu, telah mati terbunuh. Namun, saya ingin mencoba menceritakan sepintas mengenai apa yang terjadi dalam perspektif yang lebih kecil, yaitu perspektif keluarga korban.
ADVERTISEMENT
Saya lahir di keluarga guru. Buyut saya pun seorang guru dan Beliau adalah salah satu pengurus NU di Kabupaten Bondowoso. Rumah buyut pada saat itu ramai sekali (sudah seperti open house) karena banyak orang tanya ini-itu ke buyut saya, tak terkecuali yang berasal dari golongan komunis. Tapi perlu digarisbawahi di sini, bahwa kami bukanlah komunis.
Perkiraan masyarakat, seluruh orang yang dibunuh pada tahun 1965 itu adalah anggota PKI, pendukung kudeta, dan perancang gerakan pembunuhan terhadap jendral TNI, atau gampangannya merupakan orang jahat. Ini adalah pendapat yang keliru dan perlu diluruskan.
Sederhananya, untuk menentukan apakah seseorang itu jahat atau baik, berbahaya atau tidak, makar atau bukan, perlu ada pembuktian melalui peradilan yang jelas. Tidak asal gebuk, tonjok, tusuk, tembak, dan bunuh.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadi peristiwa pemberontakan pada tahun 1965, kekacauan juga melanda daerah-daerah. Banyak orang yang ditangkap dan dibunuh karena diduga terkait dengan peristiwa itu. Lalu mendadak buyut saya pun hilang. Alasannya tidak bisa diterima, karena rumah kami sering didatangi orang komunis. Padahal, intensitas kedatangan tokoh NU ke rumah kami lebih sering.
Tidak hanya buyut, satu persatu laki-laki di keluarga kami menghilang tanpa kejelasan. Bahkan juga seorang cucu laki-laki yang masih berusia 10 tahun.
Sejak itu keluarga kami menutup diri dari orang luar. Rumah kami tak lagi seperti open house. Eyang buyut sekaligus guru kami, telah hilang kabar beritanya.
Praktis tulang punggung keluarga kemudian beralih pada buyut putri yang bekerja sebagai pedagang. Sepeninggal suami, anak, dan cucu lelaki, buyut harus menghidupi anak perempuan, janda-janda dari anak lelakinya, sekaligus cucu yang masih hidup.
ADVERTISEMENT
Untungnya, masyarakat di sekitar tempat tinggal kami mengetahui bahwa keluarga kami adalah keluarga Nahiyidin, jadi tidak ada penghakiman terhadap kami. Yang ada malah pertolongan demi pertolongan.
Kejadian tersebut seperti hilang tak berbekas. Buyut putri tidak pernah mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Beliau terlalu sibuk mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga. Tak pernah ada keluhan yang pernah didengar keluarga. Cuma sekali beliau ambruk dan menangis, sehari sebelum Idul Fitri. Saat ditanya kenapa, ternyata saat sholat, Beliau melihat jasad suami, anak, dan cucu lelaki di sajadah tempatnya berdiri.
Buyut putri tidak pernah melapor, menuntut, mencari keadilan, atau meminta pertanggungjawaban. Ia tabah menerima apa yang telah terjadi dan menganggap semua itu hanyalah cobaan dari Tuhan yang harus dihadapi dan dijalani.
ADVERTISEMENT
Sekian tahun berselang, pembunuh buyut kakung sudah datang ke rumah untuk minta maaf. Sang pelaku mengakui bahwa benar ia yang membunuh buyut dan keluarga kami yang lain. Ia mengetahui bahwa keluarga kami bukanlah komunis, serta mengungkapkan bahwa alasan pembunuhan itu adalah semata-mata karena persaingan dagang.
Lalu apa yang dilakukan oleh buyut putri? Dengan sabarnya Beliau menemui sendiri sang pelaku yang mendatangi rumah kami. Beliau masih sempat membuatkan kopi dan berkata padanya bahwa ia sudah memaafkan. Namun, pertanggungjawaban soal bunuh-membunuh tetap urusan Tuhan YME.
Yang bersangkutan tidak pernah diadili, tidak pernah dituntut karena kejahatan yang dia lakukan, dan tidak pernah merasakan dinginnya penjara. Namun, si pelaku kemudian gila, --entah bagaimana kabarnya dia kini. Apakah yang bersangkutan sudah meninggal atau masih hidup dalam kegilaan.
ADVERTISEMENT
Saya sudah berusaha mencari, sebetulnya berapa jumlah orang yang dibunuh pada kejadian tahun 1965 di Kabupaten Bondowoso. Namun, tidak ada data-data yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Semua benar-benar gelap. Apalagi pihak yang tidak melapor seperti buyut saya itu banyak sekali.
Jikapun ada data yang tersedia terkait data korban, tampaknya jika ditelisik lebih lanjut jumlahnya akan menggelembung karena banyaknya warga yang belum tercatat. Namun, sebagaimana ditulis dalam disertasi John Roosa yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2006, sampai pertengahan 1966 dua surat kabar utama Amerika Serikat sudah menyiarkan ke publik bahwa saat itu, di seluruh Indonesia terjadi pembunuhan massal sekitar setengah juta orang. Dan seratus ribu orang di antaranya, bukanlah pelaku tetapi korban (lihat halaman 32).
ADVERTISEMENT
Sekarang, setelah lima puluh tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Seakan-akan tiap usaha untuk meluruskan sejarah hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan yang sesat dan tidak berdasar.
Jika sampai detik ini sejarah tentang peristiwa tahun 1965 sangatlah kabur, lalu mengapa perlu ada penutupan akses terhadap kebenaran? Jika seluruh upaya untuk mengoreksi sejarah diberangus, lalu kapan kita akan mengetahui kebenaran itu? Dan ketika kebenaran sejarah tidak lagi penting, lalu apakah masyarakat akan selamanya hidup dalam kekaburan sejarah?
ADVERTISEMENT
Saya ingin mengutip salah satu petuah bijak yang pernah saya terima. Bahwa kebenaran itu laksana sinar matahari. Segala usaha yang dilakukan untuk menutupi kebenaran, sama halnya dengan upaya menyelimuti matahari. Tidak akan pernah berhasil.
Suatu saat kebenaran akan terungkap. Dan selama kebenaran itu belum muncul, sesungguhnya kita hidup dalam dunia yang penuh kegelapan.