Saatnya Jember Punya Festival Film

Bambang Aris Kartika
Dosen program studi Televisi dan Film Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2022 12:45 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Aris Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Festival film Komunitas UNEFF Enture
zoom-in-whitePerbesar
Festival film Komunitas UNEFF Enture
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mendengar Jember, ingatan publik terbangkitkan oleh Jember Fashion Carnival (JFC). Event yang digelar pertama kali tepat dengan HUT Kabupaten Jember, 1 Januari 2003. Ini telah jadi ikon kebanggaan masyarakat Jember, sekaligus satu-satunya event internasional yang hingga kini terus berlangsung. Terbukti, beberapa penghargaan internasional, seperti Second Runner-Up pada International Carnaval de Victoria 2016 di Seychelles, maupun dinobatkannya Jember sebagai Kota Karnaval pertama di Indonesia, berhasil diraih.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa tak ada event lain yang berpotensi jadi perhelatan ikonik bagi Jember? Festival film nampaknya bisa jadi alternatif ajang berkonsep festival. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), 2018, subsektor ekonomi kreatif punya kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Sektor ini menyumbang 7,44% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), 14,28% tenaga kerja, 13,77% ekspor. Juga tercatat 8,2 juta usaha kreatif sebagai usaha ikutannya. Ini didominasi oleh 3 subsektor, usaha kuliner, fesyen, dan kriya. Selain itu, ada 4 subsektor dengan pertumbuhan tercepat: TV dan radio; film, animasi, dan video; seni pertunjukan; dan desain komunikasi visual. Ini artinya, industri perfilman berpotensi jadi salah satu ikon ekonomi kreatif, satu di antaranya berlangsung dari Jember.
Walaupun Jember merupakan wilayah berbasis agrikultur, namun masyarakatnya tak menampik budaya popular. Industri kapitalistik, yang sarat dengan kepentingan ekonomi politik dan produksi budaya sebagai komoditi, memposisikan masyarakat sekedar sebagai konsumen belaka, atas produk industrinya (Adorno dan Horkheimer, 1979). Salah satu bukti penerimaan masyarakat pada budaya populer ini, di wilayah yang dikelilingi oleh perkebunan, adalah penyelenggaraan JFC di atas, berikut kesertaan mereka berlenggak-lenggok di catwalk jalanan dengan kostum hasil kreasi sendiri. Sementara di industri perfilman terdapat bioskop berkonsep Cineplex, yang uniknya memfasilitasi film-film indie, hasil kreativitas sineas muda Jember. Meskipun untuk itu sineas mesti membayar, agar bisa tayang.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian Tim Kelompok Riset (KeRis) Film Studies Universitas Jember didapati, di wilayah Jember telah tumbuh 30 komunitas film sejak berdirinya Program Studi Televisi dan Film, sejak tahun 2010. Meskipun 7 komunitas di antaranya, mati suri akibat problem regenerasi organisasi. Namun etos berkarya patut dikagumi. Tanpa keterlibatan investor, berhasil memproduksi karya-karya film pendek. Ini dibiayai dengan cara “saweran”, duit pribadi. Orientasi para sineas muda ini, menyertakan film pendeknya ke ajang-ajang festival film.
Yang perlu dicatat, penggerak komunitas film itu adalah mahasiswa maupun alumni dari Program Studi Televisi dan Film (PSTF). Demikian pula, beberapa SMK di Jember punya jurusan multimedia. Ini jadi sumber SDM calon-calon sineas muda di industri kreatif subsektor perfilman.
ADVERTISEMENT
Nampaknya Pemda perlu melihat potensi ini. Agar dapat mewadahi kaum muda kreatif ini menghidupkan sektor industri kreatif di Jember. Terlebih jika dapat dikelola secara profesional, sebagaimana JFC yang telah menjadi ikon pariwisata nasional, bahkan diakui internasional.
Persoalan utama sineas muda Jember berupa persoalan eksebisi. Maka festival film bisa jadi satu alternatif jalan keluarnya. UNEJ hadir sebagai messiah yang memfasilitasi para sineas muda untuk menampilkan hasil ekspresi kreatifnya. Seraya mendesiminasi, dan memasuki ruang apresiatif.
Berdasar data filmindonesia.or.id, industri film nasional berhasil mendulang keberhasilan mengembangkan usaha industri kreatif Di tahun 2022 hingga bulan September, tercatat jumlah penonton film layar lebar di Indonesia telah mencapai 45 juta orang. Angka ini nyaris menyamai pencapaian jumlah penonton tertinggi sebelum pandemi Covid-19, yang meraih 50 juta penonton pada tahun 2018. Bahkan saat ini, industri kreatif mencatatkan pangsa pasar dalam negeri sebesar 61%. Dengan demikian, ini jadi petunjuk keberhasilan industri perfilman dalam negeri sukses mengungguli film asing, yang capaian pangsa pasarnya sebesar 39% (Kompas, 6/10/2022).
ADVERTISEMENT
Festival film bertaraf nasional, jadi keniscayaan untuk diselenggarakan di Jember. Bahkan tidak tertutup kemungkinannya, naik ke taraf internasional. Ini bisa sama tingkatannya dengan JFC atau pun JiFFest, Jakarta International Film Festival. Event yang diadakan tiap tahun di bulan Desember, sejak tahun 1998. Potensi tersebut jelas ada dengan kehadiran Universitas Jember. Kampus di Timur Pulau Jawa ini, sejak 2022 menyelenggarakan UNEJ Film Festival (UNEFF). Pelaksanaannya mulai 18 hingga 20 November 2022, bertepatan dengan Dies Natalis UNEJ ke 58.
Hajatan nasional bertajuk UNEJ Film Festival (UNEFF) merupakan kelanjutan dari festival film yang rutin digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Televisi dan Film (Himafisi), dengan brand HFF, alias Himafisi Film Festival. Ajang yang telah diselenggarakan sebanyak tiga kali, sejak tahun 2016, 2018, dan 2021.
ADVERTISEMENT
Kali pertama penyelenggaraan UNEJ Film Festival (UNEFF) sengaja bertepatan dengan momentum Dies Natalis ke 58 UNEJ. Ini bertujuan untuk membuktikan komitmen rektor dalam menggerakkan dan membuka ruang dialektika kreatif insan-insan muda yang menekuni dunia perfilman.
Selama ini kreativitas mereka terbentur oleh industri eksebisi di Jember yang dikuasai kepentingan pasar dan kapital. Sebagai institusi pendidikan tinggi, UNEJ turut berperan membangun ekosistem industri kreatif bagi pengembangan kemampuan para sineas-sineas muda di Jember, maupun wilayah lainnya.
Inisiatif UNEJ ini patut diapresiasi, mengingat Jember belum punya festival film bertaraf nasional. Sejalan dengan komitmen Rektor Universitas Jember Iwan Taruna, UNEFF 2022 akan mengambil tema cultifest yang bermakna pembudidaya. Dalam konteks film festival, pembudidaya adalah kalangan pegiat film, yang senantiasa berusaha berkembang, dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Diharapkan dengan semua upaya itu, bisa membuahkan hasil yang bermanfaat bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT
UNEFF yang diinisiasi oleh Universitas Jember akan membumikan kampus tidak lagi jadi menara gading. Ini selaras dengan konsep tridharma perguruan tinggi yang meliputi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi seluruh sivitas akademika, baik dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa. UNEFF manifestasi dari konsep kampus merdeka belajar kampus merdeka.
Pada ajang UNEFF, akan diselenggarakan aneka agenda kegiatan bernuansa film. Ini termasuk di dalamnya: kompetisi film, seminar pentingnya pengetahuan manajemen festival film kampus, pelatihan teknik sinematografi, diskusi eksistensi televisi lokal di tengah dominasi televisi nasional, diskusi cara mendistribusikan film yang baik, pemutaran film, hingga pasar membangun kolaborasi.
Dari mata acara kompetisi film, hingga minggu pertama bulan Oktober, telah ada sekurangnya 100 film yang dikirim ke panitia. Film-film itu terbagi dalam lima kategori: kategori film fiksi pelajar, kategori fiksi umum, kategori film dokumenter, kategori film vertikal, dan kategori khusus film tentang Jember dan wilayah Tapal Kuda. Bagi UNEJ hal ini sejalan dengan tagline yang selalu digaung-gaungkan sebagai universitas yang Working in Harmony, Nurturing the Future. Sudah saatnya Jember punya Festival Film, yang bahkan bisa berkembang di kancah nasional.
Komunitas UNEFF Enture
ADVERTISEMENT