Mengapa Angkutan Umum Konvensional Mulai Ditinggalkan Konsumen

Bayu Sapta
Penulis 20 buku. Editor. Founder of Aktifisika dan VuturistiX
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2017 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bayu Sapta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Angkutan Umum Konvensional Mulai Ditinggalkan Konsumen
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini marak terjadi demo dan mogok masal angkot atau angkutan umum konvensional di berbagai kota yang menolak kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi (misalnya, Grab, Gojek, dan Uber). Alasan penolakan moda transportasi berbasis aplikasi ini karena dianggap mengurangi pendapatan angkutan umum konvensional (angkot).
ADVERTISEMENT
Sebelumnya juga di ibukota Jakarta pernah terjadi demo besar operator taksi yang menolak keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi. Demo besar ini memaksa pemerintah melalui menteri perhubungan mengeluarkan aturan tentang angkutan umum berbasis aplikasi.
Demo-demo tersebut banyak menuai reaksi negatif dari masyarakat khususnya konsumen pengguna angkutan umum. Pengguna angkutan umum ini, yang sudah lama kecewa terhadap layanan angkutan umum konvensional, umumnya sangat terbantu dengan adanya moda transportasi berbasis aplikasi.
Dalam tulisan ini, akan dikemukakan berbagai kekurangan angkutan umum konvensional yang membuat mereka seolah ditinggalkan konsumennya. Sekaligus, membuka wacana bahwa penurunan pendapatan angkot bukan semata-mata akibat munculnya moda transportasi berasis aplikasi.
Saya mengangkat tema ini karena masih sedikit tulisan yang membahas tema ini dan aturan yang dibuat justru terkesan membatasi ruang gerak dan operasi moda transportasi berbasis aplikasi (online) ini ketimbang membenahi angkot yang sebenarnya memiliki banyak masalah.
ADVERTISEMENT
Keluhan atas angkot atau angkutan umum konvensional terutama karena beragai alasan berikut: angkot yang sering ngetem sembarangan, supir ugal-ugalan, keamanan dan kenyamanan yang rendah serta sangat tidak terjamin, juga sering menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya sehingga bikin macet jalan.
Meski memang tidak semua supir angkot yang memiliki karakter negatif seperti yang disebut tadi dan masih ada supir angkot yang baik dan tertib, tetapi secara umum kondisi di atas bisa mewakili kondisi angkutan umum konvensional yang tidak tertib.
Selain perilaku yang tidak tertib, keluhan terhadap angkot adalah bahwa angkot tidak bisa diandalkan sebagai moda transportasi untuk bepergian. Hal ini karena meski dilayani trayek angkutan umum, waktu tunggu yang lama dan terbatasnya armada membuat banyak penumpang belum dapat terlayani dan tercover oleh trayek angkutan umum tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika selama ini masih banyak konsumen yang tetap menggunakan angkutan umum, ini lebih karena tidak tersedianya alternatif moda transportasi lain yang bisa diandalkan selain angkot ini.
Selain masalah yang sudah disebutkan itu, dalam pandangan dan pengamatan saya, masalah berkurangnya pendapatan angkot sebenarnya sudah lama terjadi bukan hanya saat ini ketika muncul moda transportasi berbasis aplikasi yang marak belakangan ini saja.
Setidaknya ada tiga alasan yang bisa dijadikan penyebab angkot tergerus pendapatannya (khususnya di daerah tempat saya tinggal).
Pertama, semakin mudahnya konsumen untuk memiliki kendaraan sendiri khususnya sepeda motor. Beberapa tahun belakangan ini pembelian sepeda motor begitu mudah dan terjangkau dengan adanya tawaran kredit dengan uang muka sangat rendah. Banyaknya konsumen yang memiliki sepeda motor tentu mengurangi penumpang angkutan umum. Konsumen pun sebagian beralih dari pelanggan angkot menjadi pengguna sepeda motor.
ADVERTISEMENT
Kedua, dibukanya beberapa akses jalan baru yang memperpendek jarak. Akses jalan baru ini membuat trayek angkot menjadi tidak efektif dan efisien untuk dijalani karena waktu tempuh yang lebih lama dan jarak yang lebih jauh. Trayek angkot dibuat berdasarkan keadaan dan tata kota jaman dulu (alias jadul) yang kondisinya sudah jauh berbeda dengan kondisi saat ini yang sudah dilengkapi dengan akses jalan-jalan tembus baru. Kondisi ini sebenarnya sudah sedikit mengurangi penumpang angkot yang lebih memilih lewat jalan baru yang lebih dekat.
Ketiga, wilayah kota yang sudah jauh lebih berkembang dibandingkan sebelumnya. Makin tumbuh suburnya kompleks-kompleks perumahan di pinggiran kota, sedikit mengubah peta persebaran konsumen sebagai pengguna angkutan umum. Konsumen angkutan umum saat ini banyak tersebar di wilayah-wilayah baru yang tidak terjangkau oleh angkutan umum. Jika ada angkutan umum pun, jumlahnya sangat terbatas atau harus melalui banyak rute (yang tidak efisien) sehingga tidak bisa diandalkan.
ADVERTISEMENT
Tiga alasan di atas menegaskan bahwa sebenarnya permasalahan angkot sudah ada sejak lama. Hadirnya moda transportasi berbasis aplikasi ini memberikan sebagian solusi dari permasalahan tersebut.
Saya juga dengan berat hati harus mengatakan bahwa operator angkutan umum konvensional perlu menerima keadaan (yang mungkin pahit buat mereka) ini dan mengajak operator angkot ini (tentunya) bersama aparat terkait yang berwenang untuk berbenah dan bersiap untuk bersaing secara sehat dengan moda transportasi berbasis aplikasi.
Hanya dengan meningkatkan daya saing sajalah angkutan umum konvensional bisa bertahan dan mungkin bahkan menarik kembali konsumen atau pelanggan yang mulai meninggalkan mereka.
Keberadaan angkot tentu masih tetap diperlukan dan bersama dengan moda transportasi berbasis aplikasi, semestinya bisa saling melengkapi untuk melayani kebutuhan penumpang atau konsumen.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan lain, saya akan coba mengemukakan beberapa ide untuk mengembalikan dan meningkatkan daya saing angkutan umum konvensional supaya bisa bersaing dengan moda transportasi berbasis aplikasi.