Bagaimana Krisis Ekonomi di Lebanon Mendorong Anak Muda Bergabung dengan ISIS

Konten Media Partner
26 November 2022 8:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bagaimana Krisis Ekonomi di Lebanon Mendorong Anak Muda Bergabung dengan ISIS
zoom-in-whitePerbesar
Ahmed masih remaja, tetapi bukannya belajar, setiap hari dia sibuk bekerja.
Dia tinggal di Kota Tripoli, Lebanon utara, salah satu tempat termiskin di Mediterania. Meskipun bekerja berjam-jam, dia hanya mendapat upah beberapa dolar seminggu. Dia perlu menafkahi ibunya yang sakit, tetapi pekerjaan kasarnya yang berat tidak menghasilkan cukup uang untuk memberi makan mereka berdua.
Rasa putus asa itu membuatnya mencari jalan keluar. Di sebuah warnet di Tripoli, dia mengobrol dengan seorang pria yang memberi tahu Ahmed bahwa dia adalah perekrut untuk kelompok Negara Islam atau ISIS - kelompok militan Islam Sunni radikal yang pernah menguasai sebagian besar wilayah di Suriah dan Irak, dan telah melakukan kekejaman dan serangan teror di berbagai tempat di wilayah dan di seluruh dunia.
"Saya belajar Syariah [hukum Islam], dan setiap hari mereka mengajari kami tentang jihad," kata Ahmed kepada saya. "Mereka memberi tahu kami tentang Irak dan kelompok Negara Islam [ISIS]. Kami mencintai ISIS, karena mereka terkenal. Saya dihubungi oleh seorang pria di penjara, dan dia berkata kepada saya 'Saya akan mengirim Anda ke sana'."
Berbadan kurus dan pendiam, sulit rasanya membayangkan Ahmed sebagai seorang kombatan. Kami bicara tentang kejahatan mengerikan yang telah dilakukan ISIS, dan saya mendesaknya untuk menjelaskan mengapa dia ingin menjadi bagian dari kelompok seperti itu.
"Saya ingin bergabung dengan ISIS dan menjadi mujahid karena saya tidak tahan dengan krisis di sini," jawabnya perlahan. "Maka saya akan dekat dengan Tuhan saya, dan hidup dengan nyaman, dan tidak selalu khawatir tentang biaya hidup."
Keputusan Ahmed telah bulat. Dia berkata kepada perekrut bahwa dia ingin mendaftar, meninggalkan Lebanon dan berangkat untuk bertempur untuk ISIS ke Irak dan Suriah. Namun beberapa jam kemudian, dia dijemput oleh polisi dan ditangkap.
Petugas intelijen Angkatan Darat Lebanon menginterogasinya selama lima hari sebelum dia dibebaskan. Ini membuatnya menyesali pilihannya, tetapi dia masih belum punya solusi untuk berbagai masalahnya.
"Ini membuat saya ingin bunuh diri. Saya meminjam uang kepada beberapa orang untuk membeli furnitur buat kamar saya tetapi saya tidak mampu mengembalikannya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
Di jalanan Tripoli, tidak ada banyak harapan. Begitu juga listrik, air, bahan bakar, obat-obatan, dan pekerjaan. Pada tahun lalu, sekitar seratus pemuda Lebanon dikabarkan bergabung dengan ISIS. Ini bukan cuma tentang menganut ideologis ekstrem yang diwakili kelompok tersebut. Mereka berusaha melarikan diri dari kemiskinan yang mengimpit di sebuah negara yang sedang dalam krisis.
Banyak orang di Lebanon mengalami peluang ekonomi tertutup bagi mereka karena sekte agama atau latar belakang keluarga mereka. Perjuangan untuk bertahan hidup telah membuat beberapa pemuda mengambil tindakan nekat.
Nabil Sari adalah hakim terkemuka di Tripoli. Dia pernah menangani kasus-kasus ini sebelumnya.
"Tidak ada kesempatan kerja, tidak ada sekolah atau kesempatan belajar. Dan beberapa dari mereka yang bergabung dengan ISIS karena alasan itu, mereka menyesalinya, dan mencoba menghubungi keluarga mereka untuk kembali - tetapi mereka tidak bisa."
ISIS di Timur Tengah tidak lagi sekuat dahulu. Mereka pernah menguasai beberapa wilayah di Suriah dan Irak yang mereka sebut sebagai kekhalifahan [Negara Islam]. Sebagian besar kelompok itu dikalahkan dalam pertempuran berdarah di Kota Baghouz, Suriah pada tahun 2019.
Tetapi sisa-sisa anggotanya yang tidak terbunuh atau dipenjara terus menyerang target-target di daerah yang pernah mereka kuasai. Dan awal tahun ini, laporan serangan itu mulai berisi perincian tentang pelaku yang berasal dari Lebanon.
Muhammad Sablouh adalah seorang pengacara yang mewakili beberapa keluarga mereka. Bersama-sama, kami menuju ke Wadi Khaled tempat banyak orang yang hilang pernah tinggal. Ini daerah yang keras, terpuruk dalam kemiskinan. Anak-anak bermain sepanjang hari dengan mainan buatan sendiri di gang-gang yang berdebu. Krisis ini berarti banyak anak tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.
"Tempat ini terpisah dari negara," Muhammad menerangkan. "Lihatlah daerah-daerah miskin ini. Tidak ada yang peduli. Negara tidak melakukan tugasnya terhadap warganya. Dan orang-orang dari kelas miskin inilah yang digunakan dan direkrut untuk ISIS."
Setahun yang lalu, Bakr Saif menghilang. Dia akan menikah beberapa minggu lagi. Meskipun dia pernah ditangkap polisi dan dipenjara, dia membangun masa depan bersama tunangannya. Dia tidak memberi tahu ibunya, Umm Saif, bahwa dia berencana untuk pergi.
"Dia memberi tahu kami dia akan menemui tunangannya, dan akan kembali pada siang hari," katanya kepada saya, matanya berkaca-kaca. "Dan dia pergi, dan dia tidak pernah kembali."
"Kami mendengar beritanya di media sosial," lanjut ayahnya, Mahdi. "Beritanya ada di semua ponsel kami. Kami tidak percaya. Dan kemudian semua orang mulai berteriak dan menangis."
Umm berhenti bicara dan menyeka air matanya. "Dia bahagia dalam hidupnya, dia sedang mempersiapkan pernikahan dan dia bahagia. Dia telah dibebaskan dari penjara. Dia adalah pria yang sangat baik. Menghormati orang lain. Sopan. Apa pun yang saya katakan, Anda mungkin berpikir 'tentu saja dia bilang begitu, dia kan ibunya', tapi itu yang sebenarnya."
Kurang dari sebulan kemudian, Umm menerima pesan suara. Sebuah suara menyeramkan yang telah dimodifikasi oleh komputer mengatakan kepadanya bahwa putranya telah terbunuh dalam pertempuran untuk ISIS di Irak. Tidak seperti biasanya, suara itu menggunakan kata "terbunuh" alih-alih "mati syahid", yang terakhir lebih seperti bahasa yang akan digunakan dalam pesan ISIS.
Orang tua Bakr tidak mempercayai pesan suara itu, atau apa yang dikatakan pihak berwenang Lebanon kepada mereka tentang nasibnya. Mereka pikir putra mereka tidak pernah meninggalkan Lebanon, dan tetap bersembunyi di tahanan atau di suatu tempat di negara itu.
Ayah Bakr, Mahdi, mengantarkan saya ke apartemen anaknya. Rumah itu bersih dan rapi, tetapi kosong, dan terkesan diabaikan. Cokelat yang dibungkus kertas emas yang dibeli Bakr untuk pernikahannya masih tergeletak di etalase, belum dimakan.
Bakr Saif tinggal beberapa minggu lagi akan menikah ketika dia menghilang, kata orang tuanya.
Tentara Irak mengatakan Bakr meninggalkan Lebanon dan melakukan perjalanan ke sana untuk bergabung dengan ISIS. Mereka mengklaim dia terlibat dalam serangan militan di pangkalan militer di Diyala yang menewaskan 10 tentara.
Beberapa hari kemudian sembilan anggota ISIS tewas dalam serangan udara balasan oleh pasukan Irak. Setengah dari mereka adalah orang Lebanon.
Pasukan Irak mengatakan Bakr adalah salah satunya. Mereka bersikeras bahwa mereka benar-benar yakin dengan identitasnya, dan mengatakan mereka melakukan tes DNA pada tubuh orang-orang yang tewas untuk mengkonfirmasinya.
Saya berbicara dengan Jenderal Angkatan Darat Irak Yahya Rasoul Abdulla tentang orang-orang yang meninggalkan Lebanon untuk bergabung dengan ISIS. Dia punya pesan yang keras untuk mereka.
"Pesan saya kepada dunia Arab, dan khususnya kepada pemuda Lebanon, adalah organisasi teroris ini menggunakan Anda sebagai kayu bakar. Anda bisa melihat dan bertanya kepada orang-orang Irak yang hidup di bawah kendali ISIS - mereka membunuh orang, memperkosa perempuan, memperbudak perempuan, menghancurkan situs warisan, menghancurkan semua infrastruktur, mereka bahkan menghancurkan kuburan Nabi. Jangan menjadi bahan bakar untuk perang mereka, jangan mau diperalat oleh mereka.
"Tentara Irak ada di mana-mana. Ke mana pun organisasi ini pergi, di padang pasir, pegunungan, lembah, kami akan mengejar mereka dan kami akan membunuh mereka."
Jenderal Tentara Irak Yahya Rasoul Abdulla berkata kepada pemuda Lebanon yang berniat untuk bergabung dengan ISIS: "Jangan mau diperalat oleh mereka".
Dari puncaknya di awal tahun ini, jumlah orang yang bergabung dengan ISIS mulai berkurang. Kisah-kisah mereka yang pergi sekarang terkenal di Tripoli, dan itu membuat prospek mengikuti jejak mereka kurang menarik.
Tetapi seiring Lebanon terus berjuang dengan krisis keuangannya yang melumpuhkan, dan usaha para politikusnya untuk membentuk pemerintahan baru mandek beberapa bulan setelah pemilu di negara itu, hidup belum akan menjadi lebih mudah. Maka para perekrut ISIS terus bekerja, berharap dapat menarik pemuda-pemuda Lebanon yang kehilangan haknya.