Beasiswa LPDP: Mengapa Proses Seleksi 'Bias Agama' dan Terjadi Berulang Kali?

Konten Media Partner
2 Mei 2022 8:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Andin Hadiyanto, memastikan akan mengevaluasi kelayakan Rektor Institut Teknologi Kalimantan, Budi Santoso, sebagai pewawancara calon penerima beasiswa karena dianggap bias agama.
Tuduhan itu mencuat setelah ia menulis unggahan di media sosial yang menyebut pelamar beasiswa yang mengenakan jilbab atau penutup kepala sebagai "manusia gurun".
Tapi menurut pengamat pendidikan dan aktivis keberagaman, evaluasi untuk para pewawancara itu tidak cukup. LPDP harus melakukan evaluasi independen dan menyeluruh terhadap proses seleksi yang ada, agar kejadian serupa tidak terus berulang.
Aktivis perempuan dan keberagaman gender, Tunggal Pawestri, mengatakan kualitas para pewawancara yang menyeleksi calon penerima beasiswa LPDP 'dikeluhkan' beberapa pihak karena pertanyaan yang mereka lontarkan kerap berbau SARA, intimidatif dan tidak relevan, serta bias gender dan agama.
Tunggal menilai hal itu terjadi lantaran proses penyaringan para pewawancara tidak dilakukan dengan komprehensif, tapi hanya berdasarkan pada rekomendasi orang lain.
"Ketika ada gelombang rekrutmen [calon penerimaan beasiswa] kan membutuhkan banyak pewawancara yang berkualitas dan bagus. Tapi mereka ini sangat sibuk dan punya komitmen di tempat lain, akhirnya LPDP tidak bisa melakukan skrining pewawancara dengan baik," ujar Tunggal Pawestri kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (1/5).
Pada tahun 2017, Tunggal pernah melakukan pengumpulan data dari para calon penerima LPDP dalam proses seleksi beasiswa.
Dari 55 orang responden yang diteliti, dia menemukan pada sesi wawancara para calon pelamar beasiswa mendapatkan pertanyaan yang tidak pantas, mengorek urusan pribadi, bias gender dan orientasi seksual, serta bias agama atau ras.
Dari data yang dia terima saat itu, Tunggal menemukan bahwa calon penerima beasiswa perempuan paling banyak mendapatkan pertanyaan yang bias SARA (suku, agama, ras, antar-golongan). Para pewawancara lebih banyak melontarkan pertanyaan mengenai hal-hal yang menyangkut pasangan, pacar, atau anjuran pernikahan.
Adapun calon penerima beasiswa laki-laki lebih sering menerima pertanyaan yang bias soal orientasi seksual, ekspresi gender, dan perlakuan atau keterangan yang tidak pantas.
Tunggal mengatakan para pelamar beasiswa ini, jarang melaporkan tindakan itu melalui kanal pengaduan yang dibuat internal LPDP. Sebab mereka khawatir hal itu akan menghalangi tahapan selanjutnya.
"Di situ ada power relation yang berbeda antara pewawancara dengan orang yang sedang minta beasiswa. Tentu mereka nggak berani terbuka menyatakan apa yang dialami karena takut gagal. Sehingga banyak yang diwawancara nggak lapor kalau pewawancaranya bias," ungkap Tunggal.
Sejauh pengamatannya juga, LPDP tidak memiliki panduan bagi pewawancara yang menekankan agar tidak bertanya tentang hal-hal personal, diskriminatif, maupun prasangka.
Itu mengapa pertanyaan yang dilontarkan pewawancara kadang di luar urusan akademik.
Dalam kasus Rektor Institut Teknologi Kalimantan Budi Santoso, dia menilai pernyataannya mengandung 'prasangka dan stigma'.
Foto ilustrasi. Calon penerima beasiswa laki-laki lebih sering menerima pertanyaan yang bias soal orientasi seksual, ekspresi gender, dan perlakukan atau keterangan yang tidak pantas.
Menurut Tunggal, sudah semestinya LPDP melakukan evaluasi menyeluruh dan independen atas program beasiswanya yang menelan anggaran hingga Rp3,24 triliun.
"Perlu undang evaluator eksternal untuk bisa membuat evaluasi yang benar-benar, bukan berasal dari kalangan internal LPDP. Sehingga ada upaya perbaikan stransparan mungkin, karena itu dana publik, rakyat perlu tahu."
Sejalan dengan Tunggal, pengamat pendidikan Itje Chodidjah, mendesak pemerintah mengevaluasi program beasiswa LPDP, bukan hanya mengaudit penggunaan anggaran semata.
Sebab jika dibiarkan, menurut Itje, orang-orang yang semestinya berhak mendapatkan beasiswa menjadi tersingkir akibat pandangan bias para penyeleksi.
Lebih dari itu, kalau pandangan bias tersebut dianggap benar oleh penerima beasiswa akan menjadi lingkaran setan yang tak terselesaikan.
"Karena nantinya [pandangan bias] itu akan turun temurun, apalagi kalau mereka jadi pemimpin dan hal itu diyakini benar," jelas Itje Chodidjah kepada BBC News Indonesia.

Apa tanggapan LPDP?

Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Andin Hadiyanto, mengatakan pihaknya akan mengevaluasi kelayakan Rektor Institut Teknologi Kalimantan, Budi Santoso, sebagai pewawancara program beasiswa.
Termasuk juga mengevaluasi dan mengawasi tugas seluruh pewawancara demi menjamin seleksinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"LPDP akan terus berkoordinasi dengan Kemendikbudristek untuk terus mengevaluasi dan mengawasi para interviewer," kata Andin Hadiyanto kepada BBC News Indonesia melalui siaran pers pada Minggu (1/5).
Sebelumnya tulisan Budi Santoso di media sosial Facebook banyak diperbincangkan warganet lantaran Budi menyebut pelamar beasiswa yang mengenakan jilbab atau penutup kepala sebagai "manusia gurun".
"Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 [benar-benar] openmind [open mind/berpikiran terbuka]," tulis Budi Santoso.
Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Andin Hadiyanto, mengatakan tulisan Budi Santoso adalah opini pribadi, namun berpotensi menimbulkan risiko reputasi terhadap kegiatan Budi sebagai pewawancara program beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) - yaitu program untuk mendanai mahasiswa Indonesia yang melakukan mobilitas di universitas terkemuka di luar negeri selama kurang lebih satu semester.
"Program IISMA merupakan program beasiswa yang dilaksanakan oleh Kemendikbudristek, dengan dukungan pendanaan dari LPDP.
"Sesuai ketentuan, interviewer juga harus mematuhi kode etik dalam melaksanakan tugas dan diharapkan melakukan seleksi wawancara secara profesional dan objektif."
Menjawab desakan pengamat maupun aktivis agar dilakukan evaluasi menyeluruh, Andin Hadiyanto mengatakan program beasiswa LPDP diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai dari penggunaan anggaran hingga bisnis prosesnya.
LPDP juga, katanya, melaporkan pertanggung jawaban ke Komisi XI DPR.
"LPDP juga ada SPI (sistem pengendali internal) dan juga diaudit Inspektorat Jenderal Kemenkeu."
Segala bentuk audit tersebut, baginya sudah cukup.
Tulisan yang diunggah pada pada 27 April 2022 itu belakangan sudah dihapus. Namun salinan tulisan itu sudah tersebar di berbagai platform media sosial.
Menko Polhukam, Mahfud Md, pun ikut mengomentari persoalan tersebut di akun Twitternya dengan mengatakan pernyataan Budi Santoso tidak bijaksana dan kesalahan besar.

Komunitas alumni LPDP: proses seleksi sudah baik

Ketua Umum Mata Garuda Pusat, komunitas alumni penerima beasiswa LPDP, Erbi Setiawan, menyayangkan adanya penyeleksi beasiswa yang bias agama.
Kendati demikian ia mengaku belum pernah mendengar adanya aduan dari para penerima beasiswa soal tindakan pewawancara yang bertanya di luar urusan akademik.
"Kalaupun seandaianya itu terjadi, aku rasa itu oknum, kenapa? Karena LPDP beasiswa penyantunnya banyak. Artinya ketika membuat regulasi nggak mungkin nggak diperkirakan."
"Tapi baik lagi, sistemnya kan dibuat manusia, pasti ada celah untuk ketidaksempurnaannya."
Erbi juga menilai proses seleksi beasiswa LPDP sudah cukup baik jika dibandingkan dengan penerimaan beasiswa di negara lain.
Untuk tahapan wawancara, sambung Erbi, setidaknya ada tiga pewawancara yang terdiri dari psikolog dan ahli/pakar dari bidang keilmuan yang disasar. Selain itu ada pula pemeriksaan dokumen.