Bisakah Kita Sukses dengan Menjadi Orang Baik?

Konten Media Partner
9 Desember 2022 18:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PM Selandia Baru Jacinda Ardern adalah salah satu sosok ternama yang berhasil sampai ke puncak dengan tetap bersikap murah hati dan welas asih.
zoom-in-whitePerbesar
PM Selandia Baru Jacinda Ardern adalah salah satu sosok ternama yang berhasil sampai ke puncak dengan tetap bersikap murah hati dan welas asih.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita semua setuju bahwa menjadi baik itu bagus, menjadi baik itu bermoral, tetapi apakah kebaikan hati menuntun kita pada kesuksesan dalam hidup? Lagi pula, bukankah kebaikan berarti mendahulukan kepentingan orang lain? Bukankah itu membutuhkan pengorbanan diri?
Namun coba lihat orang-orang terkenal ini: Gareth Southgate, salah satu manajer timnas Inggris yang paling sukses; Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru; dan James Timpson, bos waralaba reparasi sepatu Timpson. Ketiganya jelas merupakan “pemenang” di bidangnya, tetapi semuanya menempatkan kebaikan pada inti strategi mereka untuk sukses.
Mereka mendapati bahwa pendekatan yang lebih welas asih dan "lebih lembut" terhadap manajemen olahraga, politik, dan bisnis membuahkan hasil positif, tidak hanya bagi orang-orang yang bekerja untuk mereka, tetapi juga bagi mereka sendiri. 
Gagasan tradisional (kapitalis) barat bahwa Anda harus tak kenal ampun, ambisius, dan fokus untuk menjadi nomor satu jika ingin sukses mulai terbantahkan.
Baca juga:
Ada semakin banyak bukti ilmiah bahwa orang baik bisa menjadi pemenang. Pada tahun 2020 saya menjadi bagian dari sebuah tim di University of Sussex yang melakukan studi tentang sikap publik terhadap kebaikan – studi terbesar yang pernah dilakukan tentang topik ini. Lebih dari 60.000 orang dari 144 negara diminta untuk mengisi kuesioner yang disebut The Kindness Test yang diluncurkan di acara radio yang saya bawakan – All in the Mind di BBC Radio 4 dan Health Check di BBC World Service.
Ketika ditanya di mana orang-orang melihat paling banyak tindakan kebaikan, tempat kerja mendapat peringkat ketiga setelah rumah dan fasilitas kesehatan — baik sebagai tempat orang-orang menyaksikan tindakan kebaikan dan tempat kebaikan benar-benar dihargai.
Jadi, tempat yang barangkali mendapat reputasi sebagai kompetitif dan impersonal, di mana orang-orang saling sikut untuk posisi, merupakan tempat untuk lebih banyak empati dan pertimbangan dari yang mungkin Anda pikirkan.
Kesuksesan manajer sepak bola Inggris Gareth Southgate dibangun di atas empati dan kasih sayang.
Kita harus ingat bahwa ini adalah studi yang self-selecting (datanya diperoleh melalui pelaporan mandiri, bukan pengukuran objektif), dan bila dilihat sekilas, hasil sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan branding yang memiliki 1.500 pegawai di Inggris tidak begitu positif, dengan hanya satu dari tiga responden yang sangat setuju bahwa bos mereka baik hati, sementara seperempatnya menganggap pemimpin organisasi mereka tidak baik hati.
Tapi bila kita menggali lebih dalam hasilnya, kita akan mendapati bahwa responden yang punya bos yang baik hati lebih cenderung mengatakan mereka akan bertahan di perusahaan setidaknya untuk satu tahun lagi, bahwa tim mereka menghasilkan pekerjaan yang luar biasa dan bahwa perusahaan mereka sehat secara finansial.
Sementara itu, 96% karyawan yang ikut serta dalam survei mengatakan bahwa bermurah hati dalam bekerja penting bagi mereka, mengindikasikan bahwa kebaikan hati itu penting jika suatu organisasi ingin sukses.
Ide ini didukung oleh penelitian dari Joe Folkman, ahli psikometri yang berbasis di Amerika Serikat (psikometri adalah cabang psikologi yang mendalami tes dan pengukuran).
Ia mempelajari penilaian feedback 360-derajat dari lebih dari 50.000 pemimpin dan menemukan bahwa pemimpin yang lebih disukai oleh para stafnya juga cenderung dianggap lebih efektif. Bahkan, pemimpin yang tidak disukai namun efektif begitu jarang sehingga kemungkinannya terjadi hanya satu dari 2000.
Folkman juga menemukan bahwa bisnis dengan pemimpin yang disukai mendapat skor lebih tinggi pada berbagai hasil positif, termasuk profitabilitas dan kepuasan pelanggan.
Dalam bidang penelitian bisnis, kepemimpinan yang baik hati lebih sering disebut sebagai kepemimpinan “etis”, barangkali karena terdengar kurang lembut. Tetapi bagaimanapun Anda menyebutnya, berbagai studi menunjukkan bahwa itu dapat menghasilkan atmosfer yang lebih positif di tempat kerja dan kinerja karyawan yang lebih baik.
Perilaku positif dapat menular ke seluruh tempat kerja, seperti ditemukan dalam studi oleh psikolog organisasi Michelangelo Vianello dari Universitas Padua, Italia.
Ia pergi ke sebuah rumah sakit publik di dekat Padua dan menanyai para perawat dengan pertanyaan tentang manajer mereka, jawaban dirahasiakan, termasuk sejauh mana mereka bersikap adil dan siap berkorban dan apakah mereka membela timnya. Ketika sang manajer bersikap demikian, para perawat lebih cenderung melaporkan keinginan untuk melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain, untuk menjadi lebih seperti bos mereka atau menjadi orang yang lebih baik.
Juara tenis yang sekarang sudah pensiun, Roger Federer, dianggap sebagai contoh pemain yang meraih kesuksesan sambil tetap ramah dan murah hati.
Ada bukti bahwa tindakan kebaikan dan kooperasi yang sederhana oleh siapa saja dapat membuat perbedaan di tempat kerja.
Dalam psikologi terdapat konsep yang disebut "perilaku kewargaan organisasi" (organisational citizenship behaviour). Salah satu contohnya adalah memperbaiki printer, daripada membiarkannya rusak ketika hendak digunakan oleh orang berikutnya, atau menyiram tanaman di kantor.
Tindakan-tindakan ini tidak wajib dan bukan bagian dari pekerjaan, tetapi jika kita melakukannya, tempat kerja kita akan menjadi sedikit lebih baik bagi semua orang.
Mereka lebih penting dari yang Anda kira. Pada tahun 2009, seorang peneliti dari Universitas Arizona bernama Nathan Podsakoff mensintesis temuan lebih dari 150 studi berbeda ke dalam suatu meta-analisis dan hasilnya jelas. Perilaku semacam ini, meskipun sederhana, berhubungan dengan kinerja, produktivitas, kepuasan pelanggan, dan efisiensi yang lebih tinggi.
Ada satu area dalam hidup tempat Anda barangkali berpikir tidak ada untungnya bersikap baik — politik. Tetapi bahkan dalam politik pun ada bukti bahwa gaya yang lebih lembut atau ramah tetap bisa membawa Anda ke puncak, seperti yang ditunjukkan PM Jacinda Ardern di Selandia Baru.
Tapi bagaimana dengan politisi yang lebih kasar seperti Donald Trump? Bukankah kesuksesannya menunjukkan bahwa pendekatan yang keras pada akhirnya akan menang?
Antara tahun 1996 dan 2015, akademisi Jeremy Frimer menganalisis bahasa yang digunakan oleh anggota Kongres AS selama debat. Dalam studinya, ia menunjukkan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap anggota kongres turun ketika mereka tidak santun saat berbicara di DPR, dan naik bila mereka lebih santun dan murah hati.
Acara TV seperti The Apprentice turut menyebarkan gagasan bahwa pemimpin bisnis yang sukses harus tidak kenal ampun dan tidak kenal kompromi.
Baru-baru ini, tim Frimer menganalisis reaksi terhadap twit Donald Trump (sebelum dia didepak dari Twitter) dan mereka menemukan bahwa sangat sedikit pendukungnya yang secara aktif "menyukai" twit-twitnya yang lebih ‘kotor’. Twit-twit tersebut itu tidak membuat mereka berhenti mendukungnya, tetapi mereka terus mendukungnya meskipun, dan bukan karena, ketidaksopanannya.
Tentu saja, masih banyak contoh orang-orang sukses yang egois dan tidak bermurah hati kepada orang lain. Tetapi intinya adalah terlepas dari apa yang mungkin kita lihat di acara-acara televisi seperti The Apprentice atau Succession, Anda tidak perlu menjadi keras kepala dan menjengkelkan untuk menjadi sukses dalam bisnis atau bidang kehidupan yang sangat kompetitif lainnya.
Anda tidak bisa menjadi pemenang hanya dengan bersikap baik – Anda juga memerlukan motivasi, dedikasi, dan keterampilan – tetapi semakin banyak bukti menunjukkan bahwa menunjukkan kebaikan saat mengejar tujuan bukanlah halangan untuk sukses.
Claudia Hammond adalah penulis The Keys to Kindness: How to be kinder to yourself, others and the world, diterbitkan oleh Canongate.