China Luncurkan Rudal Dekat Taiwan, Seberapa Kuat Militer Beijing Dibanding AS?

Konten Media Partner
5 Agustus 2022 15:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Asap akibat projektil yang diluncurkan militer China terlihat dari pulau Pingtan, salah satu pulau Chinayang terdekat dari Taiwan pada Kamis (04/08).
zoom-in-whitePerbesar
Asap akibat projektil yang diluncurkan militer China terlihat dari pulau Pingtan, salah satu pulau Chinayang terdekat dari Taiwan pada Kamis (04/08).
China telah meluncurkan sejumlah rudal balistik ke perairan timur laut dan barat daya Taiwan, menurut otoritas Taiwan.
Peluncuran rudal balistik itu merupakan bagian dari latihan militer penembakan langsung terbesar yang pernah dilakukan China di sekitar wilayah Taiwan.
Wilayah yang terdampak pun hanya berjarak sekitar 19 kilometer dari Taiwan, jarak latihan militer terdekat yang pernah dilakukan oleh China.
Televisi pemerintah China telah menayangkan cuplikan latihan militer di sekitar Taiwan itu, yang memperlihatkan jet tempur, kapal perang, hingga senjata darat.
Lebih dari 50 penerbangan internasional di Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan telah dibatalkan pada Kamis sebagai dampak latihan tembakan langsung tersebut.
Beberapa maskapai penerbangan, seperti Korean Air dan Asiana Airlines bahkan membatalkan penerbangan ke Taiwan hingga Jumat atau Sabtu.
Latihan militer ini merupakan respons China atas kunjungan kontroversial Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taipei.
China yang selama ini memandang Taiwan sebagai “provinsi pemberontak” menganggap kunjungan Pelosi sebagai pelanggaran terhadap kebijakan Satu China.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengungkapkan kemarahannya atas kunjungan Pelosi yang dia sebut “tidak bertanggung jawab dan tidak rasional”.
Sementara itu, Dewan Urusan Daratan Taiwan menyatakan bahwa mereka mewaspadai “infiltrasi dan perang psikis” di tengah tensi yang meningkat ini.
Menurut laporan Reuters, Dewan mengatakan bahwa penggunaan kekuatan militer “tidak akan menyelesaikan persoalan” dan tidak akan mengubah fakta bahwa “kedua belah pihak tidak saling memiliki”.
Koresponden keamanan BBC News, Frank Gardner, menilai peluncuran rudal balistik ini sebagai peringatan paling keras bahwa China siap menggunakan kekuatan yang diperlukan untuk mencaplok Taiwan pada 2049.
China tampaknya tidak ingin menginvasi Taiwan karena akan mengorbankan darah, ekonomi, serta teputasi global. Tetapi peringatan ini menunjukkan bahwa mereka siap melakukan itu apabila Taiwan tidak menyerah secara damai.
Apalagi, kehadiran armada ketujuh Angkatan Laut AS yang kuat tidak lagi menjadi penghalang seperti dulu.
Seberapa kuat militer China dibandingkan oleh AS saat ini dan mungkin kah China memenangkan perlombaan senjata global?
Berikut analisis yang dirangkum wartawan BBC News, David Brown.
Sebuah kapal laut bermanuver melewati menara radar saat berlayar menjauhi lokasi di mana militer China diyakini melakukan latihan tembakan langsung.

Angkatan Laut terbesar, namun bukan yang terkuat di dunia

Sejumlah pengamat militer Barat meyakini bahwa kekuatan militer global tengah bergeser.
Presiden Xi Jinping telah memerintahkan agar kekuatan militer China dimodernisasi pada 2035, sehingga China bisa menjadi kekuatan “kelas dunia“ dan bisa “memenangkan perang persenjataan“ pada 2049.
China telah merilis kapal induk tipe 003, Fujian, di Shanghai pada Juni lalu, yang merupakan kapal perang tercanggih yang pernah dibuat di China.
Kapal induk ini juga merupakan yang ketiga yang dimiliki China. Berbeda dengan dua kapal induk sebelumnya, Fujian dirancang sendiri oleh para insinyur China.
Para profesional militer menilai sistem peluncuran pesawat elektromagnetik yang dimiliki Fujian meningkatkan kapasitas angkatan laut China secara signifikan.
Sistem tersebut memungkinkan pesawat dikerahkan lebih cepat dan mengangkut pesawat yang lebih berat.
Belum jelas berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguji coba Fujian serta kapan kapal induk itu akan bertugas sebagai armada Angkatan Laut China.
Tetapi yang jelas, Fujian akan melengkapi armada angkatan laut terbesar yang telah menyalip AS pada 2014.
Membandingkan jumlah kapal secara sederhana memang mengabaikan beberapa faktor lain yang menentukan kekuatan Angkatan Laut.
Namun para pakar berpendapat bahwa menganalisis tren terkait ini juga berguna.
Untuk saat ini, AS masih lebih unggul dari segi kapasitas angkatan laut, dengan jumlah 11 kapal induk, yang jelas lebih banyak dibanding tiga kapal induk China.
AS juga memiliki lebih banyak kapal selam bertenaga nuklir, kapal penjelajah, dan kapal perusak –atau kapal perang yang lebih besar.
Namun China diperkirakan akan menambah kekuatan angkatan lautnya secara signifikan.
Menurut Angkatan Laut AS, jumlah kapal Angkatan Laut China diperkirakan akan mengingkat hampir 40% pada 2020 hingga 2040.
Mantan Kolonel Senior Tentara Pembebasan Rakyat dari Universitas Tsinghua di Beijing, Zhou Bo mengatakan ekspansi laut China “sangat penting“ dalam melawan ancaman di laut terhadap negara itu.
“Persoalan utama yang kami hadapi adalah apa yang kami anggap sebagai provokasi AS di perairan China.”

Anggaran besar

China dikritik oleh beberapa pakar internasional karena “kurang transparan“ mengenai anggaran yang mereka habiskan untuk pertahanan.
Selain itu, jumlah anggaran yang dilaporkan juga disebut “tidak konsisten“.
Beijing memang mempublikasikan data resmi terkait pengeluaran di bidang pertahanan, namun Barat memperkirakan dukungan keuangan China untuk angkatan bersenjatanya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.
China juga diyakini menghabiskan lebih banyak uang untuk angkatan bersenjatanya dibanding negara mana pun, kecuali AS.
Peningkatan anggaran militer China bahkan melampaui pertumbuhan Taipei City, Taiwanekonominya selama satu dekade, menurut Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington.

Meningkatkan cadangan nuklir

Departemen Pertahanan AS memperkirakan bahwa China akan melipatgandakan cadangan nuklirnya pada akhir dekade ini.
China diperkirakan “berniat memiliki setidaknya 1.000 hulu ledak pada tahun 2030“.
Media pemerintah China membantah hal itu dan menyebutnya sebagai “spekulasi liar dan bias“ serta menambahkan bahwa kekuatan nuklir China dijaga pada “tingkat minimum“.
Namun para ahli di Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm mengatakan bahwa China telah menambah jumlah hulu ledaknya selama beberapa tahun terakhir.
Jumlah hulu ledak yang dimiliki China masih jauh di bawah AS yang memiliki 5.550 hulu ledak.
Namun pembangunan nuklir China dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi supremasi militer Barat.
“Senjata nuklir China adalah masalah yang paling penting,” kata Verrle Nouwens dari Institut Royal United Services di London.
“Ada ketidakpercayaan di kedua belah pihak dan dialog pun tidak mencapai titik yang diharapkan. Ada risiko besar yang sulit diperkirakan.”

Masa depan hipersonik

Rudal hipersonik bergerak lebih dari lima kali kecepatan suara.
Meski tidak secepat rudal balistik antarbenua, rudal hipersonik sangat sulit dideteksi dalam penerbangan sehingga membuat upaya pertahanan udara tidak berguna.
“China memahami bahwa mereka tertinggal jauh, jadi mereka mencoba membuat terobosan besar untuk melampaui kekuatan lain,“ menurut Dr Zeno Leoni dari King’s College London.
"Mengembangkan rudal hipersonik adalah salah satu cara mereka mencoba melakukan ini."
China membantah telah menguji rudal hipersonik, namun para ahli Barat meyakini bahwa dua peluncuran roket pada musim panas lalu menunjukkan bahwa militer China sedang berupaya untuk melakukan itu.
Tidak jelas sistem seperti apa yang mungkin dikembangkan China. Ada dua tipe utama:
Ada kemungkinan bahwa China mungkin telah berhasil menggabungkan dua sistem itu, menembakkan rudal hipersonik dari pesawat ruang angkasa bermanuver FOBS.
Menurut Dr Leoni, meski rudal hipersonik sementara ini mungkin tidak mengubah situasi, namun kehadirannya akan membuat beberapa target sangat rentan terhadap serangan.
“Rudal hipersonik membuat kapal induk khususnya jauh lebih sulit untuk dipertahankan,” katanya.
Namun dia juga berpendapat bahwa ancaman rudal hipersonik China mungkin dibesar-besarkan oleh sejumlah pejabat Barat yang ingin menciptakan situasi seserius mungkin demi pembiayaan teknologi militer ruang angkasa.
“Ancamannya memang nyata, tapi bisa saja ini dilebih-lebihkan.”

Kecerdasan buatan dan serangan siber

China saat ini berkomitmen mengembangkan perang “cerdas“ melalui metode militer masa depan yang berbasis kecerdasan buatan.
Akademi Militer China telah diberi mandat untuk memastikan metode itu bisa diterapkan melalui “fusi sipil-militer“, yang menggabungkan perusahaan teknologi sektor swasta China dengan industri pertahanan negara.
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa China mungkin sudah menggunakan kecerdasan buatan dalam robotika militer dan sistem panduan rudal, serta kendaraan udara tak berawak dan kapal angkatan laut tak berawak.
Menurut penilaian para ahli belakangan ini, China disebut telah melakukan operasi siber skala besar di luar negeri.
Pada Juli lalu, Inggris, AS dan Uni Eropa menuduh China melakukan serangan siber berskala besar yang menargetkan server Microsoft Exchange.
Serangan itu diyakini memengaruhi setidaknya 30.000 organisasi di seluruh dunia dan bertujuan untuk spionase skala besar, termasuk memperoleh informasi pribadi dan kekayaan intelektual.

Masa depan yang tidak pasti

Apakah China menjauh dari sikapnya yang menghindari kontrontasi menuju sikap yang lebih mengancam?
Menurut Dr Leoni, untuk saat ini China masih berupaya “menang tanpa pertempuran”, meskipun strategi itu bisa berubah di masa depan.
"Menjadi kekuatan angkatan laut yang sepenuhnya modern bisa menjadi salah satu titik kritis."
Sebaliknya, Kolonel Senior Zhou menegaskan bahwa ketakutan Barat itu tidak berdasar.
"China tidak berniat mengawasi dunia, tidak seperti Amerika Serikat," kata Zhou.
"Bahkan jika China menjadi jauh lebih kuat suatu hari nanti, China akan mempertahankan kebijakan dasarnya."
China belum pernah berperang sejak 1979. Ketika China berperang dengan Vietnam, kapasitas militernya ternyata benar-benar belum teruji.
Banyak pihak baik di sisi Barat maupun di China sendiri berharap situasinya akan tetap seperti itu.
Grafik oleh Sandra Rodriguez Chillida, Joy Roxas dan Sean Willmott