Den Haag Tenang Usai Unjuk Rasa Menentang Pembatasan Pandemi, 28 Orang Ditangkap

Konten Media Partner
21 November 2021 21:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aparat keamanan di Belanda menahan setidaknya 28 orang setelah pecah kerusuhan dalam sejumlah aksi unjuk rasa menentang kebijakan pembatasan Covid.
Kerusuhan antara lain terjadi di Rotterdam dan Den Haag, namun situasi kembali tenang pada hari Minggu (12/11).
Situasi tenang dan lengang terlihat di Schilderswijk, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari pusat kota Den Haag. Beberapa jam sebelumnya kericuhan pecah tak jauh dari titik pusat kota.
Sejumlah warga tampak dalam antrean panjang di satu supermarket, tak jauh dari titik demonstrasi.
Mereka harus menjaga jarak dan mengenakan masker ketika memasuki supermarket tersebut.
Malam sebelumnya, para pengunjuk rasa yang berdemonstrasi melemparkan kembang api ke polisi dan membakar sepeda dan merobohkan kamera pemantau di jalan.
Sehari sebelumnya, demonstrasi di Rotterdam berubah menjadi kericuhan dan polisi melepaskan tembakan peringatan dan meriam air untuk mengendalikan keadaan.
Kerusuhan terjadi di tengah gelombang demonstrasi anti-pembatasan Covid yang digelar menyusul pengumuman lockdown parsial selama tiga pekan pada Jumat (12/11).
Pemerintah menerapkan aturan karantina wilayah secara parsial di tengah meroketnya kasus Covid yang menembus 16.000 kasus dalam sehari.
Pada Sabtu (20/11), kasus baru bahkan lebih dari 21.000, yang tertinggi sejak pandemi Covid di negara itu. Lockdown parsial tersebut membuat toko-toko non-esensial di Belanda diwajibkan tutup pada pukul 18.00.
Restoran, bar, kafe dan toko esensial seperti supermarket harus ditutup pukul 20.00.
Warga tetap diharuskan memakai masker ketika beraktivitas di dalam ruangan.

Pro dan kontra kebijakan pengetatan

Pembatasan untuk menekan Covid juga mewajibkan bukti vaksinasi Covid saat masuk ke bar, restoran, teater, dan acara dalam ruangan lainnya, kebijakan yang ditentang oleh warga Belanda karena dianggap sebagai pengekangan, seperti diungkapkan oleh salah satu warga Den Haag, Hans D.
"Mereka merasa terkekang karena corona, enggak bisa ke mana-mana," ujar pria keturunan Indonesia yang sudah lebih dari 40 tahun tinggal di Belanda tersebut.
Kendati begitu, ia merasa bahwa kebijakan itu tak menganggu aktivitasnya dan menyebut kebijkan itu perlu guna meredam penyebaran penyebaran virus.
Aksi protes di Rotterdam Sabtu (20/11) malam diwarnai kerusuhan.
"Mau terkekang, enggak terkekang ya bagimana. Asalkan menurut peraturannya kita pakai mouth cap (masker). Di sini juga kalau mau masuk dalam ruangan harus pakai mouth cap. Tapi [aktivitas] terganggu, enggak ada," kata Hans.
Widya Boerma yang juga tinggal di Den Haag mengatakan bahwa demonstrasi yang terjadi di Belanda adalah "cara untuk mengungkapkan bahwa orang bosan dengan pembatasan yang diberlakukan pihak berwenang".
"Tetapi merusak mobil atau toko bukanlah cara untuk mengekspresikan diri Anda dengan cara yang benar," tegasnya.
"Saya tidak sepakat dengan [pengrusakan fasilitas umum] tetapi saya mengerti bahwa sangat sulit bagi warga untuk memahami kebijakan pembatasan karena membingungkan, terutama bagi anak-anak muda yang bosan, karena ada jam malam, jadi satu-satunya hiburan sekarang adalah di rumah karena tidak bisa pergi ke restoran atau bar," ujar Widya.
Kebijakan itu juga menyulitkan warga negara asing yang tak memiliki kode QR seperti yang dimiliki warga yang terdaftar di Belanda.
Kode QR yang ada dalam sertifikat vaksin Indonesia misalnya tak terbaca oleh alat pemindai.
Akibatnya, warga negara asing kerap ditolak ketika masuk ke restoran, bar atau museum.
Hal yang sama berlaku bagi warga Belanda yang tidak bersedia melakukan vaksinasi.
Pembatasan ini kemudian memicu gelombang demonstrasi yang diperkirakan akan terus terjadi selama pemberlakukan lockdown parsial.
Kerusakan di Den Haag menyebabkan lima anggota polisi mengalami luka-luka.
Kerusuhan juga pecah di Kota Urk dan di beberapa kawasan di Provinsi Limburg.