Dilema Pasal Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi di UU TPKS

Konten Media Partner
9 Juli 2022 8:46 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan hamil
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan hamil
Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada pertengahan April 2022 lalu menjadi kabar gembira bagi banyak perempuan, termasuk mereka yang HIV positif dan disabilitas. Selama ini, kedua kelompok ini kerap menjadi korban pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, yang kini diatur dalam UU TPKS. Ini kisah mereka.
Empat belas tahun sudah berlalu, tapi rasa menyesal tidak bisa ditepis oleh Dwi Surya. Pada 2008, Dwi melakukan proses sterilisasi kehamilan pascapersalinan putranya.
Keputusan sterilisasi ini, aku Dwi, dilakukan saat dirinya dalam kondisi tertekan, baik secara psikis, fisik, dan ekonomi.
Sebagai perempuan dengan HIV positif, ia mengaku tidak memiliki daya tawar untuk menolak "saran" sterilisasi dari dokter yang menangani persalinannya kala itu.
"Punya anak adalah impian saya. Saat tahu hamil, senang sekali bisa punya keturunan, karena orang dengan HIV positif punya keturunan, rasanya bangga," kisah Dwi.
Sejak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV pada 2004, Dwi aktif di komunitas orang dengan HIV. Di situ dia bertemu dengan Anton Eka, lelaki yang juga HIV positif dan kelak menjadi suaminya.
Dwi dan Anton menikah pada 2007. Delapan bulan kemudian, Dwi hamil meski tanpa perencanaan.
Bagi pasangan HIV positif, kehamilan sebaiknya dilakukan dengan perencanaan matang karena membutuhkan disiplin yang ketat. Beberapa obat yang dikonsumsi, misalnya, harus berhenti dikonsumsi sebelum hamil.
Saat mengetahui dirinya hamil, Dwi mengaku gembira namun juga khawatir. Dwi sadar, ia berpotensi menularkan virus HIV kepada bayi yang dikandungnya baik saat kehamilan, persalinan, maupun proses menyusui.
Apalagi, dia juga masih mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV) jenis Efavirenz yang waktu itu diyakini bisa berdampak buruk pada janin.
"Kalau ada perencanaan, mungkin akan diberhentikan obat Efavirenz itu dua bulan sebelum kehamilan. Tapi dokter menyarankan 'gugurin [kandungan], jalan satu-satunya, tidak ada pilihan'."
Terang saja, saran dokter yang menurut Dwi "cenderung menakut-nakuti" itu membuatnya semakin resah dan khawatir.
Namun dukungan dari komunitas ODHIV memantapkan hati mereka. Dwi pun mempertahankan kehamilannya yang berjalan relatif tanpa kendala.
Sebulan menjelang persalinan, Dwi dan Anton kembali dihadapkan pada pilihan yang berat. Dwi diminta melakukan sterilisasi kehamilan dengan alasan "kamu HIV positif" dan "kamu sudah menularkan pada anak".
"Di situ saya sedikit tersinggung sebenarnya," ujar Dwi. "Siapa yang mau anak menjadi korban?"
Pada 2008, Dwi melahirkan dengan operasi sesar. Bayinya dinyatakan negatif HIV setelah delapan minggu menjalani terapi ARV.

'Dipaksa sterilisasi'

Ketika berkonsultasi dengan dokter sebelum melahirkan itu juga, Dwi merasa dokter tak memberikan pilihan padanya.
Dwi dan Anton yang pada saat itu mengaku tidak mampu membayar biaya operasi sesar sebesar Rp13 juta, ditawari oleh rumah sakit untuk menggunakan dana hibah dari Global Fund, dengan syarat bersedia melakukan sterilisasi pada ibu.
Sejak 2003, Global Fund mengucurkan dana hibah dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Salah satu programnya adalah mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Proses sterilisasi yang dijalani Dwi adalah dengan cara memotong saluran tuba falopi (jalur utama pertemuan sel telur dengan sperma), sesaat setelah operasi sesar.
Di kemudian hari, Dwi baru menyadari ada dua cara sterilisasi, yakni saluran dipotong atau dililit. Sterilisasi juga sebetulnya bisa dilakukan pada laki-laki, dalam hal ini suaminya.
"Akhirnya, saya baru sadar, di situ dokter tidak memberikan pilihan," lanjut Dwi. "Di situ saya nurut-nurut saja."
Dwi mengatakan, ada yang hilang dalam dirinya sebagai seorang perempuan setelah proses sterilisasi membuatnya tidak mungkin hamil lagi. Sebagai suami, Anton juga tidak bisa berbuat banyak.
"Dulu saya juga tidak terlalu dilibatkan sebagai suami," kata dia.
Penyesalan mereka semakin menjadi ketika di tahun kelahiran anaknya, pemerintah gencar menyosialisasikan program pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak (PPIA).
Program nasional pengendalian HIV tersebut, memungkinkan seorang ibu dengan HIV untuk hamil, melahirkan, dan menyusui tanpa menulari anaknya.
Maka semestinya, tidak ada lagi praktik pemaksaan menggugurkan atau sterilisasi kehamilan untuk perempuan dengan HIV positif.
Kini, Dwi aktif membagikan pengalamannya agar jadi pelajaran bagi perempuan yang senasib dengannya melalui Female Plus, komunitas pendamping ODHIV dan yang terdampak.
Dia juga sempat diundang ke forum internasional tentang pelanggaran hak pada perempuan di Asia yang digelar di Bangkok pada 2009.
Dalam forum itu, Dwi mengisahkan pengalaman sterilisasi paksa yang kemudian dikategorikan sebagai bentuk kekerasan pada perempuan.

'Perempuan berhak punya anak'

Dimasukkannya pasal Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membuat Dwi dan Anton merasa gembira.
"Perempuan berhak untuk punya anak lagi, entah dia HIV positif atau enggak. Dia berhak punya pilihan untuk punya anak berapa pun anaknya," tandas Dwi.
Sementara Anton menekankan sterilisasi "tetap harus diinformasikan, apakah hanya dililit atau dipotong. Itu harus diinformasikan dengan benar".
Pemaksaan sterilisasi pada perempuan HIV positif juga disuarakan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) di forum Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, di New York, 2012.
"Kenapa istilah sterilisasi paksa jadi sangat booming di kalangan perempuan HIV karena pada tahun di bawah 2012, itu banyak kasus terjadi," ujar Ayu Oktarini, Koordinator Nasional IPPI, saat ditemui di Bandung, Jumat (22/4).
Diakui Ayu, belum ada data terbaru mengenai praktik sterilisasi paksa pada perempuan dengan HIV. Namun, Ayu meyakini tindakan paksa tersebut masih terjadi, apalagi dirinya sempat mengalami langsung, saat hamil di 2017.
"Pada saat saya lapor ke dokter obgyn, saya lapor bahwa saya hamil dengan kondisi baik. Informasi pertama yang keluar dari mulut dia adalah, 'Ya sudah setelah lahiran langsung disteril saja'. Sampai hari ini saran-saran seperti itu masih ada," ungkap Ayu.
Perempuan dengan HIV, lanjut Ayu, seringkali tidak berdaya menghadapi anjuran sterilisasi. Selain karena yang menganjurkannya tenaga kesehatan yang dianggap lebih paham, juga adanya tekanan dari pasangan atau keluarga.
Ditambah lagi, kata dia, saran-saran medis kerap tidak berpihak pada perempuan.
"Fakta yang mencengangkan adalah ada sebuah konsep berpikir dari tenaga medis bahwa perempuan dengan HIV itu kalau dia hamil maka sebaiknya ini kehamilan terakhir.
"'Karena kamu sudah hidup dengan HIV, jadi jangan menambah masalah dengan punya anak dan lain sebagainya.' Itu anggapan tenaga medis pada saat itu," ungkap Ayu.
Ayu juga menganggap sterilisasi paksa masuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia karena perempuan dengan HIV dianggap tidak mampu dan tidak layak untuk memiliki anak.
Kondisi yang, menurut Ayu, semakin memperburuk stigma dan diskriminasi pada kelompoknya.
"Banyak perempuan dengan HIV yang tidak paham dirinya menjadi korban, dan tidak menyadari sterilisasi paksa itu merupakan pelanggaran terhadap hak kesehatan reproduksi," kata dia.
Karena itulah, IPPI mengusulkan kasus pemaksaan sterilisasi ini masuk dalam daftar inventaris masalah (DIM) saat proses penyusunan RUU TPKS. Ayu senang sekaligus bangga, usulan sterilisasi paksa ini masuk dan menjadi salah satu pasal di UU TPKS.
"Sebenarnya sangat sangat excited, akhirnya ada aturan negara yang jelas dan akan memberikan perlindungan pada perempuan dengan HIV," ujarnya.

Menimpa perempuan dengan disabilitas

Seorang perempuan disabilitas di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, terbangun usai menjalani operasi sesar.
Dia merasa bersyukur telah melahirkan anaknya dengan selamat. Namun tanpa sepengetahuannya, operasi sesar yang dijalaninya tidak hanya membantu kelahiran anaknya, tapi juga menutup peluangnya memiliki anak lagi.
Rahimnya diangkat tanpa persetujuannya, lantaran kondisi disabilitasnya, ia dianggap tidak layak memiliki anak.
Penilaian itu muncul dari keluarganya sendiri karena kondisi cacat fisik di bagian kaki. Dalam beraktivitas, perempuan itu menggunakan kruk atau kursi roda. Keluarganya menilai, dia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi istri ataupun ibu.
"Pertama, keluarganya melarang menikah. Tetapi dia punya pacar, sampai menyakinkan keluarganya akhirnya bisa menikah. Ketika menikah, keluarganya melarang punya anak, tapi ternyata hamil.
"Ketika dia melahirkan, tanpa sepengetahuan dan persetujuan yang bersangkutan, keluarganya mengambil keputusan. Operasi sesar pengambilan anak itu, sekaligus dengan rahim-rahimnya. Pelanggaran HAM berat bukan?" kata Fatimah Asri Muthmainah, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang membagi kisah temannya itu.
"Yang dia tahu, setelah siuman, dia memiliki bayi dan dia kehilangan rahimnya. Ngeri," tukas Fatimah.
Kisah lain dialami Handayani, yang menyandang disabilitas fisik akibat polio saat usia satu tahun.
Saat menikah dengan Asep Hidayat, sesama penyandang disabilitas, keluarga melarangnya hamil. Sehari setelah menikah, perempuan yang dipanggil Yani ini, dipaksa memakai alat kontrasepsi.
Yani beruntung, tiga klinik yang didatangi menolak memasang kontrasepsi dengan alasan usia Yani pada saat itu 30 tahun, dan tidak disarankan memakai kontrasepsi sebelum punya anak.
Tak lama kemudian, Yani hamil anak pertama dan berhasil melahirkan secara normal. Setelah persalinan, Yani kembali dipaksa memakai kontrasepsi. Kali ini, Yani mengikuti saran keluarganya dengan mengkonsumsi pil KB.
"Saya hamil lagi ketika anak pertama berusia 13 bulan dan disuruh digugurkan oleh keluarga dan orang tua suami, tapi tidak saya lakukan," beber Yani.
Tindakan keluarga ini, menurut Yani, akibat stigma yang melekat pada perempuan disabilitas yang dianggap tidak mampu melahirkan, merawat, dan membiayai kebutuhan anak. Apalagi, suami Yani pun seorang penyandang disabilitas.
Selain keluarga, tenaga kesehatan dan kader PKK yang dilibatkan dalam program Keluarga Berencana (KB) juga kerap menjadi pelaku pemaksaan kontrasepsi pada perempuan disabilitas.
"Mereka menghakimi, 'Kasihan, sudah punya anak. Jangan punya anak lagi. KB saja, mumpung ada program pemerintah.' Ketika ada seperti itu, keluarga membawa, tanpa minta izin ke individunya karena dianggap tidak paham. Terlebih lagi pada disabilitas mental," kata Yani yang kini aktif mendampingi perempuan disabilitas melalui komunitas Rumah Inklusi Indonesia (RUMI).
"Setelah saya pikir lagi, ini seperti pemaksaan supaya programnya sukses," imbuhnya.
"Kebanyakan orang tua penyandang disabilitas mental dan intelektual takut, ketika anaknya bermain tanpa dampingan, ada pelecehan seksual dan terjadi kehamilan. Akhirnya tanpa izin anaknya, membawa anaknya ke rumah sakit atau bidan untuk pemasangan alat kontrasepsi," ungkap ibu dua anak ini.
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) mencatat 142 kasus kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas di 11 provinsi selama kurun waktu 2017 hingga 2019.
Dari jumlah tersebut, 2% adalah pemaksaan kontrasepsi. Namun diyakini, angka tersebut hanyalah di permukaan saja.
Menurut Fatimah, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi pada perempuan disabilitas masih banyak terjadi, seiring bertambahnya jumlah penyandang disabilitas.
Padahal, dalam Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan perempuan penyandang disabilitas memiliki hak, dua di antaranya adalah hak atas kesehatan reproduksi dan hak menerima atau menolak penggunaan kontrasepsi.
Hak tersebut semakin dijamin oleh pemerintah dengan terbitnya UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Fatimah menyambut baik disahkannya UU TPKS yang dinilai menguatkan perlindungan pada perempuan disabilitas.
"Kalau pasal ini tidak di-highlight pemaksaan ini akan semakin masif dan akan memancing kekerasan, akan memperbanyak dan menumbuhkan tindak kekerasan terhadap perempuan disabilitas," ujar Fatimah, yang juga seorang penyandang disabilitas.
Proses memasukkan pasal Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi dalam UU TPKS nyaris tanpa perdebatan.
Setelah Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan menyampaikan sejumlah data kasus, kedua belah pihak, baik DPR dan pemerintah sama-sama mengusulkan pasal tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, kedua pasal itu penting dimasukkan lantaran di balik praktik pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi ada tindak pidana kekerasan seksual.
Ia mencontohkan kasus ayah tiri yang mencekoki anaknya pil KB agar bisa diperkosa terus tanpa risiko hamil. Kemudian, kasus anak perempuan yang dipaksa minum pil KB oleh orang tuanya dan melayani secara seksual teman ayahnya.
"Kasus-kasus itu terjadi. Intinya [pasal ini] melindungi perempuan untuk tidak [menjadi korban kekerasan] karena fungsi reproduksinya," kata Ami, panggilan akrabnya.
"Itu kan tubuh perempuan, harusnya yang berhak menentukan adalah perempuan itu sendiri. Dan pemaksaan kontrasepsi itu banyak dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan seksual agar terus bisa mengeksploitasi seksual korban," ungkap Ami, saat ditemui dalam sebuah acara Komnas Perempuan di Bandung, April 2022.

Potensi kriminalisasi pada keluarga dan nakes

UU TPKS memasukkan Pemaksaan Kontrasepsi di Pasal 8 dan Pemaksaan Sterilisasi tercantum di Pasal 9. Bagi yang melanggar, ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan sembilan tahun menanti.
Keluarga dan tenaga kesehatan disebut korban sebagai pelaku pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi terbanyak. Sejumlah data kasus juga menyebut dengan jelas keterlibatan kedua pihak itu. Lantas, akankah pasal ini menjerat mereka?
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, Eka Mulyana menyatakan, tindakan kedokteran di setiap pelayanan kesehatan didasari atas kepercayaan dua pihak, yaitu dokter dan pasien.
"Penting di sini perlunya edukasi, sosialisasi, dan di setiap tindakan kedokteran ada yang disebut informed consent, yakni persetujuan dari pasien setelah mendapatkan penjelasan dari dokter atau tenaga kesehatan atas tindakan kedokteran yang disarankan atau akan dilakukan," papar Eka.
Terkait pasal 8 dan 9 dalam UU TPKS, Eka mengartikannya sebagai tanda bagi pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan agar lebih berhati-hati.
Ilustrasi perempuan hamil duduk di kursi roda.
Dia juga mengatakan akan menyosialisasikan peraturan tersebut di lingkungan internal, agar semua tenaga kesehatan mengetahui dan memahami pasal tersebut.
Pakar Hukum Pidana, Agustinus Pohan, mengatakan peraturan itu tidak semestinya menghentikan kewajiban tenaga kesehatan memberikan saran kepada pasien, meski dibayangi ancaman kriminalisasi.
Pohan menekankan supaya sistem informed consent di setiap layanan kesehatan dilengkapi, misalnya dengan membuat berita acara atau video.
Meski demikian, Pohan menyambut baik adanya kedua pasal tersebut.
"Misalnya, boleh enggak tenaga kesehatan menganjurkan, sejauh mana anjuran itu bisa dibenarkan, sejauh mana anjuran itu dianggap sebagai pemaksaan. Nah, inilah yang nanti akan menyempurnakan pasal-pasal itu," kata Pohan.
Di sisi lain, lanjut Pohan, aturan itu juga memunculkan konsekuensi. Misalnya, jika ada kasus perempuan disabilitas mental yang menolak menggunakan kontrasepsi, lalu hamil tapi kemudian tidak mampu merawat anaknya.
"Negara juga bertanggung jawab. Jadi kalau sampai ibunya tidak mengurus, maka negara akan mengambil alih. Pertanyaannya adalah apakah kita siap?"
Bagaimanapun, meski UU TPKS sudah bisa digunakan, berbagai aturan turunannya masih disusun. Ditargetkan ada tiga peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (perpres) yang menjadi aturan turunan dari undang-undang yang disahkan April lalu, setelah mengalami penolakan selama enam tahun lamanya.
-
Wartawan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi pada liputan ini