Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Empat Hakim Jadi Tersangka Suap Kasus Ekspor Minyak Sawit, Bisakah Perusahaan Turut Dijerat?
16 April 2025 10:40 WIB
Empat Hakim Jadi Tersangka Suap Kasus Ekspor Minyak Sawit, Bisakah Perusahaan Turut Dijerat?
Sejumlah pakar hukum dan pegiat antikorupsi menilai penetapan empat hakim sebagai tersangka dugaan suap terkait putusan lepas perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) seharusnya menjadi momentum untuk menyoroti kasus-kasus serupa yang melibatkan korporasi.
Pada Senin (14/04), Kejaksaan Agung menahan trio hakim yang membebaskan tiga perusahaan dalam kasus suap terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit.
Ketiga hakim itu diduga menerima uang sogok dari ketua PN Jakarta Pusat, yang sebelumnya menerima suap sebesar Rp60 miliar dari dua pengacara korporasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar, menyebut kasus suap hakim dengan modus seperti ini sebagai "unprecedented [belum pernah terjadi sebelumnya]".
Yassar menekankan perlunya kecermatan dalam mengawasi kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar, terutama di sektor ekstraktif.
"Jangan-jangan selama ini ada kasus-kasus lain di mana korporasi sebetulnya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi kasusnya kemudian 'dipesan' menggunakan modus suap-menyuap," ujar Yassar kepada BBC News Indonesia.
Senada, pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan kasus ini mestinya menjadi pintu masuk untuk menyelisik kembali kasus-kasus serupa.
"Ternyata putusan lepas itu muncul karena adanya penyuapan Rp60 miliar. Ini memang dibelokkan [putusannya]. Itu modus mafia-mafia yang melibatkan hakim," ujar Yenti.
Kronologi penetapan empat hakim jadi tersangka suap
Penyingkapan kasus dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor CPO ini tidak lepas dari putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada tanggal 19 Maret 2025.
Saat itu, majelis hakim yang terdiri dari D, ASB, dan AM, menyidangkan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO untuk periode Januari-April 2022 dengan tiga terdakwa korporasi: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.
D, ASB ,dan AM memutuskan perkara tersebut dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau dalam hukum Indonesia dikenal onslag van rechtsvervolging dalam istilah Belanda.
Dengan kata lain, para terdakwa terbukti melakukan apa yang dituduhkan, tetapi menurut hukum, perbuatan itu bukanlah sebuah kejahatan atau tindak pidana.
Pada Sabtu (12/04) petang, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua PN Jakarta Selatan, MAN, sebagai tersangka suap.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar mengatakan bahwa MAN sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Temuan penyidik Kejaksaan Agung mengungkapkan dua pengacara MS dan AR selaku advokat memberikan Rp 60 miliar agar majelis hakim yang mengadili kasus CPO memberi putusan lepas.
Baca juga:
BBC News Indonesia sudah menghubungi Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group untuk meminta keterangan lebih lanjut. Namun, hingga artikel ini diturunkan yang bersangkutan belum memberikan respons.
Kepada kantor berita Reuters, Wilmar International Limited yang berbasis di Singapura mengatakan penyelidikan kasus itu tidak melibatkan Wilmar Group ataupun karyawan mereka "sejauh pengetahuan terbaik" perusahaan.
"Kami meyakini sepenuhnya bahwa kami tidak bersalah atas tuduhan-tuduhan yang mungkin ada. Langkah-langkah yang kami ambil pada masa itu, yaitu berupaya meningkatkan pasokan minyak sawit ke pasar meskipun harus menanggung biaya tambahan, semata-mata bertujuan untuk membantu pemerintah memperbaiki ketersediaan di dalam negeri sekaligus menekan harga," tulis Wilmar International Limited dalam pernyataannya.
Bisakah penegak hukum menjerat perusahaan dalam kasus korupsi?
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mengatur korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijerat dalam kasus korupsi.
Adapun hukum acara pidananya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.
Secara spesifik, Perma No 13/2016 menyebut korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana—termasuk korupsi—apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:
Meskipun demikian, peneliti ICW, Muhammad Yassar, mengatakan penjeratan korporasi selaku subjek hukum masih menjadi permasalahan mendasar dalam pemberantasan korupsi.
Mengapa?
"Sebab, pada KUHAP, belum tercantum ketentuan yang cukup progresif dan komprehensif dalam hal pemidanaan korporasi," ujar Yassar, Selasa (15/04).
Yassar menyebut Perma No 13/2016 masih berupa "ketentuan parsial" terkait pemidanaan korporasi.
"Pada kasus-kasus korupsi, sayangnya peraturan ini masih sangat jarang dioperasionalkan oleh penegak hukum," jelasnya.
"Salah satu sebabnya karena substansi peraturannya tidak berada di level undang-undang. Ini menyebabkan kebingungan bagi penegak hukum karena banyak interpretasi terkait regulasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam memidanakan korporasi."
Lebih lanjut, Yassar mengatakan secara kapasitas, penegak hukum di Indonesia sering kali kesulitan untuk membedakan kapan suatu tindak pidana merupakan tanggung jawab dari korporasi dan kapan itu menjadi tanggung jawab dari individu.
Pada tahun 2023, ICW mencatat ada setidaknya 252 pengusaha atau swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi di tahun 2023.
"Namun ini merujuk pada individu, bukan korporasi sebagai badan hukum," ujar Yassar.
Dari data yang sama, setidaknya hanya ada tiga korporasi yang didakwa dalam kasus korupsi dari total 898 terdakwa di tingkat pengadilan negeri.
Sedangkan di tingkat pengadilan tinggi, hanya ada 6 korporasi dari 582 total terdakwa yang berhasil disidangkan.
"Keseluruhan kasus yang melibatkan korporasi sebagai badan hukum menggunakan delik kerugian negara pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan delik suap," ujar Yassar.
Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengamati banyak penegak hukum yang menerapkan ultimum remedium atau "pidana sebagai obat terakhir".
"Di Indonesia sering kali pidananya dikesampingkan, lalu yang dikasih adalah sanksi administratif dengan alasan ultimum remedium," ujarnya.
Andri menekankan pentingnya penegakan hukum pidana dalam kasus korupsi atau suap sebagai bentuk penegasan negara yang mengutuk tindakan tersebut.
"Bisa jadi jumlah dendanya tidak jauh berbeda. Tapi pidana itu adalah ekspresi negara mencela sebuah perbuatan. Ekspresi pencelaan ini tidak ada dalam sanksi administratif," tegasnya.
Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan penegak hukum harus benar-benar memahami konsep "kejahatan perusahaan" yang sudah diatur dalam UU Tipikor.
"Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan," ujar Yenti.
"Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda. Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan."
Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.
"Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset]," ujar Yenti.
"Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan."
'Ketua MA harus bertangan besi'
Di sisi lain, pegiat antikorupsi dan pakar hukum pidana juga menyoroti masih adanya hakim yang menerima suap.
Berdasarkan catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, setidaknya terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka akibat menerima suap untuk mempengaruhi hasil putusan.
"Jika ditotal, jumlah suapnya menyentuh angka sekitar Rp 108 miliar," ujar Yassar.
Terpisah, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Syarif mengatakan Ketua MA Sunarto sebagai seseorang dengan rekam jejak cukup baik "harus bertangan besi" dalam menangani hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.
"Kalau tidak, hal seperti ini akan terus terjadi. Saya sangat berharap kepada pimpinan MA supaya betul-betul zero tolerance terhadap hakim-hakim yang melanggar hukum. Seharusnya dibebastugaskan saja semuanya," ujar La Ode kepada BBC News Indonesia pada Senin (14/04).
Juru bicara Mahkamah Agung, Yanto, mengatakan pihaknya telah mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan sementara empat hakim yang
Lebih lanjut, Yanto menjelaskan bahwa pemberhentian secara permanen akan diberlakukan jika nantinya pengadilan mengeluarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sementara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) dalam pernyataan tertulisnya mengatakan akar masalah kasus suap hakim tidak tunggal.
"Ada kombinasi antara: kesejahteraan yang belum ideal, sistem promosi dan rotasi, serta masih lemahnya budaya pengawasan [internal dan eksternal]," tulis lembaga itu.
"Pemberantasan suap tidak bisa berhenti di penindakan semata. Harus ada perbaikan sistemik dari hulu."
Terpisah, pegiat antikorupsi Tibiko Zabar menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan yang seharusnya diemban oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial.
"Kasus ini juga menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan data KPK, sejak berdiri hingga 2022 setidaknya, tak kurang 21 hakim terbukti korupsi," ujarnya.
'Hakim juga manusia'
Menanggapi masih adanya kasus suap hakim, Kepala Biro Humas MA, Sobandi, menyebut persoalan utama terletak pada integritas oknum hakim, bukan pada kelemahan lembaga.
"Persoalannya di persoalan integritas oknum," ujar Sobandi, Rabu (15/04).
Sobandi menekankan bahwa MA secara rutin melakukan pembinaan dan pengawasan untuk meningkatkan integritas para hakim.
Namun, Sobandi mengakui adanya keterbatasan dalam pengawasan.
"Pengawasan kami hanya pada saat jam kerja. Kami tidak mengawasi seorang hakim dan aparatur pengadilan 24 jam," ujarnya.
Sobandi juga menyinggung soal kesejahteraan hakim, khususnya mereka yang menangani tindak pidana korupsi dengan beban kerja berat tetapi tunjangan yang setara dengan hakim bidang lain.
Dia mendorong pemerintah memberikan perhatian lebih terkait hal ini.
Di sisi lain, Sobandi juga mengatakan bahwa "hakim juga manusia".
"Setangguh apa pun hakim, ya, namanya hakim juga manusia. Ketika digoda-goda seperti halnya Rp 60 miliar itu, kan, ya, kadang goyah juga, kan?" ujarnya sembari menegaskan kembali ke poin oknum.
Sebagai langkah antisipasi, MA berencana melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hakim-hakim di wilayah Jakarta dan mengusulkan mutasi setiap dua tahun.
"Karena godaan di Jakarta, tahu sendiri bagaimana terhadap materi," tuturnya.
Baca juga:
Reportase oleh Amahl Azwar