Gaya Hubungan Poliamori Solo, Lebih dari Sekadar Gonta-ganti Pasangan

Konten Media Partner
9 Maret 2022 13:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gaya Hubungan Poliamori Solo, Lebih dari Sekadar Gonta-ganti Pasangan
zoom-in-whitePerbesar
Tiga tahun setelah Chris mengaku sebagai biseksual, pria berusia 35 tahun itu memutuskan bahwa dia "tidak selalu ingin menjalani kehidupan heteronormatif".
"Saya ingin bisa berkencan dengan laki-laki dan perempuan secara bersamaan sepanjang hidup saya," kata Chris, yang menyembunyikan nama keluarganya demi privasi.
"Saya merasa monogami akan menyangkal sesuatu dari diri saya sendiri."
Selama pandemi, Chris pindah ke komunitas seks-positif di Brooklyn, New York - sebuah "ruang aman" di mana ia dapat mengeksplorasi lebih jauh hubungannya dengan seks dan seksualitas.
Melalui komunitas itu, ia menemukan kursus yang disebut Open Smarter, yang membimbing para siswa melalui navigasi berbagai jenis hubungan etis non-monogami.
Di situlah ia pertama kali mendengar istilah "poliamori solo". Dia dengan cepat merasa itu cocok dengan gaya kencannya.

Apa itu poliamori solo?

Pada intinya, poliamori solo mengacu pada orang-orang yang terbuka untuk berkencan atau terlibat dalam berbagai hubungan yang bermakna tanpa memiliki 'pasangan utama': satu orang yang menjadi komitmen mereka di atas semua pasangan lainnya.
Sebaliknya, poliamor solo mungkin melihat diri mereka sebagai pasangan utama mereka sendiri, menghindari tujuan hubungan yang khas, seperti menggabungkan keuangan atau rumah dengan pasangan, dan menikah dan memiliki anak.
Poliamor tunggal mewakili sebagian kecil poliamor secara umum, banyak dari mereka cenderung memiliki atau bertujuan untuk memiliki pasangan utama, kata pendidik seks dan terapis yang berbasis di Philadelphia, Liz Powell. Jadi pada dasarnya sulit untuk mengetahui berapa persentase keseluruhan populasi terlibat dalam hubungan dengan cara ini.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan generasi muda lebih cenderung untuk menjalin hubungan non-monogami dibandingkan generasi yang lebih tua. Berdasarkan survei YouGov tahun 2020 terhadap 1.300 orang dewasa AS, 43% kaum milenial mengatakan bahwa hubungan ideal mereka adalah non-monogami. Sementara itu, hanya 30% Gen X yang mengatakan hal yang sama.
Bagi banyak poliamoris solo, identitas memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi hasrat dan pengalaman seksual yang berbeda tanpa mengikuti ekspektasi heteronormatif.
Secara keseluruhan, penelitian dari 2016 yang mensintesis dua studi AS yang berbeda menunjukkan 20% responden terlibat dalam hubungan non-monogami konsensual di beberapa fase hidup mereka.
Tetapi studi ini tidak merinci angka-angka tersebut berdasarkan jenis hubungan non-monogami tertentu, jadi tidak mungkin untuk mengatakan berapa banyak dari mereka yang disurvei menganggap hubungan mereka sebagai poliamori tunggal.
Karena poliamor solo adalah identitas minoritas, ada banyak kesalahpahaman tentang gaya hidup mereka. Dari orang-orang yang menyamakan poliamori solo dengan monogami yang berkencan sampai mereka menemukan "si dia", hingga mereka yang menganggapnya sebagai langkah egois atau serakah, ada kecenderungan untuk mengabaikan istilah yang lebih bernuansa definisi.
Pada intinya, gaya hubungan ini salah satu upaya keluar dari gagasan yang disebut "eskalator hubungan" heteronormatif, dan memilih cara alternatif untuk terlibat dalam hubungan romantis dan seksual.
Keluar dari 'eskalator hubungan'
Istilah poliamori solo dipopulerkan oleh blog Solopoly.net, yang ditulis oleh jurnalis Amy Gahran, dengan nama pena Aggie Sez.
Unggahan blog pertamanya, yang diterbitkan pada tahun 2012, berjudul, "Mengendarai eskalator hubungan (atau tidak) ".
Sekitar lima tahun kemudian, dia menulis sebuah buku tentang masalah ini, Stepping Off the Relationship Escalator: Uncommon Love and Life.
Gahran mendefinisikan 'eskalator' ini sebagai "standar kebiasaan masyarakat untuk perilaku yang tepat dari hubungan intim" - dengan kata lain, hubungan yang mencapai, atau bertujuan untuk mencapai, target-target yang menjadi penanda kehidupan tradisional, seperti pindah dengan pasangan, menggabungkan keuangan, bertunangan, menikah, dan memiliki anak.
"Kita punya tolok ukur atau tanda yang dinormalisasi ini, bahwa suatu hubungan telah memasuki fase serius," kata Rachel Krantz, 34 tahun, penulis buku Open: An Uncensored Memoir of Love, Liberation, and Non-Monogamy - A Polyamory Memoir.
"Orang-orang poliamori solo cenderung tidak mau menjalin hidup mereka dengan orang lain dengan cara itu."
Meskipun definisinya mungkin terkesan sempit, ada banyak cara untuk menjadi 'poli solo'.
Orang-orang poliamor solo cenderung alloseksual, kata Elisabeth Sheff, penulis banyak buku termasuk The Polyamorists Next Door.
Alloseksual berarti mereka cenderung mengalami hasrat seksual - tetapi ada juga yang aseksual dan mempertahankan banyak hubungan non-seksual.
Mereka juga cenderung "menghargai kemandirian mereka", tambah Sheff, tetapi beberapa memiliki hubungan non-romantis yang sangat penting dalam hidup mereka yang mereka utamakan.
"Orang tua tunggal yang memprioritaskan anak-anak mereka di atas semua hubungan lain bisa menjadi poli solo," kata Sheff, seperti halnya seseorang yang menjadi pengasuh penyandang disabilitas.
Poliamori solo juga tidak harus selamanya. Seseorang dapat menganggap dirinya sebagai poli solo hari ini, tetapi masih berakhir memasuki hubungan yang lebih tradisional dengan rumah atau keuangan bersama di masa depan - identitas tidak harus tetap untuk dianggap valid, kata peneliti dan konsultan seks yang berbasis di New York Zhana Vrangalova.
Chris, misalnya, menyatakan minatnya pada suatu hari menemukan pasangan utama, tetapi berkata sementara ini dia ingin menjadi poli solo. Menurutnya, gaya hubungan itu "memungkinkan saya untuk berkencan, memiliki pengalaman dengan orang-orang, mengenal banyak orang yang berbeda, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya".
Ini mirip dengan ketika dia berkencan secara monogami, dia menambahkan, "tetapi sekarang saya telah menempatkan label di atasnya untuk mengomunikasikan kepada orang-orang apa niat saya".
Namun hanya karena seseorang mengidentifikasi diri sebagai poli solo, tidak berarti mereka tidak bisa atau tidak akan membentuk ikatan yang dalam dan langgeng dengan pasangannya.
Untuk membina hubungan saling percaya dengan pasangannya, para poliamor solo mengatakan mereka sangat terbuka dengan calon pasangan tentang keinginan dan kebutuhan mereka, menurut Powell, edukator seks di AS yang menganggap dirinya sebagai poli solo,
"Saya tidak akan meminta [apa yang saya inginkan dalam suatu hubungan] hanya karena saya khawatir Anda akan mengatakan tidak," ujarnya.
"Jika orang mengatakan tidak, mereka mengatakan tidak, dan kami mencari tahu ke mana harus pergi dari sana."

Stigma seputar poliamori

Banyak stigma seputar poliamori solo berasal dari kurangnya pemahaman tentang mengapa seseorang mungkin tidak menginginkan apa yang disebut hubungan tradisional yang "serius". Stereotip terhadap orang-orang poli solo termasuk mereka adalah orang yang "egois, penghindar atau [kacau] dalam berbagai cara", kata Vrangalova.
Selanjutnya, poliamori solo ditandai dengan kurangnya kepatuhan terhadap tolok ukur hubungan seperti pernikahan dan anak-anak - yang juga berfungsi sebagai tolok ukur kedewasaan.
"Orang-orang yang kita anggap 'dewasa' adalah mereka yang menikah dan memiliki anak-anak, berbagi rumah, berbagi keuangan," kata Powell.
"Sementara 'orang dewasa yang bandel', seperti saya, yang hidup sendiri, tidak menikah, adalah contoh dari segala sesuatu yang salah dalam masyarakat."
Tentu saja, orang dewasa dapat dengan sukses hidup sendiri dan mandiri. Bagi mereka yang mengidentifikasi diri sebagai poli solo, itu juga tidak berarti mereka "tidak peduli dengan orang lain", kata Sheff.
"Mereka hanya tidak ingin menjadikan pasangan romantis pusat hidup mereka."
Meskipun seseorang mengidentifikasi diri sebagai poli tunggal, mereka masih dapat membentuk hubungan yang bermakna dengan pasangan.
Lebih dari sekedar gonta-ganti pasangan
Intinya, poliamori solo lebih dari sekadar gaya berkencan dengan banyak pasangan sambil tetap menjomlo. Ini adalah penolakan terhadap standar hubungan heteronormatif.
"Bagi saya, poliamori solo adalah tentang menemukan cara memusatkan otonomi saya sendiri, otonomi orang lain, dan benar-benar mempertanyakan apa saja yang saya inginkan dalam suatu hubungan, daripada berasumsi bahwa setiap hubungan akan mengikuti 'eskalator'," kata Powell.
Chris juga tertarik pada label poli solo karena memungkinkannya untuk memikirkan dan mendekati hubungan secara berbeda. Dia mengatakan jalur hubungan yang dia jalani tidak masuk akal baginya; sebelum pernikahan gay disahkan di AS, dia melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang dia tahu tidak akan pernah bisa dia nikahi.
Hari ini, Chris mengatakan dia tidak akan 100% mengesampingkan prospek pernikahan, tetapi dia bukan penggemar institusi tersebut.
"Sebagai orang biseksual yang aneh, saya tidak suka struktur pernikahan heteronormatif itu," katanya.
"Saya ingin memberontak terhadap itu."
--
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, Does 'solo polyamory' mean having it all?, bisa Anda simak di laman BBC Worklife.