Ilmuwan Universitas Oxford Klaim Vaksin Malaria Baru Akan Mengubah Dunia

Konten Media Partner
8 September 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
James Gallager Koresponden kesehatan dan sains
Seorang anak di Afrika memegang tanda bertuliskan "Malaria membunuh"
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak di Afrika memegang tanda bertuliskan "Malaria membunuh"
Vaksin malaria yang berpotensi "mengubah dunia" kini sedang dikembangkan oleh para ilmuwan di Universitas Oxford, Inggris.
Tim ilmuwan berharap vaksin tersebut bisa mulai digunakan tahun depan, setelah uji coba baru-baru ini menunjukkan perlindungan hingga 80% terhadap penyakit yang mematikan itu. 
Yang paling penting, menurut para ilmuwan, vaksin itu akan dijual dengan harga murah dan mereka telah memiliki kesepakatan untuk memproduksi lebih dari 100 juta dosis per tahun. 
Badan amal Malaria No More berkata, kemajuan tentang vaksin malaria baru-baru ini berarti anak-anak yang meninggal karena malaria dapat berakhir “dalam hidup kita”.
Diperlukan lebih dari satu abad untuk mengembangkan vaksin yang efektif melawan parasit malaria—yang disebarkan oleh nyamuk—yang sangat kompleks dan sulit dipahami. 
Parasit ini adalah target yang terus bergerak, mengubah bentuk di dalam tubuh, yang membuatnya sulit untuk diimunisasi.
Tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan lampu hijau untuk vaksin malaria pertama—aksi yang bersejarah—yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi raksasa GSK untuk digunakan di Afrika.
Diperlukan lebih dari satu abad untuk mengembangkan vaksin yang efektif melawan parasit malaria
Namun, tim ilmuwan Oxford mengeklaim pendekatan mereka lebih efektif dan dapat diproduksi dalam skala yang jauh lebih besar.
Hasil uji coba vaksin yang dikembangkan tim ilmuwan Oxford terhadap 409 anak di Nanoro, Burkina Faso, telah dipublikasikan di Lancet Infectious Diseases.
Hasil uji coba itu menunjukkan tiga dosis awal diikuti oleh booster setahun kemudian memberikan perlindungan hingga 80%.
"Kami pikir data ini adalah data terbaik di lapangan dibanding vaksin malaria apa pun," kata Profesor Adrian Hill, direktur Jenner Institute di universitas tersebut.
Tim ilmuwan akan memulai proses agar vaksin mereka disetujui dalam beberapa pekan ke depan, tetapi keputusan akhir akan bergantung pada hasil uji coba terhadap 4.800 anak sebelum akhir tahun.
Produsen vaksin terbesar di dunia—Serum Institute of India—sudah bersiap untuk memproduksi lebih dari 100 juta dosis per tahun.
Profesor Hill mengatakan vaksin malaria—yang disebut R21—dapat dijual dengan harga  "beberapa dolar" dan "kami sangat bisa melihat pengurangan yang sangat substansial terkait beban malaria yang menghebohkan itu".
Dia menambahkan: "Kami berharap [vaksin] ini akan dikembangkan dan tersedia dan menyelamatkan nyawa, tentu saja pada akhir tahun depan.
Malaria telah menjadi salah satu momok terbesar bagi umat manusia selama ribuan tahun dan kebanyakan membunuh bayi dan balita. 
Saat ini, penyakit ini membunuh lebih dari 400.000 orang per tahun, bahkan setelah penemuan kelambu, insektisida, dan obat-obatan.
Menurut Badan Kesehatan Dunia, WHO, Indonesia masih menjadi satu dari sembilan negara endemi malaria di Asia Tenggara, dengan kasus terdiri dari 21% kasus dan 16% kematian akibat malaria. Angka malaria masih cukup tinggi, menurut WHO, walaupun banyak pencapaian Indonesia dalam eradikasi malaria.
Vaksin malaria ini adalah vaksin  ke-14 yang dikerjakan Profesor Katie Ewer di Oxford karena "ini tidak seperti Covid di mana kami memiliki tujuh vaksin yang akan langsung bekerja... ini jauh, jauh lebih sulit".
Dia mengatakan kepada BBC bahwa "sangat memuaskan" untuk mencapai sejauh ini dan "potensi pencapaian yang dapat dicapai oleh vaksin ini jika diluncurkan bisa sangat  mengubah dunia".

Mengapa begitu efektif?

Vaksin malaria yang saat ini telah disetujui—dibuat oleh GSK—memiliki kesamaan dengan vaksin yang dikembangkan di Oxford.
Keduanya menargetkan tahap pertama siklus hidup parasit dengan mencegatnya sebelum sampai ke hati dan membangun tumpuan di dalam tubuh.
Vaksin dibuat menggunakan kombinasi protein dari parasit malaria dan virus hepatitis B, tetapi vaksin versi Oxford memiliki proporsi protein malaria yang lebih tinggi. 
Tim ilmuwan berpikir ini membantu sistem kekebalan untuk fokus pada malaria daripada hepatitis.
Keberhasilan vaksin GSK telah membuka jalan bagi Oxford untuk optimis mengeluarkan vaksin mereka tahun depan - seperti dengan menilai seberapa layak program vaksinasi digelar di Afrika.
Seorang pekerja medis mempersiapkan vaksin malaria untuk seorang anak di sebuah rumah sakit di Yala, Kenya, pada Oktober 2021
Betapa pun, sulit untuk memberikan perbandingan langsung dari kedua vaksin.
GSK telah melalui uji coba di dunia nyata, sementara hasil uji coba vaksin Oxford tampak lebih efektif sebab diberikan tepat sebelum puncak musim malaria di Burkina Faso. 
Profesor Azra Ghani, ketua epidemiolog penyakit menular di Imperial College London, mengatakan hasil uji coba "sangat disambut", namun dia memperingatkan bahwa perlu dana untuk mendapatkan vaksin tersebut. 
"Tanpa investasi ini, kita berisiko kehilangan keuntungan yang telah dicapai selama beberapa dekade terakhir dan menyaksikan gelombang kebangkitan malaria," ujarnya.
Gareth Jenkins, dari badan amal Malaria No More UK mengatakan hasil vaksin R21 adalah “sinyal lain yang menggembirakan”.
“Dengan dukungan yang tepat, dunia dapat mengakhiri kematian anak akibat malaria dalam hidup kita."