India: Para Pelaku Ujaran Kebencian Bisa Lolos dari Jerat Hukum

Konten Media Partner
15 April 2022 21:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beberapa pemimpin Hindu menyerukan kekerasan terhadap Muslim pada Desember lalu.
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa pemimpin Hindu menyerukan kekerasan terhadap Muslim pada Desember lalu.
Apakah lolos dari ujaran kebencian di India benar-benar mudah?
Serentetan insiden baru-baru ini, jelang festival Hindu Ram Navami pada 10 April, menjawab pertanyaan itu. Festival itu ditandai dengan insiden ujaran kebencian dan bahkan kekerasan di beberapa negara bagian.
Di negara bagian selatan Hyderabad, seorang anggota parlemen Partai Bharatiya Janata (BJP), yang dilarang oleh Facebook pada 2020 lalu karena pidato yang berisi ujaran kebencian, menyanyikan sebuah lagu dengan lirik yang mengatakan siapa pun yang tidak menyebut nama dewa Hindu Ram akan dipaksa meninggalkan India secepatnya.
Beberapa hari sebelumnya, sebuah video viral memperlihatkan seorang pendeta Hindu diduga mengancam akan menculik dan memperkosa perempuan Muslim di negara bagian utara Uttar Pradesh.
Polisi mencatat kasusnya seminggu setelah video pidato tersebut menimbulkan kemarahan dan dia ditangkap pada Rabu.
Masih dalam waktu yang berdekatan, Yati Narsinghanand Saraswati, pendeta Hindu yang dibebaskan dengan jaminan dalam kasus ujaran kebencian, membuat masalah yang sama lagi di Delhi. Dia meminta umat Hindu mengangkat senjata untuk memperjuangkan keberadaan mereka.
Kepolisian Delhi mengatakan Narsinghanand berpidato di sebuah acara yang tidak berizin. Itu berarti, dia melanggar salah satu persyaratan jaminannya, tetapi sejauh ini dia belum juga ditindak.
Lalu polisi di Uttar Pradesh pada hari Rabu (13/04) menangkap Bajrang Muni Das dari Maharishi Shri Laxman Das Udasi Ashram, beberapa hari setelah dia diduga membuat pidato kebencian dan mengeluarkan "ancaman pemerkosaan" di Sitapur, ungkap PTI.
Dia diduga membuat pidato kebencian terhadap orang Muslim pada 2 April. Sebuah video kemudian muncul di platform media sosial.
Dalam video berdurasi dua menit dari pidato yang dibuat di luar masjid, dia terdengar menggunakan istilah "jehadi" untuk merujuk pada sebuah komunitas dan mengancam mereka jika ada gadis Hindu yang dilecehkan oleh pria mana pun dari komunitas itu, dia akan memperkosa perempuan mereka.
Sebuah video dia meminta maaf atas pernyataannya tersebut muncul pada Jumat pekan lalu (08/04), beberapa jam setelah polisi membuat laporan penyelidikan atas kasus itu.
Namun, penundaan atas penangkapan Bajrang itu telah mengundang pertanyaan sejumlah kalangan.
Ujaran kebencian telah menjadi masalah di India selama beberapa dekade.
Pada 1990, beberapa masjid di Kashmir menyiarkan pidato-pidato yang menghasut orang-orang untuk membenci umat Hindu. Hal itu kemudian memicu eksodus umat Hindu dari Lembah Kashmir yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Pada tahun yang sama, pemimpin BJP LK Advani mempelopori sebuah gerakan untuk membangun sebuah kuil di kota Ayodhya. Akibatnya, massa Hindu menghancurkan masjid Babri yang berusia berabad-abad dan memicu kerusuhan komunal yang mematikan.
Munculnya media sosial telah membantu memperkuat ujaran kebencian.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, skala permasalahannya semakin meningkat. Orang-orang India secara teratur dibombardir dengan ujaran kebencian dan konten polarisasi.
Ditambah lagi media sosial dan saluran TV yang justru semakin menonjolkan ujaran kebencian tersebut, termasuk cuitan politisi-politisi tak ternama - yang banyak dianggap sebagai cara termudah untuk menjadi berita utama.
Retorika kebencian tampaknya sudah "menjalar" dan "tanpa henti", seperti yang dikatakan ilmuwan politik Neelanjan Sircar.
"Sebelumnya, ujaran kebencian biasanya akan meningkat menjelang pemilihan umum. Namun, sekarang, dengan lanskap media kita yang berubah, para politisi telah menyadari bahwa pernyataan ofensif di satu negara bagian dapat diperbesar demi keuntungan politik instan di negara bagian lain," katanya .
Pada Januari, saluran berita NDTV melaporkan bahwa pernyataan ofensif yang dibuat oleh politisi ternama India, termasuk menteri dan anggota parlemen, telah meningkat dan berlipat ganda sejak pemerintah nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa pada 2014.
NDTV sendiri mulai menemukan ujaran kebencian pada pidato VIP 2009 lalu.
Beberapa pemimpin BJP - termasuk seorang menteri federal - dituduh lolos dari ujaran kebencian. Beberapa politisi oposisi, seperti anggota parlemen Asaduddin Owaisi dan saudaranya Akbaruddin Owaisi, juga dituduh menyampaikan pidato ujaran kebencian.
Keduanya menyangkal tuduhan itu dan Akbaruddin Owaisi dibebaskan dalam dua kasus ujaran kebencian sejak 2012, pada Rabu.
Pimpinan oposisi Akbaruddin Owaisi (tengah) dibebaskan dalam dua kasus ujaran kebencian.
Para ahli mengatakan India memiliki undang-undang yang cukup untuk mengusut ujaran kebencian.
"Tetapi mereka meminta eksekutif untuk menegakkannya dan seringkali mereka tidak mau bertindak," kata Anjana Prakash, seorang advokat senior yang telah mengajukan permohonan di Mahkamah Agung untuk menuntut tindakan terhadap beberapa pemimpin agama Hindu yang menyerukan kekerasan terhadap Muslim dalam sebuah acara di negara bagian Uttarakhand, Desember lalu.
India tidak memiliki definisi hukum untuk ujaran kebencian. Namun sejumlah ketentuan pada beberapa undang-undang melarang bentuk-bentuk ucapan, tulisan, dan tindakan tertentu sebagai pengecualian terhadap kebebasan berbicara.
Ini termasuk memidanakan tindakan yang dapat memantik "permusuhan antara kelompok yang berbeda atas dasar agama" dan "tindakan jahat yang disengaja", yang bertujuan membuat kemarahan umat dari kelas mana pun dengan menghina agama atau keyakinan agamanya".
Masalah ujaran kebencian sering muncul di pengadilan India. Namun, sebagian besar peradilan berhati-hati dalam memberlakukan pembatasan kebebasan berbicara.
Banyak pemimpin BJP, termasuk salah satu menteri dalam pemerintahan Modi, dituduh melakukan ujaran kebencian.
Pada 2014, saat sidang petisi yang meminta Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman untuk mengekang ujaran kebencian yang dibuat oleh para pemimpin politik dan agama, pengadilan mengakui dampak buruknya terhadap orang-orang, tetapi menolak untuk melampaui cakupan undang-undang yang ada.
"Ada keinginan untuk menempatkan larangan yang masuk akal pada tindakan yang tidak beralasan, tetapi mungkin timbul kesulitan dalam membatasi larangan pada beberapa standar yang dapat dikelola," kata pengadilan.
Sebaliknya, pengadilan meminta Komisi Hukum - sebuah badan independen para ahli hukum yang memberikan saran ke pemerintah - untuk memeriksa masalah ini.
Dalam laporannya yang diserahkan kepada pemerintah pada 2017, komisi tersebut merekomendasikan untuk menambahkan ketentuan terpisah ke KUHP India, yang secara khusus mengkriminalisasi ujaran kebencian.
Namun, banyak ahli hukum menyatakan keprihatinanan atas amandemen yang diusulkan.
"Manfaat undang-undang untuk secara khusus mengidentifikasi atau memperluas definisi ujaran kebencian mungkin menjadi kecil ketika apa yang memenuhi syarat sebagai ujaran kebencian sudah dikriminalisasi," kata Aditya Verma, praktisi hukum di Mahkamah Agung.
Kekhawatiran yang lebih besar, katanya, adalah otonomi kelembagaan.
Dia mengutip contoh Inggris, di mana polisi bisa mendenda pejabat tinggi pemerintah - termasuk Perdana Menteri Boris Johnson - karena menghadiri pesta yang melanggar aturan Covid.
Namun di India, tidak jarang lembaga negara seperti polisi enggan menjalankan tugasnya karena tekanan politik.
"Mungkin ada wilayah abu-abu dalam hukum, tetapi yang lebih penting di sini adalah hukum yang sudah mapan pun tidak diterapkan," kata Verma.
"Pelalaian tugas" ini, seperti yang digambarkan Prakash, memiliki konsekuensi serius.
"Kecuali Anda menghukum pembuat pidato yang menghasut, bagaimana hukum bisa bertindak sebagai pencegah?" dia bertanya.
Ada juga biaya yang lebih besar dan lebih menyakitkan yang harus dibayar ketika retorika kebencian dinormalisasi.
"Ketika lingkungan menjadi tidak menyenangkan, orang-orang mulai terintimidasi dan takut sehingga mereka berpikir dua kali sebelum terlibat dalam aktivitas sosial dan ekonomi yang normal," kata Sircar.
"Itulah dampak yang sebenarnya."