Ini Kapal Selam Nuklir AS Pertama yang Jelajahi Dunia di Bawah Es Arktik

Konten Media Partner
2 Juli 2022 13:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
USS Nautilus, kapal selam nuklir pertama milik AS yang berlayar di bawah lapisan es ke Kutub Utara.
zoom-in-whitePerbesar
USS Nautilus, kapal selam nuklir pertama milik AS yang berlayar di bawah lapisan es ke Kutub Utara.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun 1958, sebuah kapal selam milik AS menjadi kapal pertama yang mencapai Kutub Utara - melakukan perjalanannya di bawah lapisan es. Misinya membuka dunia baru untuk dijelajahi para ilmuwan.
Pada 3 Agustus 1958, komandan kapal selam nuklir pertama di dunia membuat catatan tak biasa, dan sedikit bercanda, dalam buku lognya: "Menaikkan ke kapal satu orang di Kutub Utara…" tulis komandan USS Nautilus, William Anderson, "...Santa Claus, afiliasi: Natal."
Demikian kalimat terakhir dari catatan perayaan setelah USS Nautilus berhasil menyeberangi kutub utara. Misi perdana dari kapal selam nuklir pertama di dunia itu adalah misi rahasia dengan nama sandi 'Operation Sunshine'.
Perjalanan itu dilakukan dengan kapal selam sepanjang 97 meter dan 116 awaknya (tidak jelas dalam buku catatan apakah itu termasuk Santa), sepenuhnya tenggelam di bawah lapisan es. Ini adalah sebuah prestasi yang mustahil sebelum penemuan propulsi bertenaga nuklir kompak.
Seperti yang diumumkan Anderson kepada krunya: "Untuk dunia, negara kita, dan angkatan laut - Kutub Utara."
Sebelum Nautilus, kapal selam harus muncul ke permukaan, atau setidaknya menaikkan snorkel ke atas permukaan laut untuk mengambil udara yang dibutuhkan mesin diesel dan mengisi baterai untuk penggerak listrik.
Tetapi dengan reaktor nuklir, Nautilus tidak perlu melakukan itu.
Faktanya, Nautilus sudah berada jauh di bawah permukaan air selama tiga hari sebelum mencapai Kutub dan tidak sekalipun muncul ke permukaan hingga di dekat pantai Greenland, pada 7 Agustus 1958.
Ini artinya, Nautilus telah menghabiskan seminggu di bawah ombak dingin dan es yang membeku.
Presiden AS Dwight D Eisenhower mengirimkan ucapan selamatnya kepada para awak kapal atas "pencapaian luar biasa".
Lapisan es di Kutub Utara.
Ia meyakini bahwa misi pelayaran itu akan merevolusi cara beroperasi kapal selam dan peperangan di masa depan.
"Pelayaran itu adalah demonstrasi yang mengesankan dari sebuah revolusi dalam perang maritim," kata Kapten Justin Hughes, pensiunan komandan kapal selam nuklir untuk Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan sekarang sekretaris kehormatan Museum Kapal Selam Angkatan Laut Kerajaan Inggris.
"Ini memberi bukti bahwa kapal selam bertenaga nuklir dapat beroperasi di bawah air, sehingga tak terdeteksi, untuk misi yang lama."
Sekarang ini, kapal selam bertenaga nuklir dapat berada jauh di bawah permukaan laut selama berbulan-bulan. Ini menjadikannya sebuah senjata penghancur dan pertahanan yang tersembunyi, kerap kali memuat torpedo dan rudal nuklir.
Sejak 1969, misalnya, Inggris selalu memiliki setidaknya satu kapal selam yang membawa senjata nuklir di laut - peran yang saat ini dilakukan oleh kapal kelas Vanguard-nya.
Misi Nautilus, selain merupakan ajang pembuktian potensi militer kapal selam nuklir, juga menjadi tonggak sejarah ilmiah, yang membantu menyiapkan panggung untuk era baru eksplorasi dan penemuan tentang dunia aneh di bawah lapisan es Arktik.
Namun, bahkan hingga sekarang, misi pelayaran di bawah es-es Arktik bukanlah hal yang rutin dilakukan.
"Tantangan operasi kapal selam di lingkungan ini tidak boleh diremehkan," kata Hughes.
Selain serpihan-serpihan es yang dapat mengganggu instrumen sonar, kru juga harus siap menghadapi masalah yang disebabkan oleh kondensasi.
Kemudian ada keadaan isolasi total dan keheningan yang nyaris absolut.
"Lebih mendasar lagi, jika terjadi keadaan darurat di atas kapal seperti banjir, kebakaran, atau kehilangan tenaga, ada bermeter-meter lapisan es Arktik di antara kapal selam dan udara segar," jelas Hughes.
"Semua ini butuh konsentrasi yang tinggi. Misi pelayaran di bawah es harus dilakukan dengan tingkat kesiapan kru yang tinggi untuk menanggapi keadaan darurat. Ini mengharuskan awak kapal selalu siaga."
Beberapa orang mungkin tidak terlalu senang bekerja di bawah bermeter-meter es, tapi yang lain memandang dengan iri.
Untuk para ahli kelautan, kapal selam menyediakan platform yang sempurna untuk menggali pengetahuan tentang Arktik.
"Saya selalu terpesona dengan kapal selam," kata Jamie Morison, sekarang seorang ahli kelautan senior di Pusat Sains Polar di Seattle.
Pada 1980-an, Morison mengerjakan sebuah proyek yang menyebarkan pelampung dari kapal selam milik Angkatan Laut AS untuk mengumpulkan data laut.
Dia harus mengunjungi galangan kapal untuk membantu menyesuaikan peralatan ilmiah.
"Saya selalu berangan-angan untuk bisa bekerja dengan kapal selam," kata dia.
Akhirnya pada tahun 1993, bersama enam rekannya, dia diberi kesempatan tersebut. "Itu," katanya, "adalah mimpi yang menjadi kenyataan."
Ekspedisi Morison di bawah es Arktik dilakukan di USS Pargo, kapal selam serang bertenaga nuklir sepanjang 89 meter (294 kaki).
Pelayaran ini diatur melalui sebuah inisiatif dan disusun oleh seorang mantan kapten angkatan laut, yang disebut Submarine Arctic Science Program (Scicex).
Ketua komite penasihat Scicex saat ini, Jackie Richter-Menge dari University of Alaska, mengatakan penyelidikan soal cakupan dan ketebalan es Arktik, arus laut dan lanskap dasar laut saling menguntungkan bagi para ilmuwan dan awak kapal selam.
"Para ilmuwan belajar tentang Samudra Arktik dan angkatan laut belajar lebih banyak tentang lingkungan tempat mereka beroperasi," katanya.
"Kapal selam memberikan kita akses unik ke lingkungan yang keras dan itu termasuk memahami berbagai hal saat ini, dan juga mampu memahami seperti apa lingkungan di masa depan."
Namun tantangan nyata dalam menyatukan para ilmuwan dan militer adalah bahwa kapal selam beroperasi pada misi super rahasia dan para ilmuwan suka mempublikasikan data mereka secara terbuka untuk dilihat semua orang di dunia.
Ketika data berpotensi mengungkapkan detail operasional atau navigasi militer, dapat dimengerti mengapa ada penolakan untuk berbagi.
"Ada jeda waktu antara mengumpulkan dan merilis data apa pun," kata Richter-Menge. "Dan data posisi adalah apa yang mereka sebut 'sedikit membingungkan'.
"Jadi ini adalah keseimbangan antara memberikan data yang berharga bagi komunitas ilmiah tanpa mengungkapkan informasi posisi."
Jadi, ketika palka ditutup dan kapal menyelam di bawah ombak, apakah misi sains bawah laut Morison sesuai dengan harapannya?
"Saya menemukan semuanya menarik," katanya.
"Satu-satunya ruang di mana saya bisa melakukan sains adalah di ruang torpedo, jadi mereka memindahkan torpedo dan saya memasang instrumen sains di sebuah bangku di sana."
"Sementara itu, ada 20 torpedo, masing-masing dengan bahan peledak tinggi seberat 909kg bahan peledak tinggi di sebelah saya," tambahnya.
"Saya seperti berada di dalam silinder revolver. Seluruh mesin ini adalah senjata - ada reaktor nuklir di ruangan sebelah, bermeter-meter jauhnya di bawah permukaan laut dan itu sangat mendebarkan!"
Siapa pun yang melakukan perjalanan di kapal selam harus bisa bekerja dalam ruang sempit.
"Sepertinya orang-orang yang bekerja di dalam kapal selam harus memiliki sikap dasar sopan. Saya belum pernah mendengar orang bilang 'permisi' sebanyak yang saya dengar di kapal selam, karena kemana pun Anda pergi, pasti Anda harus berdesakan dengan orang lain," kata Morison.
"Pada saat yang bersamaan, semua orang ini adalah pejuang."
Tapi, dia melanjutkan, tidak semua orang bisa langsung beradaptasi dengan baik.
"Saya melihat salah satu rekan saya tidur di ruang torpedo. Dia hanya mengenakan jaket dan tidur meringkuk di lambung kapal," kata Morison.
"Saya bertanya kepadanya, apa yang terjadi. Dan dia bilang, 'suatu malam saya merangkak ke tempat tidur saya, melihat bentuknya, dan berkata pada diri sendiri: benda ini seperti peti mati', dan sejak saat itu dia tidak bisa tidur di ranjangnya."
Kapal selam Soviet mengikuti jejak USS Nautilus, juga mencapai Kutub Utara yang membeku.
Sepanjang misi perjalanan ini, para ilmuwan mengukur suhu, salinitas, dan kedalaman air.
Sonar memberi mereka informasi ketebalan dan topografi es dan dasar laut, dan mereka menggunakan instrumen untuk melacak arus laut. Ini adalah pertama kalinya seseorang mempelajari area dengan tingkat sedetail ini, dan mereka terkejut.
"Kami menemukan segmen di tengah Samudra Arktik yang menunjukkan peningkatan salinitas dan suhu di bagian atas 200m (660 kaki)," kata Morison.
"Pengetahuan ini mengubah kehidupan profesional saya sejak itu karena kami kemudian mencoba mencari tahu mengapa itu terjadi."
Wilayah ini adalah tempat perairan di mana lautan Atlantik dan Pasifik bertemu dan bersirkulasi.
Memahami bagaimana setiap perubahan mempengaruhi luas dan ketebalan es laut memiliki implikasi penting untuk prediksi perubahan iklim.
Bahkan, Morison sedang memimpin sebuah konferensi untuk membahas temuan terbaru tentang ini pada bulan Juni.
Meskipun program Scicex AS masih beroperasi, dan data ilmiah masih terus dikumpulkan dan dibagikan, para ilmuwan tidak lagi dapat bergabung dengan awak kapal selam.
Morison menganggap dirinya beruntung terutama karena - seperti Santa di USS Nautilus, rupanya - dia juga akhirnya harus keluar dari Kutub Utara.
"Kapal selam ini dilengkapi dengan sirip di menara conning yang bisa membalik 90 derajat untuk menembus es seperti pisau ketika muncul di antara gumpalan es yang terapung," jelas Morison. "Hanya dengan begitu kru mendapatkan 'kebebasan es' dan bisa keluar ke es."
Setelah memecahkan setiap rekor kecepatan dan daya tahan kapal selam, USS Nautilus melakukan pelayaran terakhirnya pada tahun 1979 dan sekarang dibuka di Connecticut sebagai bagian dari museum maritim.
Peranannya lebih lanjut dari misi di Arktik tetap dirahasiakan.
Selama penelitiannya, Morison telah mengunjungi Kutub Utara sekitar 15 kali - meskipun semua perjalanannya dilakukan melalui udara, kecuali satu kali ekspedisi yang mendebarkan di bawah es itu.
--
Versi bahasa Inggris artikel ini berjudul The record-breaking dive under the Arctic ice dapat Anda baca di BBC Future.