Kasus Pemaksaan Jilbab di Jawa Tengah Ditangani dengan Mediasi Polisi

Konten Media Partner
15 November 2022 7:30 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi
Pihak sebuah sekolah menengah atas negeri di Sragen, Jawa Tengah, dipanggil ke kantor polisi, pada Selasa (15/11), setelah muncul laporan perundungan terhadap seorang pelajar putri yang diduga dipaksa menggunakan jilbab.
Pelajar berinisial S itu, menurut orang tuanya, mengalami susah tidur dan hilang nafsu makan karena perundungan tersebut. Orang tuanya mempertimbangkan untuk memindahkan dia ke sekolah lain.
Pada kasus lain, terjadi pelarangan pemakaian jilbab di Gunung Sitoli, Sumatera Utara, tahun ini.
Dua kasus ini menambah panjang daftar pemaksaan jilbab serta pelarangan jilbab di institusi pendidikan, yang disebut Lies Marcoes selaku cendekiawan Islam, sebagai “sama-sama pelanggaran hak asasi manusia”. Dia memperingatkan konservatisme di Indonesia makin menguat.
Human Right Watch (HRW) mengklaim laporan kasus terkait jilbab hampir tiap hari, dan mengkhawatirkan pergeseran makna jilbab menjadi lambang kediktatoran seperti di Iran.
Baca Juga:
SMA N 1 Sumberlawang, Sragen diduga menjadi lokasi perundungan terhadap siswa berinsial S.
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sumberlawang, Suranti Tri Umiatsih, mengatakan pihaknya sudah meminta maaf kepada keluarga korban perundungan siswa berinisial S karena tidak berjilbab.
“Sudah, langsung [ke rumah]. Begitu ada laporan, gurunya [pelaku] itu saya konfirmasi, apakah benar aduan ini. Terus kami mengumpulkan teman-teman, ada saya, guru BK dan guru bersangkutan untuk bersama-sama ke rumahnya minta maaf dan jalan damai kekeluargaan begitu,” kata Suranti.
Suranti mengklaim kasus perundungan kepada S baru pertama kali terjadi di sekolahnya. ”Sebelumnya belum pernah,” katanya kepada wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Permintaan maaf tersebut dilanjutkan dengan deklarasi gerakan sekolah anti-perundungan. Suranti pun mengaku pasca kasus tersebut pihak sekolah melakukan tindakan proaktif menindaklajuti kasus tersebut.
Polres Sragen memanggil guru yang diduga melakukan perundungan kepada siswa S pada Selasa (15/11).
“Kami mohon kerjasama dengan polres untuk segera dimediasi saja tidak usah berlama-lama agar cepat selesai [kasusnya],“ kata Suranti yang menambahkan dari kasus ini ia berjanji akan melakukan pencegahan dengan melakukan pembinaan di sekolahnya dengan melibatkan ahli.
Sejauh ini belum ada keterangan lebih lanjut dari Polres Sragen.

Bagaimana kronologi kasus ini?

Ilustrasi
Menurut keterangan ayah korban, peristiwa ini berawal pada 3 November lalu.
Saat itu putrinya S yang berusia 15 tahun mendapat tekanan dari guru matematika.
“Anak saya telepon, kebetulan dua anak saya di situ dan satu meja [satu kelas],“ kata ayah S.
"Kebetulan anak saya yang satu jilbaban (SR), yang satunya tidak (S). Dari situ anak saya yang satunya telepon, kalau S menangis dimarahin pak guru.”
Putrinya yang bernama SR itu pun mengirim foto ke telepon seluler miliknya terkait kondisi S.
Ia masih beranggapan bahwa tangisan putrinya itu wajar sebagai siswa yang dimarahi gurunya. Tapi dia kaget ketika putrinya kembali menelpon dan memberikan rekaman suara gurunya yang sedang marah.
“Jadi anak saya itu ditanya, ‘kamu salat ke masjid tidak?’ dengan nada tinggi dan intonasinya intimidatif banget. Terus dia nyuruh anak saya berjilbab. Kalau berjilbab harus yang gede [besar], terus disuruh tobat di depan teman-temannya.
"Guru matematika itu juga bilang matematika nggak penting, yang penting itu perintahnya Allah,” kata ayah S menirukan ucapan guru tersebut.
Mendapat tekanan tersebut kemudian S ketakutan dan minta pulang lebih awal. Namun saat di ruang guru BK, putrinya itu kembali mendapatkan pertanyaan yang disebut bernada diskriminatif dari guru lainnya.
“Saat dia di BK, minta izin ke guru BK kan dikasih izin itu. Ada guru lagi datang. Nanyanya rasis sekali, ‘S itu agamanya apa? Islam kok nggak pakai jilbab, belum dapat hidayah po?’. Saya nggak habis pikir. Ini sekolah negeri yang harusnya memberikan keleluasan perbedaan tetapi malah intoleran,” ujar dia.
Beberapa hari setelahnya, pihak sekolah meminta maaf dan mendeklarasikan gerakan anti perundungan. S sempat kembali ke sekolah, akan tetapi ia kembali mendapat perundungan. Kali ini dilakukan kakak kelas.
“Waktu deklarasi ikut. Terus besoknya masuk dan di-bully lagi (oleh) teman-teman kakak kelasnya. Dari kejadian itu kan di Instagram ramai, terus kakak kelasnya baca komen yang menyudutkan kami di samping kelasnya sambil teriak-teriak ngakak. S pun nangis dan minta pulang,” kata sang ayah.
Selain teman sekolah, Agung membeberkan sebelumnya juga ada seorang guru perempuan yang mendatangi putrinya ke ruang kelas. Guru yang mengampu mata pelajaran IT tersebut, menurut dia, malah tanpa basa-basi langsung menanyakan terkait agama yang dianut putrinya.
Pertanyaan itu muncul disebabkan S yang masih duduk di kelas I memang tidak memakai jilbab saat bersekolah.
“Guru IT kalau nggak salah nanya ‘Agamamu apa?’. Dia nanyanya ‘kenapa kamu tidak berjilbab?' Dengan teriak-teriak lebih dari empat kali. Tapi apakah suatu keharusan (berjilbab) di sekolah negeri?” ujar Agung.

Anak stres dan tidak doyan makan

Ilustrasi
Pada saat perundungan itu terjadi, ia mengaku putrinya masih bersemangat untuk masuk berangkat sekolah. Tetapi pascaperundungan yang bertubi-tubu pada pekan lalu menyebabkan kedua putrinya tidak mau berangkat sekolah sampai sekarang.
Putrinya S merupakan yang paling terdampak tekanan psikis akibat kasus perundungan di sekolah.
“Anaknya stres, tidak bisa tidur dan paling cepat tidur jam 01.30 WIB, nglindur (mengigau), tidak doyan makan. Tapi kini mulai membaik setelah teman-teman sekelasnya memberikan support. Datang ke rumah bikin tulisan tangan untuk support mereka. Ayolah masuk lagi, ayolah semangat,” ucapnya.
Walau demikian, ayah S masih mempertimbangkan untuk memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Sebelum peristiwa ini menjadi-jadi, ayah S mengakui pihak sekolah, termasuk guru yang melakukan perisakan pada putrinya, datang dan minta maaf.
“Tapi harus ada solusinya tidak seperti ini,” katanya menirukan pertemuan saat itu.
Pihak sekolah mengagendakan pertemuan dan dialog untuk pembinaan di aula sekolah pada hari Rabu (9/11). Tapi pertemuan dan dialog itu tak pernah ada.
Sehari sebelumnya, sekolah justru mendeklarasikan anti-bullying, dan membentuk tim anti-bullying.
"Mereka tidak ngasih kesempatan ke saya ngapain? Padahal malamnya saya diminta [hadir dan bicara],” jelasnya.
Oleh karenanya, Agung melaporkan kasus dugaan perundungan yang menimpa putrinya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sragen.
“Kalau laporan itu bukan saya minta adanya penegakan hukum atau kita mau punishment ke seseorang. Tapi saat ruang dialog itu mentok dan tidak pernah terjadi, saya gunakan polisi sebagai sahabat masyarakat yang tentunya pasti bisa menjembatani kami. Saya nggak minta apa-apa, saya minta dialog,” katanya.
Dalam laporan terpisah, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, berjanji akan memecat guru SMA Negeri 1 Sumberlawang yang diduga melakukan perundungan terhadap S – jika mengulangi perbuatannya.
"Sudah kita urus semua, kita urus. Gurunya untuk kita minta tanda tangan penyataan tidak akan mengulang, kalau tidak tak pecat," kata Ganjar seperti dikutip dari Kompas.

Seperti memutar kaset

Ilustrasi
Kasus dugaan pemaksaan jilbab di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, lembaga ini melaporkan kasus di Sragen bukan satu-satunya kasus pemaksaan siswa berjilbab atau dilarang untuk berjilbab.
KPAI mencatat sejak 2014 sampai dengan 2022, terdapat sejumlah kasus pelarangan jilbab bagi peserta didik yang  terjadi di sejumlah daerah, antara lain di Bali (2 kasus), SMAN di Maumere Sikka, NTT (1 kasus), SD Inpres di Wosi Manokwari, Papua (1 kasus), dan yang terbaru ada di SDN di Gunungsitoli, Sumatera Utara (1 kasus).
Sementara itu, kasus pemaksaan penggunaan jilbab terjadi di SMPN di Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur (1 kasus), SMAN di Rantah Hilir, Riau (1 kasus), SDN di Karang Tengah, Gunung Kidul (1 kasus), SMAN di Gemolong, Sragen (1 kasus), SMKN di Kota Padang, Sumatera Barat (1 kasus), SMAN di Banguntapan, Bantul (1 kasus), salah satu SMPN di Jakarta Selatan (2022).
“Padahal melarang maupun mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab merupakan pelanggaran hak-hak anak,” kata Anggota KPAI, Retno Listyarti dalam keterangan persnya.
Cendekiawan Islam, Lies Marcoes, juga sepakat bahwa mewajibkan atau melarang peserta didik berjilbab “sama-sama melakukan pelanggaran HAM”.
“Begitu jilbab menjadi wajib atas dasar agama, atau dilarang atas dasar peraturan sekuler. Itu sama-sama konteksnya melanggar hak asasi manusia,” kata Lies kepada BBC News Indonesia, Senin (14/11).

Mengapa jilbab dipersoalkan?

Jilbab merupakan identitas Muslim, yang penggunanya kerap mendapat intimidasi di negara-negara tertentu.
Lies Marcoes menilai jilbab dipersoalkan “karena efek tidak selesainya hubungan negara dan agama."
Saat negara Indonesia merdeka dengan meletakkan kebhinekaan sebagai dasarnya, unsur agama Islam tetap masuk dalam ruang negara. Misalnya, Undang Undang Perkawinan disebut Lies banyak mengadopsi dari Islam.
Tapi seiring berjalannya waktu, unsur dan simbol Islam seperti jilbab diatur berdasarkan “konteks politiknya”.
"Di era Orde Baru, apa-apa yang berbau agama itu dicurigai,” tambah Lies.
Sehingga pada masa tertentu di era Orde Baru, penggunaan jilbab dianggap sebagai sikap melawan rezim.
Tapi kemudian di masa-masa berakhir kekuasaannya, Soeharto merangkul kelompok Muslim. Manuver politik ini tak lepas dari kekuatan politik Soeharto yang makin tercekik karena masalah korupsi dan perekonomian.
“Soeharto mendekat ke umat Islam lewat Golkar. Lewat ICMI [Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia]. Kelas menengah Orde Baru yang moderat Islam, yang memberi masukan kepada Soeharto untuk mendekat kepada Islam,“ kata Lies.
"Soeharto naik haji sekeluarga. Mbak Tutut [Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana-putri pertama Soeharto] pakai jilbab."
“Jilbab menjadi simbol loyalitas pada orde baru… menjadi simbol kelas menengah yang loyal kepada Soeharto,” tambah Lies. Padahal sebelumnya penggunaan jilbab merupakan simbol perlawanan terhadap Orde Baru tapi berhasil di-hijack oleh Soeharto“.
Setelah itu, jilbab masuk dalam ruang bisnis dan fesyen.
"Di awal tahun 2000, simbol-simbol agama mulai masuk ke Istana, dan kelas menengah.”
Setelah Orde Baru tumbang, kekuasaan politik menyebar melalui otonomi daerah. Simbol-simbol agama, termasuk jilbab, menjadi komoditas politik di tingkat lokal.
“Karena perlu bagi pimpinan daerah, calon-calon anggota parlemen, itu memilih isu-isu yang populis. Isu keagamaan cukup populis, ketika ayunan kekuatan politik pada kelompok Islam makin menguat,” tambah Lies.
Selain itu, penggunaan jilbab pada perempuan Indonesia makin meluas karena adanya tafsir dominan atas penutup aurat perempuan yang disebut “wajib”.
Padahal sejumlah cendikiawan Islam seperti Quraish Shihab menafsirkan jilbab tidak wajib selama seorang perempuan menggunakan pakaian terhormat.
“Jilbab itu bukan kewajiban, bukan terkait dengan aib,” kata Lies yang juga mengakui bahwa jilbab merupakan identitas bagi umat Islam, yang juga menjadi pertarungan ketika mendapat pelarangan.
“Begitu jilbab menjadi wajib atas dasar agama, atau dilarang atas dasar peraturan sekuler. Itu sama-sama konteksnya melanggar hak asasi manusia.”
Bagaimana pun, kata Lies, ayunan politik saat ini "sedang ke kanan“. Perempuan-perempuan yang tidak menggunakan jilbab menjadi lebih tertekan karena koersi.
"Jadi yang nggak pakai [jilbab] yang menderita, menurut saya. Konservatisme itu makin kuat. Ditambah otoritarianisme, karena agama masuk ke dunia politik.”

Perempuan korban pertama

Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid juga menilai kasus pemaksaan berjilbab dan pelarangan berjilbab selalu berulang tak lepas dari faktor semakin menguatnya konservatisme.
Selain itu, kata dia, sistem desentralisasi mempengaruhi keberadaan mayoritas dan minoritas agama tertentu.
"Kalau dulu sebelum desentralisasi itu kan nasional, artinya, yang mayoritas orang Islam. Tapi sekarang, karena desentralisasi hitung mayoritas-minoritas per kabupaten," kata putri sulung dari Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid, kepada BBC News Indonesia.
Di saat mayoritas memaksakan minoritas yang dilatarbelakangi keyakinan yang ekslusif dari suatu agama-akan membuat larangan atau pemaksaan berjilbab terjadi di skup wilayah terkecil seperti kabupaten.
"Jadi, itu kita sebut sebagai mayoritanisme," kata Alissa Wahid.
Jika ini terus bergulir, dia menilai Indonesia akan menghadpi perpecahan agama.
"Padahal itu hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi untuk beribadah berkeyakinan menurut agama dan kepercayaannya. Itu jadi tidak terlindungi."
Alissa juga sepakat dengan Lies Marcoes, situasi kekinian keberagamaan di Indonesia makin keras apa yang ia sebut sebagai "ultra konservatif". Pandangan kolot tidak menerima perbedaan, dan memainkan peran pada relasi kuasa.
"Ketika ada keberagamaan yang ekslusif, bahkan ultra konservatif, itu hampir pasti perempuan dan anak menjadi korban pertama.
"Makanya sekarang kita melihat angka kekerasan seksual meningkat, angka kekerasan dalam keluarga meningkat, pemukulan kepada perempuan juga meningkat... Itu nggak lepas dari ultra konservatisme," jelas Alissa.

Puncak gunung es

Di sejumlah negara, Muslim yang menggunakan jilbab justru mendapat diskriminasi, termasuk di wilayah tertentu di Indonesia.
Analisis Lies Marcoes dan Alissa Wahid bukan isapan jempol belaka.
Sebab, kasus di Sragen, hanya satu dari laporan yang masuk ke Human Right Watch (HRW) karena sebagian besar tak berani melaporkan.
“Mereka yang melaporkan justru mendapat pembalasan yang lebih kejam. Ada yang dipaksa menulis surat pengakuan bahwa itu tidak terjadi. Ada yang diancam, anaknya dikeluarkan dari sekolah,” kata peneliti senior dari HRW, Andreas Harsono.
Andreas mengaku hampir tiap hari menerima laporan pemaksaan jilbab yang dialami anak atau perempuan dari seluruh Indonesia sejak lembaganya mengeluarkan penelitian tentang ketidakadilan aturan berpakaian bagi perempuan.
Andreas mengaku “kebanjiran laporan” dari pagi buta hingga dini hari. Ia pun “dianjurkan dokter untuk konsultasi dengan psikolog karena saya diduga menderita secondary trauma”.
“Soal jilbab ini saya jadi trauma, karena jumlahnya sangat besar,” katanya.
Dalam laporan tahun lalu, HRW mengidentifikasi setidaknya 150.000 sekolah di 24 provinsi Indonesia memiliki aturan tetang penggunaan wajib atau larangan jilbab bagi peserta didiknya.
Namun, kasus-kasus yang bermunculan belakangan ini justru berasal dari luar dari sekolah tersebut.
Dari aturan ini, menurut Andreas, negara telah melakukan pembiaran atas pelanggaran kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, sampai hak anak untuk pendidikan.
“Itu semua dilanggar oleh negara Indonesia,” katanya.
Aturan-aturan pengenaan jilbab di sekolah tersebut tak lepas dari regulasi di tingkat daerah, di mana HRW melaporkan lebih dari 60 peraturan daerah yang mengatur anak dan perempuan menggunakan jilbab.
“Kalau [aturan-aturan] itu nggak dicabut, nanti akan timbul citra yang jelek pada jilbab. Jilbab dianggap membatasi hak perempuan dalam dunia Islam,” tambah Andreas.

Simbol kediktatoran

Melepas jilbab di Iran menjadi gerakan melawan kediktatoran pemerintahan.
Aturan wajib menggunakan jilbab telah memicu protes yang meluas di Iran setelah seorang perempuan bernama Mahsa Amini meninggal dalam proses penahanan karena dituduh melanggar tata cara penggunaan jilbab.
Sejak kematian itu, pengunjuk rasa terus melakukan aksi protes dan menentang tindakan balasan mematikan pasukan keamanan - situs web Kantor Berita Aktivis Hak Asasi Manusia (HRANA) mengklaim 298 orang telah tewas dan lebih dari 14.000 ditangkap dalam protes di 129 kota pada 2 November.
“Jilbab itu dianggap lambang kediktatoran Republik Islam Iran. Jadi mumpung keadaan belum buruk seperti di Iran. Kami dari HRW minta pemerintah Indonesia, mencabut peraturan-peraturan wajib jilbab,” kata Andreas.
BBC News Indonesia telah menghubungi pejabat-pejabat dari kementerian pendidikan, kementerian dalam negeri, dan kementerian agama, namun tidak mendapat respons.
Namun, pada keterangan sebelumnya, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, mengklaim jika ada pihak yang dirugikan atau tidak setuju dengan aturan tersebut, bisa dibawa ke Mahkamah Agung.