Keluarga Buruh Migran yang Tewas pada Proyek Piala Dunia Qatar Mencari Jawaban

Konten Media Partner
20 November 2022 8:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keluarga Buruh Migran yang Tewas pada Proyek Piala Dunia Qatar Mencari Jawaban
zoom-in-whitePerbesar
Qatar telah membangun dan mengembangkan infrastruktur demi penyelenggaraan Piala Dunia yang akan dimulai Minggu (20/11). Lima juta orang dari Asia Selatan dipekerjakan untuk proyek pembangunan, termasuk dari Nepal - di mana terdapat keluarga yang mengatakan kepada BBC tentang saudara mereka tercinta yang tewas karena kegagalan keamanan saat bekerja.
Dini hari 10 November, maskapai Qatar airlines dengan nomor penerbangan QR 644 mendarat di Bandara Kathmandu, Nepal.
Di antara kargo yang dikeluarkan dari badan pesawat adalah kotak kayu berwarna putih besar.
"Tubuh manusia almarhum Umesh Kumar Yadav, pria 31 tahun, warga Nepal", tertulis di luar peti tesebut.
Di Golbazar, sekitar 250km bagian tenggara Kathmandu, ayahnya sedang mengikat kekang kerbau di luar rumahnya. Dia tinggal di salah satu distrik termiskin di salah satu negara termiskin di dunia, tempat peluang pekerjaan sangat langka.
Ketika anaknya, Umesh, ditawari pekerjaan untuk pergi dan bekerja di Qatar, salah satu negara terkaya di dunia, Laxman Yadav menjual sejumlah kerbaunya untuk membayar US$1.500 (Rp23 juta) kepada agen tenaga kerja yang berjanji akan mengatur pekerjaan anaknya.
Orang tua Umesh, Laxman dan Sumitra menjual ternaknya sebagai modal memberangkatkan putra mereka bekerja di Qatar.
Ini merupakan sesuatu yang umum di mana agen tenaga kerja mendatangi wilayah miskin bukan hanya di Nepal, tapi juga Bangladesh dan India.
Mereka menawarkan anak-anak muda pekerjaan yang menguntungkan di luar negeri, dengan imbalan uang dalam jumlah besar untuk jaminan visa mereka.
Namun, para buruh migran ini kerap berpindah kontrak kerja. Hal ini membuat keluarga kesulitan mengetahui di mana mereka bekerja dan untuk siapa.
Baca Juga:
Di tempat lain, tepatnya di Distrik Dhanusha, terdapat rumah Krishna Mandal.
Ayahnya, Sitesh, pergi bekerja ke Qatar empat tahun lalu.
Kadang-kadang, Sitesh mengirimkan swafoto kepada anaknya saat sedang bekerja.
"Dia mengatakan kepada saya, dia bekerja di bagian tangki air, tapi tidak memberi tahu lebih banyak apa yang ia kerjakan," kata Krishna.
Sitesh dijadwalkan akan kembali ke kampung halamannya pada 12 Oktober. Tapi hanya beberapa hari sebelum itu, Krishna mendapat panggilan telepon yang mengabarkan bahwa ayahnya tewas dalam sebuah kecelakaan.
Seorang kerabat keluarga mengatakan, Sitesh tewas saat sedang mengerjakan pipa limbah dengan kedalaman tujuh kaki di bawah tanah di Kota Doha. Ia tertimbun gundukan tanah.
Dalam keterangan surat kematiannya disebutkan Sitesh mengalami "beberapa luka akibat benturan benda berat".
Krishna mengatakan dia tidak menerima satu pun panggilan telepon dari si pemberi kerja, atau tawaran kompensasi. BBC telah menghubungi perusahaan tempat Sitesh bekerja untuk memintai tanggapan, tapi mereka tidak merespon.
Sitesh, yang pindah ke Qatar empat tahun lalu, mengirim swafoto pada putranya dari tempat kerja.
Dari Golbazar, Laxman tidak tahu banyak tentang putranya yang tinggal di Qatar - dia tidak punya ponsel, dan tak bisa mengikuti berita terbaru dari Umesh melalui unggahan di akun TikTok-nya.
Dalam rekaman videonya, Umesh tampak menari-nari di depan gedung pencakar langit di Qatar atau tempat asramanya bersama dengan pekerja migran lainnya.
Umesh juga membagikan potongan video dirinya di lokasi konstruksi - tersenyum dari atas tangga, atau bahkan - dengan gaya TikTok - mengangkat balok beton yang berat sebagai tantangan.
Pada 26 Oktober, Umesh mengunggah sebuah video dirinya menari di malam hari di depan beberapa gedung pencakar langit yang menampilkan iklan Piala Dunia.
Itu adalah unggahan terakhir Umesh.
Sepupu Umesh, yang juga dipanggil Laxman [seperti nama ayahnya Umesh] juga bekerja di Qatar. Ia mendapat panggilan telepon pada 27 Oktober yang mengabarkan Umesh meninggal. Lalu, dia pergi ke lokasi konstruksi tempat Umesh bekerja, untuk mencari tahu bagaimana sepupunya itu bisa tewas.
"Mereka mengatakan kepada kami, Umesh saat itu sedang naik perancah, kemudian perancah itu menyentuh sesuatu dan patah, kemudian ia jatuh," katanya.
Sebuah foto yang dikirim ke sepupu Umesh menunjukkan perancah yang patah di sisi sebuah bangunan.
"Mereka semestinya mengutamakan keselamatan di tempat kerja," kata Laxman. "Mereka semestinya memeriksa semuanya, dan kemudian baru boleh mengizinkan orang untuk bekerja."
BBC telah menghubungi perusahaan konstruksi tempat Umesh bekerja - mereka menyangkal adanya kegagalan prosedur keselamatan telah menyebabkan kematian Umesh.
"Kecelakaan terjadi akibat kelalaian dan kecerobohan," kata pernyataan mereka. "Pekerja yang meninggal sangat tidak berhati-hati di lokasi, dan sudah diberi tahu berkali-kali untuk mematuhi prosedur keselamatan seperti rekan-rekannya yang lain, tapi diabaikan."
"Sejak konstruksi Piala Dunia dimulai di Qatar, muncul laporan tentang kondisi sulit dan kematian buruh migran.
Pemerintah Qatar mengatakan pihaknya berkomitmen untuk "memastikan kesehatan, keamanan, dan kehormatan semua buruh yang bekerja dalam proyek kami". Mereka mengatakan kepada BBC aturan kesehatan dan keselamatan telah diperbaiki.
Keluarga Umesh Kumar Yadav melakukan ritual pemakaman setelah peti jenazahnya tiba di Nepal.
Tapi angka terbaru yang diterima BBC dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan HAM menunjukkan bahwa akhir tahun lalu terjadi hampir 140 kasus pelanggaran hak pekerja, dan setengahnya terkait dengan isu kesehatan serta keselamatan.
Lembaga ini meyakini, angka sebenarnya mungkin lebih tinggi, karena para buruh takut untuk melaporkan.
BBC telah melihat lebih dari puluhan surat kematian buruh migran dari Asia Selatan dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Kebanyakan keterangan kematian akibat "beberapa luka lebam". Pihak keluarga menginginkan jawaban.
Sementara, peti jenazah Umesh bergerak dari bandara ke Golbazar. Ayahnya, Laxman dan puluhan warga desa bersiap untuk melakukan ritual terakhir - mengumpulkan kayu dan jerami untuk menyalakan api.
Di Nepal, tradisinya adalah putra tertua yang diprioritaskan menyalakan api. Laxman menggendong anak Umesh bernama Sushant, 13 bulan. Ia memasukkan tongkat ke tangan mungil bayi itu, agar bisa menyulut api.
"Dia biasa menafkahi kami. Kami punya utang yang harus dibayar, dan anak-anaknya masih kecil, masih memerlukan biaya," kata ibu Umesh, Sumitra dengan wajah penuh air mata. "Dia adalah pahlawan saya."