Kemenangan Orang Dayak Melawan Perusahaan Sawit, ‘Modal Belajar dari Penjara’

Konten Media Partner
25 Mei 2022 11:44 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rita Dihales memenangkan gugatan melawan PT Palmdale atas sengketa plasma sawit di Desa Teluk Bakung.
zoom-in-whitePerbesar
Rita Dihales memenangkan gugatan melawan PT Palmdale atas sengketa plasma sawit di Desa Teluk Bakung.
Bahkan ketika perusahaan sawit telah melaksanakan kewajiban hukumnya dalam kerja sama 'inti-plasma', banyak warga mengaku menerima bagi hasil sangat rendah, tidak ada sama sekali, atau berutang mencapai miliaran rupiah.
Lima petani di Desa Teluk Bakung, Kalimantan Barat, memutuskan menempuh jalur hukum dan menggugat perusahaan sawit dengan tuduhan ingkar janji membagi hasil kebun plasma - gugatan yang kemudian mereka menangkan.
Namun lebih dari 900 petani plasma lain dari desa itu masih terikat kontrak kerja sama 'inti-plasma' dengan perusahaan yang sama. Lebih dari satu dekade sejak perjanjian kerja sama plasma dengan skema 'satu atap' diteken, para petani di Teluk Bakung mengaku masih tak menerima untung.
Sementara utang dari bank yang dipakai untuk modal menggarap plasma telah mencapai Rp262 miliar, menurut dokumen koperasi yang kami peroleh. Ratusan orang melakukan protes untuk "menuntut haknya".
Di seluruh Indonesia, kisah serupa jamak terjadi. BBC, The Gecko Project, dan Mongabay berbicara kepada masyarakat yang mengaku telah dijanjikan kesejahteraan melalui plasma, namun justru mendapati diri mereka terlilit utang miliaran rupiah. Konflik pecah karena petani plasma merasa frustasi setelah lebih dari sepuluh tahun menanti bagi hasil dari perusahaan yang tak kunjung mereka terima.
Herkulanus Roby, warga Desa Teluk Bakung turut ikut berunjuk rasa menuntut perusahaan sawit transparan atas pembangunan plasma masyarakat. Roby adalah mantan karyawan PT Palmdale yang kini beralih profesi sebagai peternak ayam.
"Jelas saya menyesal, karena itu salah di mata hukum," kata Herkulanus Roby, petani plasma di Desa Teluk Bakung, Kalimantan Barat. "Namun di satu sisi, kami melakukan aksi karena ada kegelisahan. Hak kami dirampas oleh orang."
Pada 2019, Roby harus merasakan dinginnya lantai penjara. Ia dijebloskan ke sana setelah dituduh memimpin sekitar 500 petani berunjuk rasa ke kantor perusahaan sawit PT Palmdale Agroasia Lestari Makmur.
Para petani saat itu, menurut wawancara dengan warga dan catatan pengadilan yang kami peroleh, telah menyerahkan lahan mereka dan menunggu dengan sia-sia selama nyaris sepuluh tahun untuk menerima bagi hasil kebun plasma.
Mereka menyegel pintu kantor perusahaan dengan rantai yang dipasangi gembok. Ini adalah ritual adat Dayak, 'pamabakng', yang dimaksudkan untuk menghindari kekerasan. Segel tadi, seharusnya tak boleh dibuka sampai ada penyelesaian masalah.
Namun, ujung dari aksi unjuk rasa ini adalah pemenjaraan tiga warga Teluk Bakung. Roby dan satu orang lain dibui sepuluh bulan, sementara seorang lagi divonis empat tahun penjara.
Keluar dari penjara pada Maret 2020, diakui Roby sebagai masa terberat dalam hidupnya. "Buntu. Walaupun bahagia bisa pulang, namun bingung, mau kerja apa lagi."
Sebelumnya, Roby bekerja sebagai mandor kebun di PT Palmdale selama hampir sepuluh tahun, sampai dia bergabung dengan barisan pengunjuk rasa, kemudian kehilangan pekerjaannya.
Tangkapan layar YouTube DeFaisal Channel menunjukkan ratusan warga Desa Teluk Bakung melakukan aksi protes di kantor PT Palmdale pada 2019.
"Saya selaku pekerja, seharusnya tidak boleh [ikut demo]. Tapi sebagai petani plasma, ya saya harus memperjuangkan hak saya," katanya. "Tapi kami tidak mengetahui standar melakukan penuntutan hak kami, sehingga [terjadi tindak] pidana."
Di Teluk Bakung, PT Palmdale mulanya beroperasi sebagai anak perusahaan PT Gozco Plantations. Pada 2016, PT Gozco menjual perusahaan ini kepada PT Bangka Bumi Lestari senilai Rp300 miliar.
Total lahan yang tertanam sawit milik perusahan ini di Teluk Bakung per September 2016, menurut dokumen penjualan milik Gozco Plantation, mencapai 28.589 hektare. Sekitar 87% dari lahan tersebut adalah perkebunan sawit yang telah menghasilkan.
Dalam laporan transaksi tersebut juga disebutkan, PT Palmdale memiliki pinjaman bank beserta bunga sebesar Rp400 miliar.
Kami telah mengirimkan permintaan wawancara kepada PT Palmdale dan PT Bangka Bumi Lestari, tetapi tidak ada respons.

Berlarut-larut hingga puluhan tahun

Plang selamat datang di perkebunan PT Palmdale
Pada 2007, pemerintah mengeluarkan aturan yang mewajibkan perusahaan sawit memfasilitasi perkebunan masyarakat, atau plasma. Tujuannya, mengangkat kesejahteraan masyarakat, membangun kemandirian, serta mengurangi ketimpangan penguasaan lahan.
Kami menganalisis tuduhan-tuduhan publik yang dibuat terkait plasma yang terbit selama sepuluh tahun terakhir, dalam berbagai pemberitaan, makalah akademis, laporan kelompok HAM dan lingkungan, juga pernyataan dari situs pemerintah dan sumber-sumber online lain.
Investigasi kami menemukan lebih dari 200 anak perusahaan sawit dari nyaris semua korporasi besar di Indonesia telah dituduh ingkar janji atau gagal memenuhi kewajiban mereka memberikan bagi hasil perkebunan dengan warga.
Semua tuduhan ini dapat menjadi pertanda bahwa ada yang salah dengan kerja sama inti-plasma. Kami juga mendapati intervensi pemerintah dalam kasus-kasus terpisah dan usaha untuk mereformasi sistem ini secara nasional nyaris tak ada yang efektif.
Investigasi oleh BBC, The Gecko Project, dan Mongabay menemukan permasalahan terkait plasma menjadi tema yang terus muncul di industri sawit Indonesia dan banyak menjadi penyebab protes warga.
Di banyak tempat, konflik plasma berlarut-larut, beberapa bahkan mencapai puluhan tahun. Di Desa Teluk Bakung, misalnya, konflik telah berjalan setidaknya delapan tahun.
Pada 2009-2010, sebanyak 918 petani Teluk Bakung menandatangani perjanjian kerja sama plasma dengan PT Palmdale. Dalam kontrak yang salinannya kami terima, perusahaan menjanjikan bagi hasil panen sebesar 30% dari lahan yang diserahkan petani.
Di akad perjanjian selanjutnya pada 2011, juga disebut perusahaan sepakat membagi hasil mulai panen pertama, atau selambat-lambatnya empat tahun setelah penanaman sawit yang pertama. Jumlah yang diberikan sesudah dipotong biaya-biaya dan pembayaran pinjaman.
Namun, sejak panen perdana pada 2014, petani mengaku tak pernah mendapatkan apa-apa.
Pembersihan pelepah sawit
"Di situ kami sudah merasa bahwa kami sudah bukan siapa-siapa lagi," kata Rita Dihales, salah satu petani Teluk Bakung yang menandatangani perjanjian.
Sementara PT Palmdale terus mengangkut buah sawit dari perkebunan, petani plasma pemilik lahan hanya jadi penonton.
Pada 2017, mantan karyawan PT Palmdale menyatakan kepada pengadilan bahwa perusahaan itu tidak menghasilkan untung, oleh karena itu mereka tidak dapat memberikan bagi hasil.
Namun kepada kami, warga mengaku tidak diberi informasi berapa besar hasil perkebunan.
Natasius mantan kepala koperasi plasma desa Teluk Bakung mengaku sudah berkali-kali meminta transparasi kepada pihak manajemen PT Palmdale terkait dengan plasma masyarakat.
Natanius, mantan kepala koperasi plasma desa mengatakan, "Kita sudah berupaya untuk meminta transparansi dari pihak manajemen. Sayangnya, sampai hari ini pihak manajemen tidak transparansi terkait dengan hasil TBS [Tandan Buah Segar] kita."
Gelombang protes mulai muncul.
"Jadi, 2014 sampai 2015 kami melakukan aksi. Aksi itu juga luar biasa," kata Rita.
Sebelum protes ratusan petani yang membuat Roby dipenjara, Rita sudah terlebih dahulu menghabiskan malam di tahanan. Pada 2017, seorang diri Rita menahan truk PT Palmdale yang membawa lima ton buah sawit saat sedang melintas di depan rumahnya.
Ilustrasi Rita Dihales menghentikan truk PT Palmdale
"Saya berharap menahan mobil itu supaya ada manajemen yang datang. Tapi ternyata, saya dituduh [melakukan] perampasan. Perbuatan tidak menyenangkan," kata Rita.
Rita Dihales kemudian diseret ke meja hijau. Pengadilan Negeri Mempawah menjatuhkan vonis tiga bulan penjara. Tak puas dengan vonis tersebut, pihak penuntut umum mengajukan kasasi, menambah hukuman Rita menjadi enam bulan.
"Selama di penjara, saya hanya bisa merenung dan berpikir. Proses hidup ini memang keras. Selama ini kami mengandalkan Pemerintah Daerah Kubu Raya, ternyata kami tidak bisa mengharapkan," kata Rita.
Rita Dihales, salah satu petani Desa Teluk Bakung yang menggugat PT Palmdale terkait dengan persoalan plasma.
Dari balik jeruji, Rita menyusun strategi melawan balik perusahaan. Bersama empat petani plasma lain, ia melayangkan gugatan hukum.
"Boleh dikatakan, saya maju menggugat ini dengan modal belajar... Karena kami mencari keadilan bukan hanya sebatas demo, atau menggerutu ke pemerintah," katanya.
10 Agustus 2021, Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata mereka atas peninjauan kembali kasus wanprestasi PT Palmdale. Putusan pengadilan tertinggi ini menyatakan PT Palmdale ingkar janji dalam kesepakatan bagi hasil perkebunan sawit plasma kepada masyarakat.
Butuh bertahun-tahun untuk kepastian hukum ini, tapi Rita meyakini, ia telah menang.
Ilustrasi Rita Dihales dan empat petani memenangkan gugatan.

Mediasi yang seperti tak berarti

Sepuluh tahun setelah aturan yang mewajibkan plasma ditetapkan, pemberitaan tentang warga yang menuduh perusahaan sawit gagal melaksanakan kewajiban hukumnya umum muncul.
Namun belum pernah ada yang memotret apa yang mendasari protes-protes terkait plasma di seluruh Indonesia ini. Inilah yang kami coba lakukan.
Melalui basis data yang telah kami bangun, kami mendapati bahwa dalam periode tersebut tuduhan-tuduhan ditujukan pada lebih dari 200 perusahaan sawit terkait penyediaan plasma.
Data ini, meski mungkin memasukkan konflik yang telah terjadi di masa lalu, menunjukkan bahwa permasalahan plasma bukanlah kasus-kasus yang terpisah semata - melainkan problem sistemik yang dampaknya mungkin dirasakan di ratusan desa dan ratusan ribu orang di seluruh Indonesia.
Meski begitu, nyaris tidak ada penyelesaian konflik yang efektif.
Sebuah penelitian oleh akademisi Indonesia dan Belanda pada 2021 yang menganalisis 150 konflik lahan antara warga dengan perusahaan sawit di empat provinsi menemukan bahwa "mediasi informal dan negosiasi" adalah cara penyelesaian konflik yang paling sering dilakukan pemerintah.
Namun penelitian itu juga mencatat, intervensi tersebut kebanyakan gagal. Hanya 14% mediasi menghasilkan kesepakatan yang kemudian dijalankan.
Seorang pekerja sedang memanen buah sawit.
"Demonstrasi, mediasi dengan pemerintah lokal, pemerintah daerah, mengirim surat ke presiden… kemudian kasus akan diangkat oleh media, pemerintah memberi perhatian, tapi kemudian hilang lagi," kata Djayu Sukma Ifantara, dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) - organisasi untuk advokasi hak-hak adat di Indonesia.
Dari data kami, terdapat 15 kejadian di mana otoritas daerah mengancam akan mencabut izin perusahaan sawit bila tak memenuhi kewajiban plasma. Salah satunya, DPRD Sumatra Utara yang pernah mengancam cabut izin 19 perusahaan sawit bila tak sediakan plasma.
Namun apakah ancaman tersebut benar ditindaklanjuti saat perusahaan masih juga gagal menyediakan plasma, itu soal lain.
Kami mewawancarai 14 pejabat Dinas Pertanian dan Perkebunan dari tujuh provinsi, di mana pemberitaan tentang konflik plasma paling sering muncul.
Beberapa mengatakan mereka telah melakukan langkah tegas. Di Morowali Utara, Sulawesi, bupati memerintahkan pemberhentian sementara kegiatan perkebunan lantaran konflik dengan warga.
Seorang pengunjuk rasa menunjukkan ilustrasi tentang persoalan distribusi tanah petani. Salah satu tujuan plasma adalah mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan.
Di Ketapang, Kalimantan Barat, kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan menjatuhkan sanksi administrasi untuk memaksa perusahaan memenuhi 20% plasma seperti aturan - saat perusahaan hanya menyediakan 18% saja.
Tapi dua contoh ini adalah perkecualian. Kebanyakan otoritas daerah memilih pendekatan lebih lunak, yang melibatkan mediasi dan "mendorong" perusahaan untuk mematuhi aturan hukum.
"Jadi lebih pada persuasif dulu," kata Ujang Rachmad, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. "Menutup perusahaan itu bukan hanya sekadar menutup, tapi dampak sosialnya jadi besar sekali. Nah, kita harus mempertimbangkan semua hal tersebut."
Persoalan plasma juga ikut menyumbang konflik agraria di Indonesia.
Di Teluk Bakung, konflik antara warga desa dengan PT Palmdale juga sudah diketahui oleh pejabat setempat.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Agusrizal, mengaku telah mendapat 29 laporan keluhan masyarakat terkait plasma pada "triwulan September 2020".
Langkah yang ditempuh kemudian adalah, kata Agusrizal, "Kita fasilitasi untuk negosiasi ulang, memediasi pihak perusahaan dan masyarakat."
"Ketika tidak menemukan titik terang, bisa dibawa ke ranah hukum," kata Agusrizal lagi.
Namun jika warga hendak mengajukan gugatan hukum, pemerintah tidak akan memfasilitasi, kata pejabat lain.
Mustafa Idris, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Setda Kubu Raya memberikan penjelasan terkait dengan plasma warga Teluk Bakung.
"Jelas pemerintah itu berada di tengah. Ndak mungkin kita yang fasilitasi untuk itu. Silakan masyarakat yang dirugikan itu mengajukan proses di pengadilan," kata Mustafa Idris, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Setda Kubu Raya.
Bagi kebanyakan petani yang buta hukum, opsi ini bukan pilihan.
"Kami selaku masyarakat kecil, ingin juga melakukan seperti yang dilakukan oleh Pak Rita, namun apakah dalam hal ini kita kuat [membiayai]? Rasa-rasanya sebagai masyarakat kecil, apabila tidak didorong oleh pemerintah daerah untuk menuntut hak kami, ini tidak akan tercapai," ucap Roby.

'Utang, utang, utang'

Rita Dihales kini bisa melangkah dengan dagu terangkat di tanah miliknya.
"Saya senang, karena masalah saya dengan perusahaan [sawit] ini tidak saya wariskan. Cukup saya yang menyerahkan, saya yang menyelesaikan. Anak cucu saya tidak boleh mendapat masalah seperti ini," kata Rita.
Ia menunjukkan sebuah spanduk yang dipatok memblokade jalur distribusi sawit PT Palmdale.
"Kami yang pasang di sini. Maknanya, bahwa [setelah] proses acara perdata, tanah ini benar-benar punya kami," kata Rita tersenyum.
Spanduk ini dipasang di tengah-tengah perkebunan sawit PT Palmdale. Tanah ini menurut pengadilan adalah sah milik lima petani yang mengajukan gugatan.
Meski Rita dan empat rekannya telah menang di pengadilan perdata, konflik belum berakhir bagi petani plasma lain di Desa Teluk Bakung.
Berdasarkan SK Bupati Kubu Raya Nomor 244 Tahun 2011, ada 918 petani Desa Teluk Bakung yang mengikat perjanjian dengan PT Palmdale, termasuk Rita dan empat petani lain yang kini sudah lepas dari kontrak.
Dengan demikian, lebih dari 900 petani plasma Desa Teluk Bakung masih terikat perjanjian dengan perusahaan, termasuk Roby.
Kontrak yang mereka sepakati itu adalah bentuk kerja sama inti-plasma dengan model manajemen yang dinamai 'satu atap'. Dalam pola ini, kebun plasma dikelola seluruhnya oleh perusahaan, dari pembukaan lahan hingga proses penanaman kembali.
Dusun Loncek tempat tinggal Natasius dan Roby, berdekatan dengan lahan konsesi PT Palmdale
Sementara, masyarakat yang telah menyerahkan lahan tak punya peran aktif. Mereka sedianya tinggal menunggu pembagian hasil saja. Namun seluruh biaya untuk plasma, ditanggung oleh petani melalui pinjaman bank.
"Kami ditawarkan pola 70-30. Dari luas lahan yang diserahkan, 30% untuk plasma kita. Biaya utang kebun itu dibebankan ke kita," kata Laurensius Asia, warga Teluk Bakung.
"Infrastruktur dan biaya-biaya seluruhnya, menjadi utang untuk kita, [pembayarannya] nanti dipotong setelah tanaman itu berhasil."
Menurut para aktivis dan akademisi yang kami wawancarai, pola kerja sama yang seperti ini sekarang paling umum diterapkan oleh perusahaan sawit dalam menyediakan plasma.
Namun para peneliti juga memperingatkan bahwa 'satu atap' umumnya membuat perusahaan leluasa untuk "tidak transparan" kepada petani plasma.
Warga Teluk Bakung beberapa tahun terakhir mengaku mendapatkan dana talangan sebesar Rp50 ribu per hektare per bulan dari PT Palmdale.
"Perusahaan juga cenderung manipulatif," menurut Sri Palupi dari The Institute of Ecosoc Rights, lembaga pemikir yang fokus pada hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural yang berkelanjutan.
Persoalan inilah, sebut Sri, yang kemudian menjadi benih konflik.
Sebelumnya, Sri Palupi meneliti kasus kemitraan inti-plasma perkebunan sawit yang terdapat di delapan kabupaten di empat provinsi yaitu Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah. Riset ini dituangkan ke dalam sebuah buku yang dirilis pada 2017 lalu.
Dalam buku ini, Sri menyimpulkan pola kemitraan plasma kini telah menjadi "modus perampasan lahan".
Buah sawit disebut sebagai buah emas karena harga dan permintaannya yang tinggi.
"Bahkan, kita temukan juga [masyarakat] sudah serahkan lahan, sampai sekarang plasmanya tidak jelas ada di mana dan bagaimana hasilnya," tambah Sri.
Kami mengirim tim reporter untuk menemui 15 kelompok masyarakat di enam provinsi, di mana perusahaan sawit menetapkan kerja sama plasma dengan skema 'satu atap'.
Di semua tempat yang kami datangi, warga desa mengatakan mereka tidak memiliki akses terhadap informasi tentang bagaimana pembayaran bagi hasil dihitung, atau kapan utang mereka akan lunas.
Di Desa Binai, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, misalnya, petani mengaku dibebankan utang Rp30 miliar sebagai ganti pembukaan perkebunan sawit sejak perusahaan mengantongi IUP pada 2007.
"Sampai saat ini kami tidak pernah tahu mekanisme plasma itu bagaimana, yang ada kabarnya hanya utang, utang, utang," ujar Herman A. Hadi, warga Desa Binai, dalam wawancara pada 2019 - sepuluh tahun lebih setelah perusahaan mendatangi desanya.
Plasma, sebut aktivis lingkungan Djayu Ifantara, juga menjadi alat bagi perusahaan untuk "mendapatkan lahan baru".
Perusahaan mengiming-imingi masyarakat, ujar Djayu, bahwa kerja sama ini dapat "membawa kesejahteraan, bisa kaya, bisa beli mobil dengan menjual lahan mereka kepada perusahaan".
"Tapi kenyataannya, [petani] hanya mendapat Rp150 ribu sebulan. Dan ini dibayar setiap tiga bulan," kata Djayu merujuk nasib seorang kepala adat, kasus plasma di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
"Perusahaan memberi mimpi palsu pada masyarakat, dan sekarang masyarakat melihat kenyataannya," imbuh Djayu.
Menurut warga Teluk Bakung, Palmdale memberikan dana talangan saat kebun tidak menghasilkan. Tapi, warga meyakini dana talangan itu kemudian akan menjadi utang.
"Pihak manajemen tidak transparan terkait dengan hasil TBS [tandan buah segar] kami," kata Natasius. Sebagai imbal, perusahaan justru memberikan dana talangan kepada para petani sebesar Rp50 ribu per hektar per bulan. Dana talangan tersebut sebagian mulai diberikan pada 2018.
"2020 kita hanya mendapat bayaran hanya 10 bulan saja. Kalau 2018 dan 2019 kita dapat 12 bulan," tambah Natasius.
Sekjen GAPKI Eddy Martono menyanggah perusahaan sawit tidak transparan. "Setidaknya untuk anggota GAPKI," katanya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyanggah kritikan tentang transparansi - setidaknya untuk perusahaan sawit anggotanya, kata Sekjen GAPKI Eddy Martono.
"Justru yang satu atap, menurut kami dari analisa [perusahaan sawit] anggota GAPKI, itu lebih terkontrol. Semua transparan, harga transparan. Sudah ada rumusan harganya, disepakati [per] daerah. Tidak ada yang tidak transparan di situ," kata Eddy.
"Saya bicara untuk anggota GAPKI ya, karena ada rapat dan laporan rutin," tukas Eddy.
PT Palmdale tidak ada dalam daftar keanggotaan di situs GAPKI.

Sampai di mana evaluasi plasma?

Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan moratorium izin sawit pada 2018.
Para aktivis telah lama mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membenahi pelaksanaan plasma. Pada 2018, sebanyak 236 aktivis dari berbagai organisasi, petani, buruh sawit, masyarakat adat, dan akademisi menulis surat terbuka pada 22 Mei 2018 yang ditujukan pada Presiden Jokowi dan Presiden Dewan Uni Eropa.
Mereka menuntut supaya pemerintah "segera melakukan audit terhadap program kemitraan inti-plasma karena faktanya banyak perusahaan tidak menunaikan kewajiban plasmanya kepada masyarakat."
Empat bulan kemudian di tahun yang sama, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres moratorium izin sawit, yang memerintahkan empat kementerian dan pemerintah daerah melakukan audit izin perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
Kementerian Pertanian ditugasi untuk mengevaluasi apakah perusahaan-perusahaan sawit mematuhi aturan plasma, dan tiga kementerian lain diinstruksikan untuk memverifikasi data, menemukan lahan untuk plasma, dan mempercepat perizinan lahan untuk petani plasma.
Rita Dihales, petani Teluk Bakung memenangkan gugatan pengadilan terkait dengan sengekta plasma dengan PT Palmdale.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ikut terlibat untuk menyoroti kewajiban perusahaan memfasilitasi lahan plasma.
Hasil audit yang dirilis Februari 2019 itu menyebutkan, "Kewajiban perusahaan perkebunan untuk membangun kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20%, tidak dapat dimonitor dan dievaluasi."
Kesimpulan ini berdasarkan perbedaan data luasan areal perkebunan sawit, dan jumlah IUP serta HGU antara Kementerian Pertanian dengan pemerintah daerah.
Selain itu, BPK juga menyebut 138 perusahaan pemegang izin pelepasan kawasan hutan yang mulai berlaku 2011, "belum dapat menyajikan data lokasi perkebunan masyarakat."
"Tujuan pemberdayaan masyarakat dalam kemitraan pembangunan kebun dan redistribusi lahan seluas 338.487,31 hektar yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tidak tercapai," tulis laporan BPK.
Sebuah gubuk berada di tengah area hutan yang telah ditebang dan dibakar untuk kebun kalapa sawit di Provinsi Riau.
Namun, jeda perizinan sekaligus evaluasi perkebunan sawit melalui Inpres Moratorium Nomor 8 Tahun 2018 disebut peneliti senior dari Sawit Watch, Inda Fatinaware "tidak berjalan dengan baik".
Di lapangan, persoalan perkebunan sawit masih mendominasi konflik agraria di seluruh Indonesia, menurut laporan KPA.
"Jadi, hanya dibuat ada instrumen perbaikan, tapi praktik lapangan itu tidak [berjalan]," kata Inda.
BBC, The Gecko Project dan Mongabay mengajukan permintaan wawancara terkait hal ini ke Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, dan pejabat di lingkungan Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, kami tak mendapat respon.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), salah satu institusi yang juga diinstruksikan untuk mengawasi persoalan plasma dalam inpres moratorium mengakui bahwa masalah persoalan plasma merupakan masalah nasional.
Dalam hal perkebunan sawit, ATR/BPN berwenang mengeluarkan izin HGU.
"Proses HGU itu sudah lama ya, bukan menteri yang sekarang yang memberikan. Bukan orang BPN yang hari ini ada, tapi sudah puluhan tahun lalu. Dulu yang kita tahu, tidak ada data-data seperti itu," kata Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra, merujuk pada ketidaklengkapan data plasma.
Sejak pemberlakuan moratorium izin sawit empat tahun lalu, ATR/BPN mengambil langkah membentuk gugus tugas reforma agraria untuk "mengumpulkan informasi" tentang skala persoalan plasma.
Namun data yang mereka peroleh sejauh ini, kata Surya, "Belum banyak, memang".

Perubahan di UU Cipta Kerja

Seorang pengunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja saat melakukan aksi di Jakarta pada 2020 lalu. Para demonstran menilai UU Cipta Kerja bermasalah dan telah digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemerintah mencabut lebih dari 100 izin tambang, kehutanan, izin pinjam pakai kawasan hutan dan hak guna usaha perkebunan dengan luas lahan jutaan hektare.
Tujuan pencabutan ini, menurut keterangan Presiden Jokowi kepada media pada 6 Januari 2022 adalah untuk "mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam."
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto mengatakan pihaknya akan membenahi aturan terkait pelaksanaan plasma melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja - UU kontroversial yang diminta Mahkamah Konstitusi untuk diperbaiki.
Pekerja menaikkan hasil panen sawit ke truk untuk dibawa ke pabrik pengolahan CPO di Pekanbaru. Plasma, kata para pengamat, pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kata Heru, sebelum UU ini diterbitkan, masih terjadi "kurangnya harmonisasi regulasi dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar."
"Ketersediaan lahan terbatas untuk alokasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, " kata Heru menjawab pertanyaan apa yang menjadi tantangan persoalan pembangunan plasma.
Seluruh regulasi yang mewajibkan plasma menyebut, perusahaan yang gagal membangun kebun plasma dapat dikenakan sanksi mulai dari denda, pemberhentian sementara kegiatan Usaha Perkebunan, sampai pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan.
Namun, lini masa regulasi tentang kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma, menunjukkan penghilangan frasa "paling rendah" 20%. Dalam UU Cipta Kerja juga ditegaskan bahwa kebun plasma berasal dari luar konsesi perkebunan sawit perusahaan.
Hutan primer Papua kini mulai beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Foto diambil tahun 2018.
Tim kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan kepada Heru Tri Widarto, namun tak ada respons lagi.
Dengan perubahan aturan ini, kata Inda Fatinaware, perusahaan sawit dapat menjadikan pembangunan kebun plasma sebagai alasan untuk membuka lahan-lahan baru.
"Artinya dia mengambil lagi tanah-tanah di luar HGU. Ini kan kalau bicara tentang keadilan agraria, ketimpangannya semakin besar," kata Inda.
Setiap kali warga menuntut plasma, kata Djayu Sukma Ifantara, perusahaan akan meminta mereka mencari lahan.
"Dicarikan lahan betul-betul itu. Tapi, itu tidak pernah cukup. Mereka [perusahaan] selalu minta lahan, alasannya untuk plasma. Nah, pertanyaan masyarakat, lahan plasmanya di mana?" tukas Djayu.

'Perjuangkan hak meskipun sulit'

Seorang pengunjuk rasa menuntut adanya keadilan terhadap perusahaan yang menggelumbungkan utang petani plasma.
Persoalan plasma sawit juga telah menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini, KPPU mengawasi hubungan kemitraan antara perusahaan dengan petani plasma.
"Pelaku usaha besar dilarang memiliki dan atau menguasai pelaku usaha menengah atau kecil yang menjadi mitranya," kata Wakil Ketua KPPU, Guntur Saragih.
Pengawasan ini baru dimulai tiga tahun terakhir, dan sejauh ini KPPU telah menerima 10 perusahaan sawit yang dilaporkan melanggar ketentuan kemitraan plasma. Satu kasus akan segera masuk persidangan, dan satu lainnya diselesaikan dengan "perbaikan perilaku" dari perusahaan.
Sementara, delapan kasus masih diselidiki.
Petani sawit memanfaatkan jalur sungai untuk mengirimkan panennya.
"Ada yang [plasmanya] bahkan belum diserahkan. Ada yang tidak tahu di mana lahannya. Ada yang melakukan perubahan, poin itu dipenuhi. Ada yang [memiliki] laporan penggunaan keuangannya, misalnya mulai dari penyiangan dan persiapan lahan. Ada yang nggak tahu," kata Guntur.
Lebih lanjut, Guntur mempersilakan masyarakat untuk melaporkan ke KPPU jika menemukan pelanggaran-pelanggaran dalam persoalan kemitraan plasma, di mana perusahaan menguasai lahan masyarakat.
Kemenangan Rita Dihales adalah satu dari sedikit kasus yang teridentifikasi dalam investigasi kami, di mana petani memenangkan kasus hukum melawan perusahaan sawit.
Lokasi lahan yang dimenangkan lima petani Teluk Bakung.
Biasanya, menurut Sri Palupi, dalam kasus-kasus hukum terkait petani dan perusahaan sawit, yang terjadi justru sebaliknya.
"Kemenangan ini memberikan semangat buat petani, bahwa memperjuangkan haknya, itu sangat mungkin meskipun sulit. Dan harus memang diperjuangkan," tambah Sri.
Keberadaan KPPU dan kemenangan Rita Dihales dinilai bisa menjadi jalan baru bagi masyarakat lain yang merasa teperdaya janji plasma perusahaan.
"Jangan hanya masyarakat menyerahkan lahan tapi yang untung hanya perusahaan. Ke depan, semua perusahaan yang ada di Indonesia ini, tolong ubah kebiasaan yang merugikan orang kecil," kata Rita Dihales.
Sebuah truk sedang mengangkut buah sawit.
Bagaimanapun, ini bukan akhir dari konflik lahan yang dilatarbelakangi oleh ingkar janji perusahaan sawit membangun kebun plasma.
BBC, The Gecko Project dan Mongabay menemukan perusahaan-perusahaan sawit yang mengambil keuntungan dari kebun plasma masyarakat selama bertahun-tahun terus menjual tandan buah sawitnya ke pabrik-pabrik, dan mengantarkannya ke perusahaan-perusahaan yang produknya bisa kita temukan sehari-hari di etalase-etalase pertokoan.
Banyak perusahaan produk konsumen, yang secara kolektif menggunakan jutaan ton minyak sawit sebagai bahan baku produknya setiap tahun, membeli dari korporasi sawit yang telah dituduh gagal menyediakan plasma, atau memberikan bagi hasil yang layak, untuk masyarakat.
--
Grafik oleh Aghnia Adzkia, Arvin Supriyadi, Ayu Idjaja, dan Davies Surya.
Laporan ini adalah bagian dari seri "Laporan Khusus: Janji plasma dari Buah Emas", sebuah proyek kolaborasi oleh BBC, The Gecko Project, dan Mongabay.