Ketika Kostum Timnas Brasil Dipolitisasi menjelang Pemilihan Presiden

Konten Media Partner
1 Oktober 2022 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Ketika Kostum Timnas Brasil Dipolitisasi menjelang Pemilihan Presiden

Neymar saat memperkuat timnas Brasil.
zoom-in-whitePerbesar
Neymar saat memperkuat timnas Brasil.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sofia Ferreira Santos & Marcus Alves
BBC News
Setelah lama ditunggu-tunggu publik Brasil, kostum tim nasional untuk Piala Dunia 2022 akhirnya dirilis pada Agustus lalu. Banyak orang langsung menyerbu toko untuk mendapatkannya, termasuk seorang mahasiswa bernama João Vitor Gonçalves de Oliveira.  
Pemuda berusia 20 tahun itu buru-buru mendatangi toko terdekat, mengambil kaus khas kuning hijau yang pas dengan ukuran tubuhnya, dan membawa kaus tersebut ke kasir—yang menyambutnya dengan senyuman. 
“Si pemilik toko berasumsi saya mendukung pemerintah karena saya membeli kostum timnas, dan mulai menjelek-jelekkan kandidat sayap kiri, Lula,” papar João kepada BBC. 
João sejatinya tidak mendukung pemerintahan Jair Bolsonaro yang bakal bertarung agar bisa terpilih kembali dalam pemilihan presiden, Minggu (2/10).
Namun, João baru sadar bahwa dengan membeli kostum timnas, orang-orang bisa berpikir bahwa dia menyokong Bolsonaro. 
Guna menghindari konfrontasi, João berpura-pura mendukung Bolsonaro.
Di situ pula dia menyadari bahwa kostum kuning-hijau yang pernah dikenakan Pele, Ronaldo, dan banyak pesepakbola terkenal lainnya telah menjadi simbol bangsa yang terbelah.
Timnas Brasil saat berlaga pada Piala Dunia 1966 di Inggris.
“Kaus itu telah dinodai oleh politik sejak 2014,“ kata Mateus Gamba Torres, professor sejarah di Universitas Brasília. 
Delapan tahun lalu, jutaan rakyat Brasil turun ke jalan untuk memprotes Dilma Rousseff, yang saat itu menjabat presiden. Dalam demonstrasi tersebut, para pengunjuk rasa berpakaian senada dengan warna bendera Brasil, yakni kuning, hijau, dan biru.
Kemudian pada 2018, ketiga warna itu dipakai lagi oleh Jair Bolsonaro yang mencalonkan diri sebagai presiden. 
Tahun ini, warna-warna tersebut tampak mencolok dalam pawai kampanye Bolsonaro. Kostum timnas, aksesori, dan berbagai macam hiasan berwarna kuning, hijau, dan biru dikenakan oleh para pendukung tokoh sayap kanan itu. 
“Kaus hijau dan kuning menjadi simbol bagi mereka yang terkait dengan pemerintahan Bolsonaro. Yang berarti sebagian populasi [Brasil] tidak lagi mengidentifikasi diri mereka dengan warna-warna itu,” tutur Gamba Torres.
Baca juga:
Perjumpaan João dengan pemilik toko bukan satu-satunya alasan mengapa dia kini enggan bicara soal politik. Alasan lainnya adalah di Brasil, perdebatan politik bisa mematikan.
Pada Juli, Marcelo Aloizio de Arruda – pendukung mantan presiden Luiz Inácio Lula da Silva – ditembak hingga tewas pada pesta ulang tahunnya yang ke-50. Dia diduga tewas ditembak seorang polisi yang sebelumnya berteriak menyokong Presiden Bolsonaro. 
Sebelum tewas, Arruda balas menembak penyerangnya – yang sempat dirawat di rumah sakit lalu dikirim ke penjara, tempat dia menunggu sidang.  
Kemudian, pada 9 September, Benedito Cardoso dos Santos yang berusia 44 tahun tewas karena diduga dibunuh koleganya setelah mereka berdua berdebat soal politik. Tersangka yang berusia 22 tahun kini ditahan polisi. 
Serangkaian kejadian ini membuat seorang warga bernama Ruy Araújo Souza Júnior tidak mau ke luar rumah memakai kostum timnas Brasil. Pria berusia 43 tahun itu menegaskan kepada BBC bahwa dia tidak mau orang-orang mengiranya sebagai pendukung Bolsonaro. 
Jika mantan Presiden Lula memenangi pilpres, Ruy berharap kostum timnas Brasil “akan kembali mempersatukan kami dan menyimbolkan cinta sejati kepada negara kami, bukan kepada sebuah partai politik”.  
Kandidat presiden dari sayap kiri, Luiz Inácio Lula da Silva.
Sadar akan kondisi tersebut, kandidat presiden, Luiz Inácio Lula da Silva, berfokus “mengeklaim lagi” bendera Brasil. 
Sejumlah pendukungnya, seperti penyanyi Ludmilla, bintang internasional Anitta, dan rapper Djonga, sengaja memakai kostum timnas Brasil dalam pertunjukan masing-masing. 
Djonga, yang menjadi bagian dari kampanye resmi Nike untuk kostum timnas Brasil menjelang Piala Dunia 2022, mengatakan kepada penonton konsernya bahwa memakai kostum timnas di depan publik adalah aksi protes. 
“Mereka [para pendukung Bolsonaro] berpikir semuanya adalah milik mereka, mereka mengubah makna keluarga, mereka mengubah makna lagu kebangsaan, mereka mengubah makna semuanya. Tapi ini kenyataannya: semuanya adalah milik kita, tiada yang milik mereka,” cetus Djonga. 
Namun, kini bukan saja para lawan politik Bolsonaro yang berhati-hati dalam memakai kostum timnas Brasil.
“Saya adalah seorang patriot dan sayap kanan. Saya sangat ingin memilih dengan memakai kostum kuning saya,” kata pendukung Bolsonaro, Alessandra Passos, 41. 
Akan tetapi, karena ketegangan antara pendukung Lula dan Bolsonaro, Alessandra mengaku “takut memakainya pada hari pemilihan”.  
Richarlison merayakan gol yang dia cetak ke gawang Ghana dalam pertandingan persahabatan, pada September lalu.
Lepas dari kebanggaan, ketakutan, dan kehati-hatian warga awam dalam memakai kostum timnas Brasil, bagaimana pendapat para pesepakbola timnas Brasil?  
Pemain lini depan Tottenham dan timnas Brasil, Richarlison, mengatakan konotasi yang terkandung dalam kostum timnas membuat warga Brasil tak lagi lekat dengan kostum dan bendera sehingga kesamaan identitas yang mereka miliki kini tergerus.  
“Sebagai seorang pendukung, pemain, dan warga Brasil, saya melakukan upaya terbaik dalam membagikan identitas yang kami miliki kepada seluruh dunia. Saya meyakini penting untuk mengakui bahwa kami semua orang Brasil dan punya darah Brasil [di atas segalanya],” papar Richarlison. 
Karenanya, kampanye iklan Nike untuk kaus baru ini menampilkan kepribadian dari berbagai sisi spektrum politik - berfokus pada kebersamaan sebagai topik utamanya. Kaus itu, kata Nike, adalah "kolektif. Kaus ini mewakili lebih dari 210 juta orang Brasil. Ini milik kita". 
Merek tersebut juga melarang kaus itu dimodifikasi dengan referensi politik atau istilah agama.  
Bagaimanapun, banyak orang Brasil masih memilih untuk membeli kaus tandang biru, yang terjual habis beberapa jam setelah dirilis.
Pedro saat mengenakan kostum biru timnas Brasil.
Pelatih futsal, Matheus Rocha, 28, mengatakan kepada BBC News bahwa dia telah memutuskan untuk mengenakan kaus biru tahun ini. 
"Saya tidak merasa ada keinginan untuk memakai kaus kuning," katanya. "Sebenarnya, saya jijik ketika membayangkan memakainya [kaus kuning], saya bahkan tidak mengeluarkan kaus yang lama dari laci. Sayang sekali, karena kaus tersebut sangat bagus." 
Dia mengatakan perasaan serupa mengemuka di antara para sahabat dan rekan-rekannya. "RIP kaus kuning," katanya. "Dan saya berharap Brasil memenangkan gelar Piala Dunia keenamnya dengan memakai kaus warna biru untuk rakyat." 
Meskipun banyak yang punya perasaan sama dengan Matheus, kaus kuning timnas Brasil masih populer di kalangan penggemar sepak bola di seluruh negeri. 
Kelompok pendukung Movimento Verde e Amarelo (Gerakan Hijau dan Kuning) berpikir bahwa Piala Dunia akan membantu rakyat Brasil kembali mengenakan kaus kuning. 
"Kami tidak setuju dengan mereka yang berkeras bahwa kaus kuning Seleção sudah mati, kami hanya sedih melihatnya digunakan sebagai alasan untuk bentrokan politik," kata Luiz Carvalho, anggota pendiri kelompok tersebut. 
"Tidak masuk akal untuk mengatakan kaus kuning tidak mewakili politisi ini atau politisi itu ketika seluruh pemikiran di balik kaus kuning justru sebaliknya," tambahnya. 
"Ketika tim kami memasuki lapangan, begitu juga kebanggaan yang kami miliki sebagai orang Brasil. Jadi apa pun yang terjadi dalam pemilihan Oktober, cinta yang harus menang, seperti yang selalu terjadi."
Para pendukung Bolsonaro memakai kaus dan aksesori kuning-hijau saat menghadiri kampanye.
Namun, bagi sebagian pendukung Bolsonaro, kaus kuning telah menjadi simbol cinta patriotik yang lebih besar. 
"Tidak ada rasa patriotisme sebelum pemerintahan Bolsonaro, karena pemerintahan kiri tidak memakai bendera kami," kata Adriana Moraes do Nascimento, 49, kepada BBC. 
"Puji Tuhan presiden kami mencintai Brasil dan dia telah menyimpan nilai-nilai ini untuk kita."
Bagi Adriana, kaus kuning sebelumnya hanya mengacu pada sepak bola, tapi kini kaus tersebut menunjukkan rasa cinta tanah air. 
"Jika kaum kiri memenangkan pemilihan, bendera akan hilang sekali lagi," katanya. "Pernahkah Anda melihat bendera di tangan mereka? Tidak. Tapi itu tidak akan terjadi, karena Presiden Bolsonaro akan menang." 
Ini adalah pertama kalinya pemilihan presiden Brasil begitu erat kaitannya dengan Piala Dunia, baik dalam lini waktu maupun dalam diskusi sosial. 
Profesor Gamba Torres mengatakan orang Brasil perlu memisahkan kostum timnas dengan politik.  
"Kaus hanyalah kaus," katanya. 
Tentu saja kaus memiliki arti, tetapi pada akhirnya kaus tidak mewakili satu pemerintahan tertentu. Pemerintah datang dan pergi, tetapi negara dan tim kami akan selalu ada."