news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Frustrasi Para Pelajar Perempuan yang Dilarang Bersekolah oleh Taliban

Konten Media Partner
8 Desember 2021 16:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kisah Frustrasi Para Pelajar Perempuan yang Dilarang Bersekolah oleh Taliban
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sejumlah pelajar perempuan di Afghanistan mengungkapkan keputusasaan mereka karena dikeluarkan dari sekolah, tiga bulan setelah Taliban menguasai negara itu.
ADVERTISEMENT
"Tidak bisa belajar terasa seperti menghadapi hukuman mati," kata Meena, 15 tahun.
Meena menyebut bahwa dia dan teman-temannya merasa tersesat dan bingung. Perasaan itu muncul sejak Taliban menutup sekolah mereka di timur laut Provinsi Badakhshan.
"Kami tidak melakukan apa-apa selain urusan rumah tangga. Kami hanya terpaku di satu tempat," kata Laila, pelajar lainnya yang berumur 16 tahun. Sekolahnya di Provinsi Takhar juga ditutup tepat saat Taliban merebut kekuasaan Agustus lalu.

Baca juga:

Sejumlah pelajar perempuan dan kepala sekolah di 13 provinsi menunjukkan frustrasi pada wawancara dengan BBC. Penyebabnya, Taliban melarang remaja perempuan mengikuti pendidikan pada jenjang sekolah menengah.
Perasaan frustrasi itu muncul meski Taliban menjamin akan segera mencabut larangan itu "sesegera mungkin".
Hanya sekolah dasar yang diizinkan menggelar kembali pembelajaran di kelas oleh Taliban.
Mayoritas guru yang berbicara kepada BBC belum menerima upah sejak Juni lalu. Mereka berkata, penutupan sekolah begitu berdampak pada pelajar perempuan.
ADVERTISEMENT
Salah satu konsekuensi larangan itu adalah terjadinya tiga pernikahan di bawah umur yang melibatkan pelajar perempuan.
Seorang kepala sekolah dari Kota Kabul mengaku masih terus berkomunikasi dengan murid-muridnya melalui WhatsApp.
"Mereka benar-benar sedih. Mereka menderita secara mental. Saya mencoba memberi mereka harapan tapi sulit karena mereka dihadapkan pada begitu banyak kesedihan dan kekecewaan," ujar guru itu.
Sementara itu, tingkat kehadiran pelajar perempuan di sekolah dasar cenderung menurun, menurut laporan sejumlah guru.
Tren itu terjadi walau Taliban telah mengizinkan pelajar perempuan kembali mengikuti pendidikan dasar di sekolah.
Para guru itu berkata, kemiskinan dan masalah keamanan yang terus meningkat membuat banyak keluarga enggan menyekolahkan anak perempuan mereka.
Para pejabat Afganistan sebelumnya menghindari wawancara dan enggan memberi konfirmasi terkait larangan ini.
ADVERTISEMENT
Namun dalam sebuah wawancara dengan BBC, Wakil Menteri Pendidikan Afganistan, Abdul Hakim Hemat, menegaskan bahwa anak perempuan tidak akan diizinkan bersekolah di sekolah menengah sampai kebijakan pendidikan baru disetujui di tahun baru.
Walau begitu, beberapa sekolah khusus perempuan sudah diizinkan beroperasi usai bernegosiasi dengan pejabat Taliban setempat.
Di kota utara Mazar-i-Sharif di Provinsi Balkh, seorang kepala sekolah mengatakan bahwa saat ini tidak terjadi masalah apapun. Pelajar perempuan pun, kata dia, bersekolah seperti biasa.
Namun seorang siswi lain di kota itu menyebut milisi Taliban yang bersenjata belakangan mendekati pelajar perempuan di jalan-jalan. Milisi itu ingin memastikan rambut dan mulut para pelajar perempuan tidak terlihat.
Akibat kejadian itu, sekitar sepertiga pelajar perempuan di kelasnya berhenti datang ke sekolah.
ADVERTISEMENT
"Takdir ada di tangan kami ketika kami meninggalkan rumah. Orang-orang tidak tersenyum. Situasinya kacau. Kami menggigil ketakutan," katanya.
Pemerintah Taliban memerintahkan pelajar laki-laki di sekolah menengah untuk kembali bersekolah pada September lalu. Namun dalam pengumuman itu, Taliban tidak menyebutkan pelajar perempuan.
Kepala sekolah di tiga provinsi berbeda mengaku telah membuka kembali sekolah mereka. Namun sehari setelahnya, pejabat setempat tanpa penjelasan memaksa sekolah itu kembali ditutup.
Pelajar perempuan setiap hari terlihat berdatangan ke gerbang sekolah untuk bertanya kapan mereka kembali diizinkan masuk, kata seorang sumber kepada BBC.
Beberapa siswi sekolah menengah berinisiatif melanjutkan studi dari rumah.
Laila, yang bercita-cita menjadi bidan atau dokter, berkata akan menjaga kebersihan dan kerapian peralatan sekolah di kamarnya. Dia tidak akan membiarkan siapapun menyentuhnya, sembari menunggu saat bisa digunakan kembali.
ADVERTISEMENT
"Ketika saya melihat pakaian, buku, kerudung, dan sepatu saya, semuanya masih baru dan hanya teronggok di lemari tanpa digunakan, saya menjadi sangat marah. Saya tidak pernah ingin duduk saja di rumah," katanya.
Adapun Meena ingin menjadi ahli bedah, tapi dia ragu apakah akan diizinkan untuk melanjutkan studinya.
Dia mengingat momen berbaris di taman bermain di sekolah dan tertawa bersama teman-temannya. Saat itu mereka menyanyikan lagu kebangsaan sebelum pergi memulai pelajaran.
"Setiap kali saya memikirkan saat-saat itu, saya merasa sedih dan putus asa tentang masa depan kami," katanya.
Hemat berkata, situasi yang saat ini terjadi adalah penundaan sementara. Pemerintah, kata dia, akan memastikan "lingkungan yang aman" bagi anak perempuan untuk pergi ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Hemat menekankan perlunya pemisahan pelajar perempuan dan laki-laki. Praktik ini sudah umum diberlakukan di seluruh Afghanistan.
Perempuan sebelumnya dilarang bersekolah dan menempuh pendidikan tinggi saat Taliban menguasai Afganistan pada periode 1996 hingga 2001.
Penutupan yang diberlakukan tahun ini sudah memicu dampak permanen pada kehidupan beberapa pelajar perempuan, kata seorang kepala sekolah di Provinsi Ghazni.
"Setidaknya tiga siswi kami yang berusia 15 tahun ke bawah telah dinikahkan di bawah umur sejak Taliban mengambil alih kekuasaan," ujarnya.
Kepala sekolah itu cemas praktik itu akan meluas karena banyak keluarga menjadi frustrasi anak-anak perempuan mereka "tidak melakukan apa-apa di rumah".
Unicef ​​baru-baru ini menyatakan keprihatinan atas tren pernikahan anak yang sedang meningkat di Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Seorang kepala sekolah di Provinsi Ghor tengah menuturkan, penutupan sekolah tidak relevan dibandingkan dengan masalah lain yang dihadapi murid-muridnya.
"Saya pikir banyak siswi kami akan mati. Mereka tidak punya cukup makanan untuk dimakan dan mereka tidak bisa menghangatkan diri. Anda tidak bisa membayangkan kemiskinan itu," katanya.
---
Semua nama narasumber dalam liputan ini demi keamanan mereka. BBC Afghanistan berkontribusi dalam laporan ini.