Kisah Layla Moustaffa, Wanita yang Bangun Kembali Kotanya Usai Kehancuran ISIS

Konten Media Partner
15 Oktober 2021 20:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Layla Moustaffa telah menjadi ketua bersama Dewan Sipil Raqqa sejak 2017, setelah kekalahan kelompok Negara Islam atau ISIS.
zoom-in-whitePerbesar
Layla Moustaffa telah menjadi ketua bersama Dewan Sipil Raqqa sejak 2017, setelah kekalahan kelompok Negara Islam atau ISIS.
Empat tahun sejak "pembebasan Raqqa" di Suriah, ketika pertahanan terakhir dan apa yang disebut sebagai ibu kota kelompok Negara Islam atau ISIS, jatuh.
Namun dampak dari tahun-tahun penuh gejolak itu masih terasa, terutama bagi sebagian perempuan Kristen dan Yazidi, yang selama itu ditawan, diperjualbelikan sebagai budak seks dan dipaksa memakai niqab (penutup wajah).
Seorang perempuan, bernama Layla Moustaffa, yang mati-matian berusaha membangun kembali kota kelahirannya dan membantu para perempuan di sana, baru saja menerima penghargaan International Mayor of the World atas kerja kerasnya.
Kami berbicara dengannya tentang misinya yang menantang dan berbahaya.

Siapa Layla Moustaffa dan penghargaan apa yang telah dia menangkan?

Moustaffa adalah satu-satunya perempuan yang memenangkan Penghargaan Walikota Dunia Internasional (International World Mayor Award) tahun ini.
Moustaffa adalah perempuan Kurdi berusia 34 tahun, lahir di Raqqa, wilayah Timur Laut Suriah.
Dia memiliki gelar sarjana di bidang teknik sipil dan telah menjadi kepala Dewan Sipil Raqqa, sejak ISIS dikalahkan pada 17 Oktober 2017, oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung koalisi pimpinan AS.
Di bawah kepemimpinannya, ribuan pria dan perempuan bekerja berdampingan untuk membangun kembali apa yang telah dihancurkan perang.
Dewan kota adalah salah satu dari beberapa badan regional yang dibentuk oleh SDF setelah pembebasan.
Moustaffa telah memenangkan penghargaan International World Mayor (Wali Kota Dunia Internasional) sebagai pengakuan atas tekad, pengabdian, dan upayanya yang tak kenal lelah dalam membangun kembali Kota Raqqa.
Raqqa nyaris hancur total dan ratusan ribu orang melarikan diri dari kota itu saat di bawah kendali ISIS pada 2014.
Ranjau-ranjau yang ditanam masih ada di banyak jalan dan ribuan anggota sel tidur menunggu untuk merebut setiap kesempatan yang mungkin terjadi.
Moustaffa telah memperjuangkan hak-hak perempuan di kota kelahirannya, sehingga dia melihat ironi atas penghargaan ini - karena ISIS, yang merebut kota itu, terkenal karena menindas kaum perempuan.
Proyek Wali Kota Dunia atau World Mayor project (yang dijalankan oleh lembaga pemikir penelitian internasional, The City Mayors Foundation) telah beroperasi sejak 2004 dan membahas tema yang berbeda setiap dua tahun.
Pada 2016, fokusnya adalah pada krisis pengungsi, diikuti pada 2018, kurangnya keterwakilan perempuan di posisi administratif lokal, dan tahun ini, yayasan menangani situasi kota selama pandemi.
Tahun ini, penghargaan tersebut diberikan kepada sembilan wali kota dari seluruh dunia, termasuk Moustaffa tetapi dia adalah satu-satunya wanita yang masuk dalam daftar pemenang.

'Surga yang aman setelah penjara nan suram'

Pasukan Demokrat Suriah merayakan "pembebasan Raqqa" pada 17 Oktober 2017.
Ketika Moustaffa menjalankan misi membangun kembali Raqqa, tidak ada yang tersisa di sana, kecuali reruntuhan.
Tidak ada listrik, tidak ada air yang mengalir, tidak ada layanan publik dan hanya sedikit layanan kesehatan.
Tetapi pada 2020, Museum Raqqa, yang dianggap sebagai simbol warisan budaya, agama, dan sejarah kota yang beragam, telah dipugar sebagai simbol kelahiran kembali.
"Meskipun kemampuan terbatas dan kurangnya sumber daya yang tersedia, kami telah mencapai banyak hal, terima kasih kepada orang-orang di kawasan ini, kami telah mengembangkan rencana dan program yang sesuai dengan setiap tahap," kata Moustafa.
"Dibandingkan dengan tingkat kerusakan kota yang mencapai 95%, kami mencapai banyak hal dalam waktu singkat," tambahnya.
Raqqa hari ini dianggap sebagai: "Surga setelah berubah dari penjara yang suram bagi penghuninya."
Proyek-proyek seperti penyediaan listrik dan air bersih serta infrastruktur lainnya, termasuk membangun rumah sakit, sekolah dan pusat kesehatan, dilaksanakan secara bertahap.
Pekerjaan renovasi dan pembangunan kembali rumah, jalan dan layanan lainnya, juga sedang berlangsung.
Di bawah pengawasannya, sejumlah proyek berhasil diselesaikan, seperti pembukaan kembali lebih dari 390 bangunan sekolah dan lebih dari 25 puskesmas dan 10 rumah sakit swasta dan pemerintah.
Demikian pula pemulihan delapan pembangkit listrik, 30 stasiun air minum, dan banyak lagi.
Populasi telah membludak dan meningkat hingga mencapai hampir satu juta, termasuk yang baru mengungsi.
Moustaffa dapat mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari warga kota, karena pekerjaannya yang terus menerus untuk memberdayakan orang-orang dari semua latar belakang sosial dan budaya.

Proyek administrasi diri dan kaum perempuan

Moustaffa bersemangat tentang kesetaraan gender dan mengatakan kaum perempuan di mana saja dapat mencapai apa pun jika mereka 'bertekad dan percaya pada diri mereka sendiri'.
Seperti orang Kurdi lainnya yang bertanggung jawab di wilayah Suriah Timur Laut, Moustaffa berharap bahwa proyek pemerintahan sendiri akan dilaksanakan suatu hari nanti di bagian lain negara itu.
Dia juga berharap Raqqa dapat menjadi model yang sukses untuk Suriah secara keseluruhan, terutama yang berkaitan dengan kesetaraan gender dan hak minoritas.
Misi yang diemban oleh perempuan muda ini tidaklah mudah, karena lingkungan tempat dia bekerja masih mengutamakan nilai-nilai kesukuan dan adat.
Sebagai seorang perempuan muda Kurdi yang menjalankan dewan kota ini, Moustaffa telah menginspirasi banyak perempuan lain di wilayah tersebut dari latar belakang etnis, sosial dan budaya yang berbeda.
Kehadirannya juga mendorong mereka untuk memainkan perannya dalam membangun kembali masyarakat dan kota.
"Proporsi perempuan di dewan sipil mencapai 40%, sebuah persentase yang sangat tinggi di kota seperti itu," jelasnya.
"Jumlah pegawai di Dewan Sipil Raqqa saat ini kurang lebih 10.500 pegawai, termasuk 4.080 perempuan yang bekerja di berbagai lembaga dan sektor.
"Jumlah mereka di Raqqa secara keseluruhan, melebihi 7.000 perempuan di semua institusi, dan ini adalah bukti keadilan dan kesetaraan yang selalu kami perjuangkan," katanya.
Moustaffa ingin menyampaikan pesan kepada kaum perempuan di negara-negara lain di seluruh dunia, di mana hak-hak perempuan masih dibatasi dengan mengatakan kepada mereka:
"Kaum perempuan dapat membuktikan kemampuan mereka di setiap bidang jika mereka bertekad dan percaya pada diri mereka sendiri."
Hari ini, dewan kepresidenan yang dipimpin Moustaffa memunculkan kasus luar biasa dan terhormat dalam sejarah kota, yang telah diperintah dari waktu ke waktu oleh laki-laki saja, apakah itu di bawah sistem pemerintah Suriah, oposisi Suriah, kelompok yang loyal kepada Turki, atau ISIS. .

Garis Waktu - Raqqa

Banyak keluarga Suriah melarikan diri dari perang, menuju perbatasan Turki, seperti anak-anak ini, pada September 2014.
Raqqa adalah rumah bagi lebih dari 200.000 orang sebelum perang, dan mereka berasal dari latar belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda, termasuk orang Arab, Kurdi, Kristen, Suriah, dan lainnya.
Kota ini dipandang konservatif secara sosial, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kesukuan dan adat istiadat.
Namun, perang saudara di negara itu mengubah kebijakan di kawasan itu secara berulang kali.
Pada Maret 2013, Raqqa muncul dari kendali pemerintah Suriah setelah diambil alih oleh kelompok oposisi "Tentara Pembebasan" yang didukung Turki dan Front Al-Nusra yang terkait dengan Al-Qaeda, yang mengubah namanya menjadi Hay'at Tahrir al-Sham, setelah AS mendaftarkannya sebagai organisasi teroris.
Dalam waktu kurang dari setahun, kelompok militan ISIS menguasai kota dan menyatakannya sebagai ibu kota kekhalifahan Islam dan ratusan ribu orang kemudian melarikan diri ke berbagai wilayah tetangganya.
Setelah ISIS dikalahkan pada Oktober 2017 oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan Koalisi pimpinan AS, Dewan Sipil Raqqa dibentuk untuk membangun kembali kota tersebut.
Kelompok ini terdiri dari pengacara, insinyur, dokter, pemimpin suku, dan dewan teknokratis dan Moustaffa adalah perempuan pertama dalam sejarah kota yang memegang posisi kepala dewan kota.