Kisah Perempuan Naik Unta Lewati Pegunungan Berbatu Sejauh 40 Km demi Melahirkan

Konten Media Partner
25 Mei 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mona dengan bayi laki-lakinya, Jarrah, di rumahnya di Mahweet, barat laut Yaman
zoom-in-whitePerbesar
Mona dengan bayi laki-lakinya, Jarrah, di rumahnya di Mahweet, barat laut Yaman
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika Mona mengalami kontraksi, seekor unta telah menjadi penyelamatnya.
Mona, perempuan berusia 19 tahun, mengira perjalanan 40 kilometernya ke rumah sakit akan membutuhkan waktu kurang lebih empat jam dari rumahnya di pergunungan berbatu.
Namun, tanpa ada jalan mulus, dengan dirinya menderita kesakitan karena segera bersalin dan cuaca buruk, perjalanan itu ternyata molor menjadi tujuh jam.
“Dengan setiap langkah maju dari sang unta, saya merintih kesakitan,“ katanya.
Saat unta itu tidak bisa melanjutkan perjalanannya, Mona terpaksa turun dan menyelesaikan sisa perjalanannya dengan jalan kaki bersama suaminya.
Di Provinsi Mahweet, bagian barat-laut Yaman, Rumah Sakit Bani Saa merupakan satu-satunya fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oleh ribuan perempuan.
Dari rumah Mona di Desa Al-Maaqara, ia harus menempuh perjalanan berbahaya melewati pegunungan dengan unta, agar bisa sampai ke rumah sakit itu.
Sambil berpegangan erat pada untanya, Mona khawatir akan keamanan dirinya dan juga anak di dalam rahimnya.
“Jalanan itu penuh bebatuan,” katanya, mengingat kembali “perjalanan yang melelahkan secara fisik dan mental”.
“Ada momen ketika saya berdoa agar Tuhan mengambil nyawa saya dan melindungi bayi saya supaya saya dapat bebas dari rasa sakit.”
Mona tidak ingat momen ketika ia sampai di rumah sakit, tetapi dia masih ingat perasaan dipenuhi dengan harapan ketika mendengar suara tangisan sang bayi di tangan para bidan dan ahli bedah.
Mona, bersama suaminya, memberi nama bayi laki-laki itu Jarrah, atas nama ahli bedah yang menyelamatkan mereka.
Jalan menuju rumah sakit dari desa terdekat sangat sempit.
Beberapa jalanan hancur atau diblokir karena perang delapan tahun antara pasukan pro-pemerintah yang didukung oleh koalisi Saudi dengan gerakan pemberontak Houthi yang didukung Iran.
Pendanaan internasional menipis untuk fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit Bani Saad
Biasanya, para perempuan, anggota keluarga, atau rekan sering mendampingi ibu hamil selama berjam-jam melewati pegunungan menuju rumah sakit.
Salma Abdu, perempuan berusia 33 tahun, yang sedang menemani seorang ibu hamil, mengatakan bahwa di tengah perjalanan, dia melihat seorang ibu hamil meninggal pada malam hari, di tengah perjalanannya.
Salma mengimbau agar masyarakat menunjukkan belas kasihan kepada perempuan dan anak-anak.
"Kami membutuhkan jalan, rumah sakit, apotek. Kami terdampar di lembah ini. Mereka yang beruntung, melahirkan dengan selamat. Yang lain meninggal, juga mengalami penderitaan di perjalanan," katanya.
Beberapa keluarga mampu untuk membayar tagihan rumah sakit, namun mereka tidak memiliki dana yang mencukupi untuk sampai ke sana.
Di Yaman, seorang perempuan meninggal setiap dua jam saat bersalin akibat masalah kesehatan yang bisa dicegah. Hal tersebut diungkapkan Hicham Nahro dari Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) di Yaman.
Nahro mengatakan seringkali perempuan yang tinggal di daerah pedalaman Yaman tidak melakukan pemeriksaan rutin atau mencari bantuan kecuali mereka mulai mengalami pendarahan atau sakit parah.
Baca juga:
Kurang dari 50% kelahiran dibantu oleh dokter spesialis dan hanya sepertiga dari kelahiran terjadi di pusat kesehatan, menurut UNFPA. Dua per lima penduduk Yaman, memiliki tempat tinggal yang jauhnya lebih dari satu jam perjalanan dari rumah sakit umum yang beroperasi.
Sistem kesehatan Yaman buruk sudah ada bahkan sebelum perang. Konflik itu telah menyebabkan dampak kerusakan yang meluas, khususnya terhadap rumah sakit dan jalanan di Yaman.
Oleh karena itu, keluarga kesulitan dan kadang tidak sanggup melakukan perjalanan.
Rumah sakit di Yaman kekurangan staf yang kompeten, peralatan dan obat-obatan, serta investasi dalam perbaikan jalanan dan infrastruktur telah mangkrak.
Hanya satu dari lima pusat kesehatan yang beroperasi, mampu menyediakan layanan kesehatan bagi ibu dan anak yang mumpuni, menurut UNFPA.

“Saya kira, hidup saya akan berakhir”

Perempuan hamil melakukan perjalanan ke Rumah Sakit Bani Saad, satu-satunya fasilitas medis di provinsi tersebut.
Kisah Mona adalah satu dari banyak kasus ibu-ibu hamil yang kesulitan dalam melahirkan di Yaman. Penduduk Yaman pada umumnya tidak mampu membeli mobil, sekitar 80% mengandalkan bantuan eksternal.
Suami Hailah menggunakan sisa-sisa tabungannya dari gaji yang ia dapat saat bekerja di Arab Saudi untuk memastikan istrinya dapat menempuh perjalanan ke rumah sakit menggunakan motor pinjaman.
Ketika ketubannya pecah, ipar laki-lakinya mengikat Hailah ke sepeda motor dan memberangkatkannya. Namun, tengah perjalanan ia terjatuh dari motor.
Sesampainya di Puskesmas Hadaka di Dhamar, Hailah segera dipindahkan ke ruang operasi.
"Saya kira, hidup saya akan berakhir," kata perempuan berusia 30 tahun itu. "Tidak mungkin saya maupun bayi saya yang belum lahir dapat bertahan hidup."
Baca juga:
Ia sudah mendapat peringatan sejak bulan-bulan awal dia mengandung bahwa melahirkan di rumah tidak memungkinkan, karena ada risiko pendarahan dan komplikasi lainnya.
Para dokter di pusat kesehatan mengatakan Hailah dan bayinya dapat diselamatkan setelah 11 jam perawatan.
Ia namakan bayi perempuannya Amal, yang berarti “harapan“ dalam bahasa Arab.
“Saya hampir kehilangan bayi saya dan hidup sudah tidak bermakna akibat perang sialan ini. Tetapi bayi ini memberi saya harapan,” kata dia.
Dengan dana internasional yang menipis, pusat kesehatan seperti rumah sakit Bani Saad semakin kekurangan dana.
Para pekerja di rumah sakit tersebut khawatir akan masa depan ibu dan bayi karena mereka terpaksa memilih siapa saja yang dapat mereka selamatkan.