Krisis Ekonomi Sri Lanka: Warga Kabur ke Australia Menggunakan 'Perahu Kematian'

Konten Media Partner
30 Juli 2022 10:24 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
"Ada yang bilang lima orang meninggal di perahu sebelumnya karena sakit dan mabuk laut sehingga mereka dibuang ke laut."
"Salah satu dari kami sangat sakit, tiada obat di perahu. Beberapa dari kami membawa alkohol. Jadi saya mabuk supaya menyingkirkan perasaan takut mati," kata Shiva*, seorang pria Sri Lanka yang diselundupkan ke Australia menggunakan perahu.
Kejadian yang dituturkan Shiva berlangsung pada 2012, hanya tiga tahun setelah militer Sri Lanka mengalahkan kelompok pemberontak Macan Tamil pada Mei 2009 sekaligus mengakhiri perang sipil selama tiga dekade.
"Kami telah menderita selama 30 tahun. Perang sipil telah menjerumuskan kami ke dalam kemiskinan. Dengan semua kondisi ini, saya jadi sangat kecanduan alkohol," papar Shiva kepada BBC.
"Pada saat itulah seorang teman bertanya apakah saya mau bergabung dengan mereka ke Australia menggunakan perahu," papar bapak dua anak asal utara Sri Lanka.

Luka akibat perang sipil

PBB memperkirakan sebanyak 40.000 orang dibunuh pada masa akhir perang, ketika kubu pemberontak Macan Tamil menghadapi militer Sri Lanka di bagian utara negeri.
Seperti Shiva, banyak masyarakat Tamil di kawasan utara dan timur Sri Lanka tidak hanya menderita luka fisik tapi juga luka psikologis akibat puluhan tahun perang sipil dan berusaha mencari jalan keluar.
"Dulu banyak orang ke Australia secara ilegal menggunakan perahu. Semuanya dilakukan melalui seorang makelar yang saya kenal melalui teman. Dia meminta satu juta rupee (saat itu sekitar US$8.000) untuk perjalanan tersebut, dan saya harus membayar setengahnya di muka."
Shiva mengaku mendapat uang setelah menggadaikan perhiasan emas istrinya dan berutang ke sana sini, termasuk meminjam uang dengan bunga yang sangat tinggi.

Tempat penyelundupan manusia

Seorang penyelundup manusia mengatakan kepada BBC bahwa dia pernah menyelundupkan 130 orang sekali jalan ke Italia.
Kota Negombo yang terletak di pesisir barat Sri Lanka adalah tempat penyelundupan manusia.
Jude*, seorang pemilik perahu dari Negombo, mengatakan kepada BBC bahwa dirinya telah menyelundupkan ratusan orang ke Australia dan Italia selama 30 tahun terakhir.
Australia adalah negara yang dituju dengan langsung melintasi Samudera Hindia, sedangkan Italia populer karena dianggap ada peluang pekerjaan dan mayoritas penduduk Negombo beragama Katolik.
"Sekali waktu, pada akhir 1990-an, saya menyelundupan 130 orang ke Italia menggunakan perahu mesin ganda," kata Jude kepada BBC, dengan bangga.
Menurutnya, para penyelundup sengaja menyebarkan gosip mengenai perubahan kebijakan imigrasi di negara-negara seperti Australia untuk memikat banyak orang.
"Jika kami mendengar negara-negara ini melonggarkan pengetatan terhadap pengungsi dan migran, maka ada celah," ujarnya.
"Dalam waktu cepat, air dan makanan akan disimpan di dalam perahu dan perahu akan diisi dengan bahan bakar yang cukup."
Berdasarkan Laporan Global PBB mengenai Penyelundupan Manusia, pada 2018 telah terdeteksi sebanyak 46% korban adalah perempuan, 19% anak perempuan, 20% pria, dan 15% bocah laki-laki.
Namun, Jude tidak mencari korban sendirian. Dia juga tidak bepergian bersama orang-orang yang dia selundupkan.
"Adalah makelar yang menemukan dan membawa orang. Kami bilang sekitar setengah juta rupee (sekitar US$1.400 atau Rp20 juta jika menggunakan nilai tukar saat ini) ketika mereka bertanya soal biayanya. Makelar juga mendapat setengah juta untuk diri sendiri atas jasa menemukan orang," papar Jude.
"Makelar-makelar ini membentuk kelompok-kelompok kecil berisi 10 hingga 15 orang dari berbagai penjuru negeri. Jika dijumlahkan mereka mencapai sekitar 50 orang," tambahnya.
Jude mengatakan bahwa makelar adalah pihak yang meraup untung besar dalam bisnis penyelundupan manusia.
"Sementara itu, kami mencari kapten perahu dan empat atau lima anak buah untuk membantunya. Kami mendaftarkan kepemilikan perahu atas nama kapten karena tidak ada jalur pulang dan tidak bisa dilacak. Seluruh kru akan mencapai daratan bersama seluruh penumpang."
Ini adalah perjalanan satu arah—tidak hanya bagi penumpang, tapi juga bagi kru perahu lantaran mereka juga berniat mencari suaka.

Memimpikan hidup lebih baik

Menurut Jude, diperlukan waktu antara 25 sampai 30 hari untuk mencapai perairan Italia melalui Kanal Suez menggunakan perahu. Perjalanan ke Australia lebih singkat, biasanya hanya 10 hingga 15 hari.
Tapi tidak ada jaminan.
Shiva mengaku dirinya diminta membayar sisa ongkos—sekitar US$4.000 (Rp59 juta)—sebelum dia naik perahu bersama dengan 60 orang lainnya.
Meski perang telah berakhir, ratusan orang Tamil dihilangkan secara paksa di bagian utara Sri Lanka.
Banyak aktivis HAM yang diserang dan berbagai jurnalis dibunuh atau menghilang pada saat itu.
Pemerintah selalu membantah terlibat penculikan atau menghilangnya orang-orang ini.
Sebelum 2009, kedua pihak saling menuduh atas berbagai kasus kekejian, namun rangkaian penculikan terus berlanjut walau Macan Tamil telah dikalahkan.
'Tidak ada bedanya kalaupun saya mati di perahu'
Perempuan Tamil Sri Lanka memegang foto anaknya yang hilang.
"Dengan situasi pasca-perang di Sri Lanka, saya merasa tidak bedanya kalaupun saya mati di perahu," kata Shiva.
Namun setelah dua hari di laut, dia mulai merindukan dua anak dan istrinya di kampung halaman.
"Saya tidak bisa berhenti memikirkan mereka," kenangnya saat itu.
Selang 22 hari kemudian, Shiva dan penumpang lainnya mencapai perairan Australia.
Para pencari suaka yang kedapatan menumpang perahu di perairan Australia dicegat dan ditahan di beragam fasilitas, termasuk di Nauru, Papua Nugini, dan Pulau Christmas di Samudera Hindia.
Shiva mengatakan dirinya dan sesama penumpang dari Sri Lanka ditahan di Pulau Christmas sampai kasusnya dibawa ke pengadilan.
"Beberapa tahanan yang menghabiskan berbulan-bulan bahkan tahunan di kamp tersebut mengatakan kepada saya bahwa kalaupun saya bisa tinggal di Australia, saya tidak akan bisa mendatangkan dua anak dan istri saya. Kalaupun memungkinkan, perlu waktu bertahun-tahun."
Setelah 30 hari, dia dan 13 orang lainnya dideportasi ke Sri Lanka karena "kasus-kasus mereka tidak cukup kuat".
Menurut Jude, para penyelundup manusia telah menghentikan penyelundupan ke Italia selama bertahun-tahun karena biayanya tinggi dan ada pengetatan terhadap pencari suaka.
"Mudah untuk menyelundupkan manusia ke Australia beberapa tahun lalu, tapi sekarang hal itu sangat sulit," keluhnya.

Korban-korban rentan

Ketika ditanya apakah dirinya menyimpan penyesalan karena melanggar hukum dan mendapat untung dari orang-orang yang kesusahan, bahkan hampir tewas, Jude mengatakan ia tidak merasa bersalah.
"Kami tidak merasa bersalah karena orang-orang ini menumpang dan membayar kami atas kemauan mereka sendiri. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka demi kehidupan yang lebih baik," ucap Jude.
"Tidaklah relevan bagi pemilik perahu jika mereka mencapai daratan atau berujung di kamp tahanan. Mereka tahu risiko perjalanan ini sebelumnya," kilah Jude.
Meski demikian, Jude mengaku dirinya merasa tidak nyaman terhadap perempuan dan anak-anak yang menempuh perjalanan dalam kondisi sulit.
"Sebelumnya kebanyakan kaum pria yang datang ke kami. Tapi sekarang makin banyak keluarga dengan anak kecil membayar kami untuk menyelundupkan mereka."

'Orang hanya melihat apa yang mereka ingin lihat'

Sekelompok imigran Sri Lanka terdampar di Aceh pada 2016 lalu.
Alih-alih merasa bersalah, Jude berkeras bahwa penyelundup manusia seperti dirinya justru membantu banyak orang.
"Jika kami mengirim 50 orang, kami sering kali mengirim sejumlah anak muda dari desa sekitar yang tidak bisa membayar perjalanan," paparnya.
Namun, perjalanan itu tidak membuat mimpi seseorang langsung tercapai.
Jude mengakui kondisi susah dan kurangnya kesadaran tentang apa yang sebenarnya terjadi mendorong orang untuk mendatangi penyelundup manusia. Orang-orang tersebut tidak punya akses ke migrasi yang legal.
"Orang-orang tahu soal kami dari mulut ke mulut. Mereka juga mendengar tentang orang yang pergi ke Australia mendapat visa dan memperoleh uang banyak, tapi itu kan tidak terjadi. Orang hanya ingin melihat apa yang mereka ingin lihat," cetusnya.

Peningkatan drastis ke Australia

Menurut Angkatan Laut Sri Lanka, jumlah orang yang berusaha mencapai Australia menggunakan perahu meningkat drastis tahun ini.
Juru bicara Angkatan Laut Sri Lanka, Kapten Indika de Silva, mengatakan kepada BBC bahwa pada Juli 2022, sebanyak 864 orang yang berusaha mencapai Australia menggunakan perahu telah ditahan. Kemudian 15 perahu yang mereka gunakan telah disita.
Lebih lanjut, sebanyak 137 warga Sri Lanka yang berusaha mencapai wilayah Australia menggunakan empat perahu telah dikirim balik ke Sri Lanka dengan pesawat.
AL Sri Lanka juga mengungkap, dua perahu yang bertolak ke Kanada pada 2021 dan 2022 juga telah dicegat.
Kapten de Silva mencatat bahwa tidak ada perahu ilegal yang ditangkap pada awal pandemi, 2020 lalu.
"AL Sri Lanka dan Pasukan Penjaga Perbatasan Australia bekerja sama untuk menangkap imigran ilegal yang menuju Australia menggunakan perahu," kata jubir AL Sri Lanka
Dia menegaskan, para makelar berulah dengan menyasar keluarga-keluarga miskin dan rentan lalu membohongi mereka dengan mengatakan mereka bisa pergi ke negara kaya seperti Australia dan hidup lebih baik.
Para penyelundup kerap kali mengatakan kepada orang yang hendak diselundupkan bahwa pergi dengan keluarga lebih menguntungkan di mata hukum, kata Kapten de Silva.
"Ada peningkatan jumlah keluarga yang pergi dengan membawa anak kecil menggunakan perahu. Para penyelundup manusia ini menipu orang dengan mengatakan mereka akan diuntungkan oleh hukum kemanusiaan di sejumlah negara," sambungnya.
Kapten de Silva mengatakan AL Sri Lanka dan Pasukan Penjaga Perbatasan Australia bekerja sama untuk menangkap imigran ilegal yang menuju Australia menggunakan perahu.
Tidak ada makanan, tidak ada BBM, tidak ada obat-obatan
Antrean BBM di Sri Lanka bisa berlangsung berhari-hari.
Shiva tidak lagi kecanduan miras sejak kembali ke Sri Lanka. Dia juga telah membayar semua utangnya setelah memulai usaha sendiri.
Namun, ekonomi Sri Lanka mengalami krisis lantaran cadangan devisa negara tersebut ambruk. Akibatnya, pemerintah tidak mampu mengimpor bahan bakar minyak atau obat-obatan. Sedangkan harga makanan menjulang tinggi.
Antrean di depan SPBU mengular hingga berkilometer-kilometer. Bahkan, orang-orang tidur di mobil mereka selama lebih dari sepekan hanya untuk mendapatkan beberapa liter bensin.
Jumlah orang yang kabur ke India dari bagian utara Sri Lanka telah meningkat akibat krisis ekonomi. Shiva pun kini merenungkan masa depannya.
"Saya merasa ingin pergi lagi [ke Australia] dengan situasi sekarang di Sri Lanka. Sebelumnya karena perang, dan sekarang karena ekonomi…. Tidak ada makanan, tidak ada BBM, tidak ada obat-obatan di negara kami."
(*Nama-nama penyelundup manusia dan orang-orang yang diselundupkan ke Australia dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas mereka)