Konten Media Partner

Majed Abu Maraheel: Atlet Pertama yang Bawa Bendera Palestina di Olimpiade 1996

26 Juli 2024 7:40 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Majed Abu Maraheel mengibarkan bendera Palestina.
zoom-in-whitePerbesar
Majed Abu Maraheel mengibarkan bendera Palestina.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Air mata bahagia mengalir deras ketika Majed Abu Maraheel membawa bendera Palestina ketika memasuki Stadion Centennial, Amerika Serikat, dalam seremoni pembukaan Olimpiade Atlanta berlangsung pada 19 Juli 1996.
Di depannya, seorang anggota panitia berjalan membawa papan bertuliskan: Palestina.
Ini adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya saat itu. Lebih dari 80.000 orang menyaksikan Maraheel secara langsung di stadion. Jutaan orang lainnya menonton melalui siaran televisi di seluruh dunia.
“Momen itu adalah tonggak penting bagi Palestina, tidak hanya dalam olahraga, tetapi juga soal klaim teritorial dan nasional sebagai sebuah negara. Karena untuk pertama kalinya Palestina muncul di semua saluran televisi,” kata Profesor Javier González del Castillo, anggota Pusat Studi dan Penelitian Olimpiade di Universitas Eropa, kepada BBC Mundo.
”Itu adalah simbol perjuangan rakyat Palestina untuk diakui secara internasional,” sambungnya.
Ini adalah kisah tentang mendiang Maraheel, sang pembawa bendera Palestina pertama di Olimpiade, yang meninggal dunia pada Juni 2024.
"Selama hampir 25 tahun saya mengenal Majed, tidak pernah sekalipun saya mendengar orang mengatakan hal negatif tentang dia, atau kata-kata buruk keluar dari mulutnya," kata sejarawan San Charles Haddad.
"Itu mustahil terjadi di tengah konflik antara Israel dan Palestina."
“Riwayat hubungan personalnya serta hubungan dengan komunitasnya dapat membantu kita memahami betapa luar biasa sosok Majed. Kematian Majed adalah kehilangan bagi komunitasnya, juga bagi dunia," tutur Haddad.

‘Kami sudah memenangkan medali emas’

Beberapa hari setelah seremoni pembukaan di Atlanta, jurnalis Mark Sherman menulis sebuah artikel di The Atlanta Journal yang memaparkan bahwa Maraheel tidak khawatir soal perolehan medali maupun kompetisi melawan pelari-pelari terbaik dunia.
Maraheel yang saat itu berusia 32 tahun harus tiba di stadion itu demi mengikuti babak kualifikasi, yang menjadikannya sebagai orang Palestina pertama yang berkompetisi di Olimpiade membawa bendera Palestina.
“Kami sudah memenangkan medali emas karena berada di sini,” kata Maraheel, sebagaimana dituturkan Sherman.
Baginya, kehadiran warga Palestina di Atlanta akan membantu “menyembuhkan luka itu dan menghapus gambaran-gambaran pahit dari masa lalu".
Lalu dalam sebuah artikel yang ditulis jurnalis Judith Miller, Maraheel menekankan bahwa konfrontasi apa pun yang muncul antara Israel dan Palestina di Olimpiade akan menjadi "perjuangan untuk perdamaian".
Tulisan yang diterbitkan di The New York Times pada 4 April 1996 itu berjudul: "Bagi pelari Palestina, membawa bendera sudah cukup membanggakan".
Dalam babak kualifikasi, Maraheel finis pada posisi ke-21.

Seorang pekerja

Maraheel lahir pada 1963 di kamp pengungsi Nuseirat di Gaza, tempat orang tuanya mengungsi dari Beersheba, sebuah kota di Israel selatan.
Kisah Maraheel pernah ditulis oleh penulis olahraga ternama, Dudley Doust, yang datang ke Gaza.
“Ketika bekerja sebagai buruh di Israel, Majed Abu Maraheel menjaga kebugarannya dengan berlari dari rumahnya di Gaza menuju pos pemeriksaan perbatasan di Erez, yang berjarak sekitar 20 kilometer ke arah utara,” tulis Sunday Telegraph, tak lama sebelum Olimpiade, pada 24 Maret 1996.
Pemimpin Palestina, Yasser Arafat pernah memberi penghargaan kepada Maraheel.
Maraheel bertutur kepada Doust bahwa dia pernah mendapat penghargaan dari Yasser Arafat, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Otoritas Palestina, setelah memenangkan perlombaan di sebuah festival olahraga.
Ketika itu, Arafat menanyakan apa pekerjaannya.
Dia menjawab bahwa dia bekerja di sebuah rumah kaca bunga di Israel. Ketika ada masalah, dia “dapat berlari cepat dan menemukan tempat berlindung yang aman.”
Pemimpin Palestina itu kemudian tersenyum dan mengatakan, “Di masa depan, Anda akan menjadi pengawal pribadi saya ketika saya berada di Gaza.”
Kalimat itu menjadi kenyataan. Dia menjadi salah satu pengawal lapis kedua Arafat. Yang paling dia sukai dari pekerjaan itu adalah dia memiliki waktu untuk latihan.

‘Lari semacam terapi baginya’

Maraheel menjadi pelari karena dia benar-benar menyukai berlari, kata sejarawan San Charles Haddad.
Meskipun karier olahraganya dimulai sebagai pemain sepak bola di Klub Al Zaytoon di Gaza, takdirnya ternyata berbeda.
“Walaupun tumbuh di tengah penjajahan dan konflik, dia memiliki hasrat di bidang atletik. Lewat ketekunan dan latihan seadanya di jalanan Gaza, dia berhasil menjadi unggul,” kata Profesor Javier González del Castillo, anggota Pusat Studi dan Penelitian Olimpiade di Universitas Eropa.
Salah satu rutinitas harian Maraheel adalah berlari di sepanjang pantai. Dia membuktikan dirinya sebagai pelari tercepat dalam kompetisi lokal.
Ketika jurnalis Mark Sherman bertanya kepadanya tentang perbedaan fasilitas olahraga di Atlanta dengan di Gaza, dia menjawab: “Bagai langit dan bumi.”
Maraheel berlari dalam pertandingan lari 10.000 meter.
“Dia tidak pernah memiliki pelatih dan sepatu lari yang layak,” tulis jurnalis Judith Miller.
Sejarawan San Charles Haddad masih ingat dengan artikel The New York Times yang dia baca pada tahun 1996 itu.
Kisah Maraheel begitu berkesan baginya sebagai seorang sejarawan keturunan ayah Palestina dan ibu Amerika. Dia sendiri ingin berkompetisi sebagai pendayung mewakili Amerika Serikat di Olimpiade Sydney 2000.
Haddad mempertimbangkan untuk melakukannya di bawah bendera Palestina.
Haddad tinggal di sana pada 2002 dan 2004, dia kemudian menjalin persahabatan dengan Maraheel.
Maraheel saat mencapai garis finis.

Lebih dari seorang pelari

“Kali terakhir saya mengobrol dengannya tentang Atlanta adalah 20 tahun yang lalu, ketika saya tinggal di Gaza,” kenangnya.
“Yang saya ingat adalah dia sadar betapa penting perannya dalam sejarah.”
Selain profilnya sebagai atlet, Haddad percaya bahwa ada hal lain yang membuat Maraheel dihormati.
Stadion Centennial Atlanta saat malam pembukaan Olimpiade 1996.
“Kerendahan hatinya. Dia tidak sombong, dia adalah orang yang setia, dapat dipercaya, dan dia tidak berusaha masuk ke partai.”
Haddad merujuk pada Fatah, sebuah organisasi politik yang didirikan oleh Arafat pada tahun 1950-an, tempat Maraheel mendapat simpati.
“Dia menjalankan perannya dalam sejarah dengan anggun, rendah hati, dan dengan pengabdian tidak hanya kepada orang-orang Palestina. Dia percaya pada tujuan Olimpiade.”

Proses panjang di balik momen bersejarah Maraheel

Ada proses yang panjang dan kompleks di balik momen Maraheel membawa bendera Palestina di Olimpiade.
Sejak era 1970-an, para pemimpin Palestina telah meminta agar Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengakui Komite Olimpiade Palestina (POC). Itu baru terwujud pada 1993.
Momen yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya tiba.
Bagi Ibrahim Awad, seorang profesor Hubungan Internasional dari American University di Kairo, momen tersebut “jelas merupakan ekspresi penegasan kembali identitas Palestina”.
Itu tidak hanya bersejarah bagi Palestina, namun juga bagi dunia Arab.
“Isu Palestina telah menjadi isu Arab sejak digaungkan pada tahun 1920-an hingga 1940-an. Ini bukan sekadar isu Palestina. Selama berdekade, konflik ini telah dianggap sebagai isu Arab-Israel,” kata dia kepada BBC Mundo.
“IOC harus diapresiasi karena memungkinkan persaudaraan yang diwakili oleh gerakan Olimpiade untuk digaungkan.”

Sejarah kelam Olimpiade Munich

Sayangnya bagi sebagian pihak, kehadiran delegasi Palestina di Atlanta sangat kontroversial karena apa yang terjadi pada Olimpiade Munich 1972.
Sebanyak 11 atlet dan pelatih Israel serta seorang polisi Jerman dibunuh dalam serangan yang dilakukan delapan anggota kelompok Black September asal Palestina.
Itu adalah “masa yang sangat kelam,” kata Maraheel dalam artikel yang ditulis Miller.
“Kami telah membuka lembaran baru di mana ada perdamaian. Saya akan berlari untuk perdamaian, perdamaian, dan hanya perdamaian.”
Sebuah plakat di Desa Olimpiade di Munich untuk menghormati delegasi Israel yang tewas saat Olimpiade 1972.
Dalam buku berjudul The File, Origins of the Munich Massacre yang ditulis oleh Haddad berdasarkan ribuan dokumen dan arsip mengenai POC, dia merefleksikan partisipasi Maraheel dalam upacara pembukaan Olimpiade.
“Ketika bendera Palestina dibawa masuk ke dalam stadion untuk pertama kalinya, sulit untuk menggambarkan perasaan penebusan dan harapan yang memenuhi hati banyak orang Israel dan Palestina,” tulis Haddad.
Anak-anak dari para korban Munich berada di tribun dan memberikan tepuk tangan meriah saat Maraheel dan delegasi Palestina memasuki stadion.
Delegasi Israel saat pembukaan Olimpiade Atlanta 1996
Anouk Spitzer, putri pemain anggar Olimpiade Andre Spitzer, yang tewas dalam serangan itu, mengenang momen tersebut dalam film dokumenter ABC Sports.
“Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa segala sesuatunya bisa berbeda dan begitulah seharusnya,” katanya.
“Olimpiade... seharusnya bukan tentang orang-orang yang duduk, diikat di sebuah ruangan, ketakutan dan merasa ngeri, lalu pulang dengan peti mati.”
“Menyatukan orang-orang adalah tujuan Olimpiade dan kami [keluarga korban] bisa melangkah maju dan menghormati atlet-atlet ini, dan setelah itu, mereka juga orang Palestina, tetapi yang pertama dan terutama mereka adalah atlet dan kami menghormati mereka," ujar Spitzer.
Beberapa menit kemudian, giliran delegasi Palestina memasuki lapangan.
Komunitas Yahudi di Atlanta bahkan menggelar peringatan untuk menghormati para korban serangan Munich. Mereka turut mengundang delegasi palestina.
“Mereka bertemu dengan keluarga korban Munich. Majed hadir dalam pertemuan itu,” kata Haddad.
Putri dari Yossef Romano, atlet yang dibunuh dalam serangan itu, juga bercerita bahwa seorang anggota delegasi Palestina mendekatinya dan mengecup keningnya.
“Itu sangat emosional,” kata Oshrat dalam dokumenter tersebut.

Menjadi pelatih

Kehadiran Maraheel di Atlanta juga menginspirasi anak-anak dan remaja Palestina untuk mengikuti jejaknya dalam cabang olahraga ini, kata González del Castillo.
“Setelah Olimpiade, dia terus berkontribusi pada pengembangan atletik di Palestina, melatih bakat-bakat masa depan dan mempromosikan partisipasi Palestina dalam kompetisi internasional.”
Dia mempersiapkan atlet untuk Olimpiade 2008 dan 2012.
Nader el Masri, salah satu atlet yang dilatih oleh Maraheel, mengikuti Olimpiade Beijing 2008.
Pembawa bendera pada Olimpiade London 2012 adalah atlet judo Maher Abu Rmilah. Di sisi kanan belakang, terlihat Maraheel, sebagai salah satu anggota delegasi.
“Warisannya tetap hidup sebagai pengingat akan potensi dan tekad rakyat Palestina, di tengah keterbatasan akibat konflik politik dan militer.”
Haddad, yang mendirikan Federasi Dayung Palestina pada 1998, mengatakan bahwa dia biasanya mengajak para atletnya berlari di lapangan olahraga di Gaza.
Di sana lah dia biasanya bertemu Maraheel.
“Setiap hari saya melatih tim dayung,” kenangnya.
Maraheel sangat disukai oleh para atlet. Dia melatih dan mengarahkan atlet dengan penuh hormat. Dia tidak pernah meninggikan suaranya."
Delapan atlet Palestina diharapkan hadir pada Olimpiade Paris 2024.
Berbicara kepada BBC Mundo, POC mengatakan bahwa Maraheel mengisi jabatan administratif sejak 2017. Tugasnya fokus pada pengembangan atlet baru, dan juga menyelenggarakan kursus untuk pelatih, wasit, dan ofisial.
“Abu Maraheel mewujudkan etika, kerja sama, dan altruisme yang mulia. Dia sering mempersiapkan kamp pelatihan secara pribadi.”

Akhir kisah Maraheel

Maraheel meninggal dunia pada Juni 2024 ketika berusia 61 tahun.
Menurut POC, konflik di Gaza belakangan ini membuat Maraheel yang “sebelumnya tidak memiliki masalah kesehatan, mengalami infeksi parah akibat kekurangan gizi setelah mengungsi dari rumahnya ke kamp al-Nuseirat”.
“Ini menyebabkan gagal ginjal dan tidak ada perawatan medis tersedia. Tragisnya, meskipun dia sempat membaik, kondisinya kemudian memburuk dan dia mengalami koma sebelum meninggal dunia.”