Masalah Kesehatan Intai Suku Baduy Dalam: Kaki Membusuk hingga Tak Ada Bidan

Konten Media Partner
22 Januari 2022 11:46 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Orang-orang Baduy hidup tanpa bersentuhan dengan modernitas.
zoom-in-whitePerbesar
Orang-orang Baduy hidup tanpa bersentuhan dengan modernitas.
Seorang bocah Baduy Dalam mengalami patah tulang selama dua tahun hingga tulang tungkainya membusuk. Relawan dan dokter menyelamatkan gadis cilik itu dari kehilangan kaki, juga nyawanya. Pakar kesehatan masyarakat menilai negara telah gagal memenuhi hak dasar kesehatan warganya.
Hari masih terbilang pagi, tapi Juli telah selesai bersiap untuk berangkat dari rumahnya. Laki-laki berusia 36 tahun itu berjalan bergegas sambil menggendong Atirah, putri keduanya yang berusia enam tahun. Istri Juli, Pulung, mengikuti langkah kakinya di belakang.
Keluarga suku Baduy Dalam ini menuju Klinik Saung Sehat di Kampung Binong Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojong Manik, Kabupaten Lebak, Banten.
Di klinik tersebut, Atirah bakal menjalani operasi kaki, Jumat (17/12/21). Operasi dijadwalkan pukul 14.00 WIB, tapi seperti warga Baduy Dalam lainnya yang tidak pernah berpatokan pada jam sebagai alat penanda waktu, keluarga itu berangkat sepagi mungkin.
Rumah mereka di Kawasan Baduy Dalam, Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar jaraknya empat kilometer dari klinik. Jika berjalan kaki dengan cepat, mereka bisa sampai di sana dalam satu jam.
Ini satu-satunya cara orang Baduy Dalam bepergian, karena naik kendaraan jadi pantangan. Juli, Pulung, dan Atirah menghabiskan perjalanan itu dalam diam. Beruntung, cuaca pagi itu cukup cerah. Jalan tanah merah berkontur naik turun itu bisa mereka lalui dengan mudah, tak selicin bila turun hujan.
Perasaan pria itu campur aduk, mengingat operasi yang akan dijalani putrinya ini adalah yang pertama kalinya akan dilakukan oleh warga Baduy Dalam.
Ada rasa tegang, juga waswas. Tapi terselip juga harapan akan kesembuhan anak bungsunya.

Infeksi hingga membusuk

Suku Baduy Dalam masih memegang kuat adat istiadat yang diwariskan leluhurnya, termasuk menjalankan sejumlah larangan yang tujuannya menjaga kelestarian alam.
Beberapa aturan yang mereka anut hingga kini antara lain tidak menggunakan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, tidak memakai alas kaki, dan tidak menggunakan alat elektronik atau peralatan modern lain.
Seorang pria Baduy bersiap mencari ikan.
Karena itu pula, ketika Atirah mengalami patah tulang akibat terjatuh saat usianya empat tahun, ia tidak dibawa ke dokter.
Juli, sesuai kebiasaan warga Baduy Dalam, mengobati Atirah dengan mendatangkan tukang urut patah tulang. Selama dua tahun Atirah sakit dan tak bisa berjalan, Juli telah mendatangkan setidaknya sepuluh tukang urut.
"Saya bilang, bagaimana ini anak saya, sudah banyak yang pegang tapi tidak ada perubahan," kata Juli.
Tak satu pun tukang urut itu yang bisa menyembuhkan Atirah. Luka di kakinya malah mengalami infeksi sampai membusuk.
Tukang urut terakhir, setelah lima bulan mengurut tanpa hasil, menyerah dan menyarankan gadis itu dibawa ke dokter.
"Ini bukan tulangnya yang rompak [patah], mungkin ada urat yang putus, ada infeksi di dalamnya. Harus dioperasi oleh dokter," tutur Juli menirukan saran si tukang urut.
Namun jangankan dioperasi, membawa Atirah ke dokter saja bukan perkara gampang bagi Juli. Rumah sakit terdekat berada di Rangkas Bitung, yang jaraknya 54 kilometer. Bila berjalan kaki, bisa makan waktu sehari semalam.
Mengendarai mobil atau motor bukan pilihan, karena akan berbuah hukuman adat.
Juli pun menghadapi dilema. Keselamatan anaknya adalah prioritas utama, tapi memegang teguh adat istiadat yang telah ditetapkan secara turun temurun juga merupakan kewajibannya.
"Kalau dibawa ke [rumah sakit di] Rangkas Bitung atau Serang [dengan mobil], ada pertentangan dengan adat. Kalau bisa, dokter ke Binong [lokasi Klinik Saung Sehat], mungkin ada pertimbangan. Namanya kita berusaha untuk anak, daripada tidak bisa berjalan," ungkap Juli.
Apalagi, Juli adalah anak seorang jaro atau pemangku adat di Baduy Dalam. Beberapa kali ia membahas perkara operasi Atirah dengan ayah dan tokoh-tokoh adat lainnya di kampung.
Setelah sebulan berdiskusi, kesepakatan dicapai. Tindakan operasi demi menyelamatkan nyawa Atirah disetujui, namun aturan soal menumpang kendaraan bermotor untuk pergi ke rumah sakit, tidak bisa dilanggar.
Juli kemudian menghubungi Muhammad Arif Kirdiat, yang lalu mengontak ahli bedah ortopedi dr Omat Rachmat Hasbullah. Arif dan Omat adalah relawan tenaga medis yang juga menginisiasi Klinik Saung Sehat.
Operasi perdana untuk anggota suku Baduy Dalam ini dilakukan secara darurat di Klinik Saung Sehat, meski fasilitasnya terbatas.
"Saya rayu dr Omat, akhirnya beliau mau asal disediakan tempat yang steril dan anak dalam kondisi fit saat hari H," kisah Arif.

Dibayar pisang tanduk dan gula aren

Arif mengatakan, ini adalah sejarah, di mana seorang dokter spesialis datang dan melakukan operasi di lokasi.
Ruang klinik seluas 15 meter persegi disulap menjadi ruang operasi darurat yang dilakukan selepas salat Jumat.
Bagi Omat dan timnya, operasi ini "cukup menantang" karena sejumlah hal. Yang tersulit, tentu meyakinkan keluarga sang tetua adat untuk melakukan operasi ini pada Atirah.
"Butuh waktu berminggu-minggu untuk meyakinkan keluarga Jaro Sami [ayah Juli] kalau anak ini butuh tindakan operasi. Dilakukan tindak operasi di tempat itu adalah jalan tengah," kata Omat.
Kampung Binong terletak di Selatan Baduy yang terpencil. Untuk mengaksesnya, butuh mobil khusus yang bisa melalui medan tanjakan dan berbatu-batu.
"Kita bawa ambulans, tapi tidak bisa masuk. Jadi [ambulans] standby di sekitar lima kilometer dari titik lokasi," papar Arif.
Omat dan tim harus berjalan kaki membawa peralatan operasi dan obat-obatan, termasuk linen untuk alas operasi. Tindakan medis ini juga termasuk operasi besar, sehingga mereka butuh membawa peralatan dan obat bius.
Omat dan dua perawat berhasil menyelesaikan operasi dalam waktu dua jam, nyaris tanpa hambatan, meski diwarnai ibu pasien pingsan akibat tidak tahan melihat anaknya dibedah.
Dalam bahasa medis, Atirah mengalami patah tulang dengan infeksi (osteomyelitis) yang sudah meluas dan kronis. Asupan gizi yang kurang turut memperparah kondisinya.
"Kalau tulang membusuk, ancaman paling ringan adalah kehilangan kaki. Paling berat, kalau busuknya semakin meluas jadi sepsis, bisa mengancam nyawa," jelas Omat.
Tindakan bedah di klinik yang berlokasi di perbatasan Baduy dan Kampung Kebon Cau ini menarik atensi warga lokal.
Arif menuturkan, ratusan warga Baduy Dalam turut menunggu proses operasi di luar klinik. Ketika operasi selesai, Juli dan sejumlah warga Baduy lainnya memberi hadiah pisang tanduk, gula aren, dan durian.
Ini, buat Omat, sangat menyentuh hati.
"Saya jadi teringat pesan ibu saya dulu, 'Nanti suatu saat setelah jadi dokter, meskipun kamu dibayar dengan ayam, hasil-hasil alam, tapi kepuasannya akan jauh luar biasa dibandingkan dibayar dengan rupiah'.
"Saya mengalami sendiri kemarin. Ucapan terima kasih mereka kelihatan tulus sekali. Gula, pisang tanduk, itu luar biasa. Baru pertama kali saya dibayar seperti itu," ungkap Omat.
Tiga minggu pascaoperasi, kondisi Atirah dilaporkan semakin membaik. Pada pemeriksaan Jumat (31/12/21), Omat mengatakan, lukanya sudah sembuh dan tanda-tanda infeksi sudah hilang. Tulang tungkai yang patah dimobilisasi dengan gips.
"Pada anak-anak [tulang] cepat nyambung, kalau infeksinya sudah diatasi," kata dokter spesialis ortopedi di tiga rumah sakit di Kota Serang, Banten ini.
Keadaan Atirah yang semakin membaik ini membuat Juli lega. Menurut dia, Atirah kini sedang dilatih berjalan. Kepada dokter dan relawan yang telah membantu menyembuhkan anaknya, Juli menyampaikan pesan singkat.
"Saya mah bilang hatur nuhun saja," kata Juli lirih.

Setiap bulan ada bayi meninggal

Atirah bukan satu-satunya kasus medis di komunitas Baduy Dalam yang harus ditangani tim medis secara "on the spot".
Setelah operasi Atirah yang sukses, tim medis dan relawan Klinik Saung Sehat kembali mendatangi pasien di Kampung Cibeo, seorang laki-laki yang mengalami retensi urin karena pembesaran kelenjar prostat.
"Pasien sudah 20 hari tidak bisa buang air besar dan kecil. Kondisi perut sudah membesar karena air dari kandung kemih tidak bisa keluar," sebut Arif yang juga mendampingi tim medis.
Pasien yang berusia 60 tahun ini, lanjut Arif, awalnya mau dioperasi, tapi adat melarangnya. Akhirnya, pasien hanya dipasang kateter dan diberi obat.
"Alhamdulillah langsung kempes perutnya dan air kencing keluar empat kantung," jelas Arif.
Berbeda dengan Atirah yang merupakan cucu salah satu ketua adat, pasien ini adalah warga biasa yang proses persetujuan untuk operasi harus melibatkan diskusi dengan lebih banyak pihak.
Sementara, kondisinya sudah tak bisa menunggu lama.
Arif berkata, kurangnya edukasi tentang kesehatan dan kegawatdaruratan di Baduy membuat banyak warga belum paham.
"Jika mereka belum paham, maka penolakan pasti ada. Mereka takut dengan operasi dan penggunaan obat bius. Tapi jika dijelaskan, mau juga," kata Arif.
Namun masalah adat dan pengetahuan hanya satu dari sejumlah persoalan yang menghambat pemenuhan hak kesehatan dasar warga Baduy. Faktor lainnya adalah minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan.
Ini menimbulkan kerawanan Angka Kematian Anak (AKA) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Arif mencontohkan, tak jarang ibu melahirkan yang harus dioperasi sesar ditandu dengan kayu dan kain sarung.
"Pernah ada pasien ibu hamil yang dihukum adat karena naik mobil ambulance saat melahirkan. Sekarang agar tidak dihukum adat, maka dokter kita ajak ke Baduy," kata Arif.
"Baduy sangat pelosok dan data yang dimiliki pemerintah tidak lengkap," kata Arif.
Untuk data AKI dan AKA, misalnya, pemerintah menyebutkan rata-rata dua sampai tiga per tahun. Namun Arif curiga, angka ini tak mencerminkan keadaan sebenarnya.
"Ketika sekarang kita mengadakan layanan kesehatan keliling, hampir setiap bulan ada bayi yang meninggal, ada anak-anak yang meninggal," tuturnya.
Meski dikelilingi kota besar dan modern — jaraknya hanya sekitar 57 kilometer dari Kantor Bupati Lebak — Baduy terasa seperti daerah terpencil dan terpelosok.

Tak ada bidan dan puskesmas

Suku Baduy Dalam tersebar di tiga kampung, yakni Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik, yang masuk dalam wilayah Desa Kanekes.
Hanya ada satu puskesmas pembantu (pustu) bagi warga Desa Kanekes, tapi larangan adanya bangunan permanen di kawasan Baduy Dalam membuat fasilitas kesehatan itu dibangun di perbatasan desa, empat kilometer dari Kampung Cibeo.
Tapi tak ada tenaga kesehatan yang bertugas di situ. Praktis, bangunan itu terbengkalai.
"Sudah hampir dua tahun ini tidak berfungsi karena tidak ada tenaga medis, tidak ada bidan," ungkap Arif yang telah aktif menjadi relawan di Baduy sejak 2002.
Dua bulan lalu, ketika Menteri BUMN Erick Thohir datang ke Baduy, Arif mengaku sempat meminta dukungan pengadaan alat dan layanan kesehatan untuk pustu. Kala itu, lanjut dia, Erick mengiyakan.
"Ya, namanya BUMN [mungkin] kebanyakan prosedur, jadi agak lama untuk memulai kembali pustu. Padahal teman-teman bidan juga mau [membantu]," tukas Arif.
Namun para bidan yang bersedia membantu pustu, menurut dia, juga diberikan tugas ganda untuk bertugas di puskesmas induk. Itu menyebabkan para bidan terkendala waktu dan biaya.
"Mereka harus tetap kerja di puskesmas induk yang perjalanannya satu jam naik motor. Akhirnya mereka, 'Sudahlah tidak usah ke pustu, di puskesmas induk saja'. Capek tidak ada uangnya," kata Arif menyebutkan, bidan honorer di puskesmas hanya digaji Rp800 ribu per bulan.
Kondisi itu yang mendorong Arif mendirikan Klinik Saung Sehat, melalui Yayasan Sahabat Relawan Indonesia, sebuah fasilitas kesehatan alternatif untuk warga Baduy Dalam.
Klinik ini mulanya sebuah ruangan dengan toilet yang dibangun sebagai tempat transit menuju Cibeo. Dengan dukungan Alfamart, bangunan itu disulap menjadi sebuah klinik pada Oktober 2021.
Warga Baduy Luar bisa mencapai klinik dengan lima menit berjalan kaki, sementara warga Baduy Dalam, selama sekitar 45 menit.
Arif juga menggaji bidan sebesar Rp1,5 juta per bulan untuk ditempatkan di sana.
"Itu pun masih di bawah UMK [Upah Minimum Kabupaten], tapi mau bagaimana lagi," kata pria 44 tahun ini.
Tim relawan yang terdiri dari dokter, bidan, dan aktivis lainnya juga membuat Program Baduy Sehat dengan mengaktifkan kembali puskesmas keliling dan posyandu keliling.
Potret anak-anak Suku Baduy sedang menari.
Setiap hari, ujar Arif, sekitar 10-15 pasien Baduy datang berobat. Semuanya dilayani tanpa biaya.
"Yang penting mereka percaya dulu pada pengobatan medis. Tidak semua orang Baduy percaya pada pengobatan medis. Mereka masih percaya pada jampe-jampe dan paraji," cerita Arif.
Selama kurang lebih tiga bulan klinik berjalan, ungkap Arif, ia mulai bisa melihat persoalan kesehatan warga Baduy — mulai dari cacingan hingga penyakit kulit langka, frambusia atau patek.
"Frambusia ini kan penyakit kulit purba yang seharusnya sudah tidak ada lagi. Selain itu, penyakit paru yang kita khawatirkan, penyakit TB (tuberculosis), termasuk stunting dan gizi buruk juga ada di Baduy," terang Arif.
Mayoritas penyakit yang diderita warga Baduy yang jumlahnya sekitar 15 ribu itu, lanjut Arif lagi, terkait dengan pola hidup bersih sehat.
"Selama ini, orang kebanyakan termakan mitos, kalau Baduy itu kebal, sehat terus. Ternyata tidak juga," sebut Arif.
"Jadi kenyataannya, Baduy itu tidak seindah yang ada di foto atau video. Mereka butuh advokasi dan pendampingan."

'Negara belum terlalu hadir'

Pakar Kesehatan Masyarakat, Irvan Afriandi mengatakan, kasus Atirah bisa menjadi cermin dan pelajaran, apakah konstitusi negara tentang pemenuhan hak dasar masyarakatnya telah dijalankan oleh pemerintah daerah, maupun pusat.
Kondisi fasilitas kesehatan yang minim, akses yang sulit, dan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, menurut Irvan, mengindikasikan negara belum terlalu hadir dalam memenuhi hak dasar kesehatan warga Baduy.
Seorang pemuda Baduy menguliti kayu untuk dijual.
"Kalau negara hadir, seharusnya ada semacam pemantauan berkala, karena mereka punya kekhasan dari sisi adat," kata Wakil Dekan Universitas Padjadjaran ini.
Selain pemantauan, laporan masalah kesehatan juga harus dibuka secara berkala untuk mengetahui "Apa pun masalah kesehatannya".
Pemerintah, lanjut dia, juga punya kewajiban menerbitkan regulasi agar ketersediaan tenaga kesehatan dan kemampuan masyarakat mengaksesnya terpenuhi, dengan mengacu pada rasio dokter terhadap masyarakat 1:2500.
Pemerintah Kabupaten Lebak, kata Irvan, bertanggung jawab mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah Baduy. Jika tidak ada anggaran, dia bilang, Pemkab Lebak seharusnya bisa meminta bantuan ke pemerintah provinsi atau pusat.
"Ketika distribusi tenaga kesehatan tidak memenuhi standar yang diharapkan, itu jadi masalah. Ketika pemerintah tidak bisa memastikan ketersediaan dokter atau tenaga kesehatan yang bisa mengakses masyarakat, itu sebetulnya kegagalan pemerintah," cetus Irvan.
Di sisi lain, imbuh Irvan, pemanfaatan layanan kesehatan juga harus dimulai dari kemauan dari masyarakat Baduy itu sendiri.
Adanya kendala budaya dan adat yang diyakini suku Baduy, kata Irvan, bisa dihadapi pemerintah dengan menerapkan strategi khusus. Misalnya, melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk menjadi "agen" dalam mengedukasi kesehatan kepada warganya.
Menurut Irvan, pemerintah harus memahami dan menghargai adat yang diusung warga Baduy, sepanjang penerapannya tidak mengancam jiwa.
Namun jika bisa mengancam jiwa, secara etika kedokteran, pemerintah atau pihak terkait punya tanggung jawab moral untuk memberi pemahaman.
"Itu dilakukan tidak? Kalau atas nama mempertahankan budaya, tapi kita tidak melakukan upaya meningkatkan literasi, artinya kita memberikan kesempatan bagi sebagian warga negara tertinggal dalam proses pembangunan."
"Kalau sampai ada yang neglected dua tahun (kasus Atirah), seyogyanya tidak terjadi kembali di masa depan," pungkas Irvan.
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Triyatno Supiono untuk dimintai tanggapannya, tapi hingga tulisan ini diturunkan belum mendapat jawaban.
---
Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra, berkontribusi pada liputan ini.