Mengapa Banyak Pegawai Ragu Cuti Sakit di Era Work From Home?

Konten Media Partner
17 Mei 2022 13:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengapa Banyak Pegawai Ragu Cuti Sakit di Era Work From Home?
zoom-in-whitePerbesar
Sebelum pandemi, pegawai yang sakit kerap tetap datang ke kantor. Mereka batuk sekaligus kesulitan menangani beban kerja.
Untungnya pada masa ini, pegawai yang sakit dapat bekerja dari jarak jauh. Mereka menyimpan bakteri dan virus untuk diri mereka sendiri.
Namun pergeseran tren ini menimbulkan dilema baru bagi para pekerja. Sakitnya seperti apa yang memungkinkan Anda tidak bekerja saat segala urusan kantor telah dipindah ke rumah?
Sebelum sistem kerja dari jarak jauh menjadi tren, pegawai biasanya memiliki dua pilihan saat mereka sakit: tetap semangat dan ke kantor meski merasa tidak enak badan atau tetap di rumah dan meninggalkan seluruh pekerjaan untuk hari itu.
Jika memilih opsi pertama, pegawai yang sakit tetap bekerja dan menyenangkan atasan. Sementara opsi dua memungkinkan pekerja untuk memulihkan kesehatan.
Namun sekarang pilihannya tidak sesederhana itu. Pilek dan flu bisa melemahkan fisik dan membuat banyak orang tidak bugar untuk naik kereta dan berangkat kerja.
Namun bagi pegawai dengan setumpuk pekerjaan yang dapat bekerja dari rumah mungkin tergoda untuk terus mengirim email dan melakukan tugas sehari-hari sambil terbatuk-batuk di sofa. Mereka memilih ini ketimbang mengambil waktu yang tepat untuk beristirahat.
Ini adalah masalah yang kini umum terjadi karena sistem yang memungkinkan pegawai bekerja dari luar kantor.
Data jajak pendapat dari AS menunjukkan, dua pertiga pekerja merasa sistem ini menambah tekanan untuk bekerja saat mereka sakit.
Survei lain menunjukkan, proporsi yang sama merasa berkewajiban untuk tetap bekerja dari jarak jauh, bahkan jika mereka sakit.
Di Inggris, ketidakhadiran karena sakit mencapai rekor terendah pada tahun 2020, karena orang-orang bekerja dari rumah. Namun angkanya sedikit meningkat pada tahun 2021, sebagian karena peningkatan kasus Covid-19.
Saat ini, data menunjukkan banyak pegawai yang sakit tetap bekerja masuk dari rumah. Hari sakit yang 'tepat' menjadi semakin langka.
Para ahli mengatakan, baik perusahaan maupun pekerja perlu memikirkan perubahan ini, termasuk implikasinya terhadap produktivitas, budaya perusahaan, dan kesejahteraan pekerja - sebelum ini menjadi praktik yang mengakar.

Hari sakit tak berbeda dengan hari lainnya

Orang selalu bekerja saat sakit. Ketidakhadiran pegawai karena sakit menurun sebelum pandemi, baik di negara yang tidak mengatur cuti sakit berbayar seperti AS maupun di negara yang menjamin izin sakit berbayar seperti Inggris.
Namun sistem kerja dari jarak jauh memungkinkan pegawai yang sakit untuk membuka laptop dan bekerja dari tempat tidur. Ini memaksa mereka melewatkan hari sakit demi tingkat kehadiran.
Pada awal pandemi, kecemasan pegawai pada pemutusan hubungan kerja, ditambah rasa bersalah dan rasa takut tertinggal dari rekan sejawat, menyebabkan banyak pekerja tetap masuk saat sakit.
Tren itu terus berlanjut, bahkan ketika situasi akibat pandemi telah stabil. Sistem kerja di luar kantor yang diterapkan secara luas telah membuat segalanya menjadi lebih rumit: kita semua tahu orang-orang yang bekerja dari rumah saat sakit, jika kita tidak melakukannya sendiri.
Pekerjaan jarak jauh telah membuat keputusan mengenai kapan atau mengapa tidak izin dari pekerjaan saat sakit lebih sulit, kata Brittany Lambert, asisten profesor manajemen dan kewirausahaan di Kelley School of Business, Indiana University, Amerika Serikat.
"Batas, aturan dan struktur yang mengatur cara kita berpikir tentang pekerjaan, dalam banyak hal sudah berubah secara mendasar," ujarnya.
Saat ini, jika Anda bekerja dari rumah, hari sakit bisa terasa sama seperti hari-hari lainnya. Jadi para pekerja menganggap batas-batas mengambil cuti sakit sudah dinaikkan, kata Ann Frost, Ivey Business School at Western University, Kanada.
"Jika saya batuk parah dan saya sedang pilek, saya tidak ingin bersama rekan-rekan saya," ujarnya.
"Namun bisakah saya tetap bertahan dan menyelesaikan proyek yang seharusnya saya lakukan? Saya yakin Anda akan menanggap saya semestinya tetap bekerja," kata Frost.
Dalam beberapa kasus, pegawai hanya merasa bahwa tertular Covid-19 adalah alasan yang cukup baik untuk membenarkan cuti sakit selama pandemi, walau itu pun sebenarnya bisa diperdebatkan.
Greg Couser, dokter kedokteran okupasi di Mayo Clinic di Minnesota, AS, salah satu organisasi kesehatan terbesar di negara itu, menggarisbawahi kurangnya kejelasan tentang penyakit antara atasan dan pegawai.
"Masalahnya adalah ekspektasi di tempat kerja. Dan sepertinya ekspektasi itu telah berubah. Menurut saya aturan dasarnya belum benar-benar ditetapkan," ujarnya.
Banyak pegawai merasa bersalah jika absen bekerja meski tengah sakit.

Peran budaya perusahaan

Dengan tidak adanya aturan dasar, beberapa pegawai mungkin melihat evolusi gabungan hari kerja dan sakit sebagai hal yang positif.
Apabila Anda menderita penyakit ringan, Anda dapat merawat diri sendiri di rumah, sambil tetap menyelesaikan pekerjaan. Itu berarti Anda tidak mengecewakan siapa pun dan kecil kemungkinannya akan ada tumpukan pekerjaan saat Anda pulih.
Namun ada beberapa alasan mengapa mungkin lebih baik mengambil jeda yang tepat untuk pulih dari penyakit.
Data telah lama menunjukkan bahwa bekerja saat sakit menyebabkan kinerja yang lebih buruk.
Penelitian juga menunjukkan hubungan antara tidak mengambil cuti sakit dan peningkatan risiko depresi.
Adapun sebuah studi tahun 2022 menunjukkan bahwa bekerja dari rumah sakit membuat pegawai merasa lebih bersalah daripada jika mereka baru saja mengambil cuti sakit.
Lebih dari itu, bekerja dari jarak jauh saat sakit dapat menyebabkan kelelahan yang lebih akut, kata Couser.
"Inti dari semua ini adalah orang tidak akan menjadi lebih baik, mereka akan menjadi lebih sakit, mereka akan menjadi lebih stres dan akan ada segala macam konsekuensi yang bahkan tidak kita ketahui," kata Couser.
Terdapat kepentingan perusahaan untuk mendorong pegawai mengambil cuti sakit. Meskipun barangkali ada keuntungan jangka pendek dalam wujud produktivitas, tren itu bisa menyebabkan kerugian jangka panjang.
Tentu saja, pandemi telah memicu lebih banyak otonomi dan fleksibilitas pekerja, yang berarti bahwa jika seseorang ingin bekerja dari jarak jauh saat sakit, mereka dapat menjalankannya. Semua terserah mereka.
Namun menurut para ahli, keputusan itu akan sangat dipengaruhi oleh budaya perusahaan dan pesan yang dinyatakan para pemimpin, baik secara eksplisit maupun implisit.
"Jika atasan berkata, 'Anda bisa bekerja dari rumah, jika Anda batuk dan demam, minum obat dan naik ke tempat tidur dan Anda akan baik-baik saja' - itu situasi yang buruk," kata Frost.
"Itu budaya yang buruk. Siapa yang mau bekerja di perusahaan seperti itu?" ujarnya.
Setiap orang memiliki cara berbeda dalam menghadapi penyakit, kata Frost. Sebuah penyakit yang melemahkan seseorang mungkin tidak berdampak pada orang lain.
Melihat rekan bekerja saat sakit dapat mendorong pegawai lain untuk melakukan hal yang sama.
Itu sebabnya, menurut Frost, peran organisasi adalah kunci budaya positif yang melindungi hak pegawai untuk cuti sakit saat sakit, terutama ketika sistem kerja dari rumah diberlakukan.

Waktunya mempertimbangkan ulang kebijakan?

Seperti banyak aspek dalam pekerjaan sejak pandemi Covid-19, baik pengusaha maupun pegawai masih beradaptasi pada perubahan ini. Mungkin perlu waktu untuk menerapkan kebijakan terbaik untuk pegawai yang sakit saat mereka bekerja dari jarak jauh.
Couser berkata, perusahaan memiliki kepentingan terbesar untuk menyiasati masalah ini.
Jika pegawai tidak merasa cukup didukung, mereka mungkin akan mengundurkan diri, terutama dalam iklim kerja saat ini.
"Pegawai akan mencari tahu dengan cepat perusahaan mana yang benar-benar memiliki budaya yang mendukung mereka saat sakit," ujarnya.
Sementara itu Lambert menyebut pegawai dapat memainkan peran dalam menemukan keseimbangan mereka sendiri.
"Saya pikir hal terpenting yang dapat Anda lakukan sebagai individu adalah mencari tahu apa yang baik untuk Anda, yaitu bekerja di lingkungan yang mendukung perkembangan Anda.
"Jadi jika bekerja saat sakit membuat Anda merasa berkembang, lakukanlah. Namun saya akan menyarankan: lakukan itu dengan hati-hati."
Namun Lambert mengatakan, manajer bertanggung jawab untuk memfasilitasi komunikasi, mendukung pegawai, dan membangun budaya yang mengutamakan kesehatan pekerja.
Jika tanggung jawab itu tidak dijalankan, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, produktivitas pegawai berisiko menurun.
Melindungi dan mendorong pegawai mengambil cuti sakit menguntungkan semua orang. Dan sekarang adalah waktu yang penting untuk melakukan hal itu.
Seperti yang dikatakan Lambert, "Saya pikir kita berada dalam periode kalibrasi ulang dan memiliki peluang besar untuk mendefinisikan kembali apa makna cuti sakit."
"Dan bisa jadi, untuk melayani kepentingan para pihak dengan lebih baik, termasuk orang-orang yang bekerja untuk mereka," kata Lambert.
---
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris diBBC Worklife.