Mengapa Dollar Amerika Serikat Terus Menguat dan Apa Dampaknya?

Konten Media Partner
28 September 2022 12:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mata uang dolar Amerika Serikat adalah yang terkuat selama dua dekade, dibandingkan dengan mata uang utama lainnya.
zoom-in-whitePerbesar
Mata uang dolar Amerika Serikat adalah yang terkuat selama dua dekade, dibandingkan dengan mata uang utama lainnya.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dollar Amerika Serikat mencapai titik terkuat selama dua dekade jika dibandingkan dengan mata uang utama lainnya.
Itu artinya membeli dollar AS akan jauh lebih mahal, dan dollar AS dapat membeli mata uang lainnya dalam jumlah lebih banyak, seperti pound sterling, euro, atau yen.
Hal tersebut sudah pasti bakal memengaruhi urusan bisnis dan rumah tangga di seluruh dunia.

Seberapa kuat dollar AS?

Indeks dolar (DXY) --yang mengukur dollar AS terhadap rata-rata enam mata uang utama lainnya termasuk euro, pound sterling dan yen-- telah meningkat 15% pada tahun 2022.
Dengan ukuran itu, kini dollar AS berada pada level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Mengapa dollar AS begitu kuat?

Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga beberapa kali tahun ini demi mengatasi kenaikan harga. Akibatnya biaya meminjam uang menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, Anda akan mendapatkan lebih banyak uang jika Anda hendak mencairkan produk investasi keuangan seperti obligasi pemerintah AS --yang sudah pasti menarik bagi investor.
Obligasi adalah surat utang jangka menengah maupun jangka panjang yang dapat diperjualbelikan.
Obligasi berisi janji dari pihak yang menerbitkan Efek untuk membayar imbalan berupa bunga (kupon) pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada akhir waktu yang telah ditentukan, kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Investasi keuangan ini umumnya dianggap sangat aman.
Pada Juli 2022 saja, investor asing membeli obligasi pemerintah AS bernilai US$10,2 miliar (Rp154 triliun), dan sekarang naik jadi US$7,5 triliun (Rp113 kuadriliun).
Ada desakan untuk membeli obligasi pemerintah AS di Wall Street.
Investor harus membeli dollar AS untuk mendapatkan obligasi ini, dan permintaan itu turut meningkatkan nilai dollar AS.
Ketika investor memutuskan menjual mata uang lain untuk membeli dollar, nilai mata uang lain itu menjadi turun.
Sementara itu, pound sterling anjlok ke level terendah setelah pemerintah Inggris mengumumkan pemotongan pajak yang besar.
Investor juga cenderung membeli dollar AS saat ekonomi global sedang tertekan, lantaran besarnya perekonomian dan wilayah AS membuat dollar sebagai "safe haven" atau aset yang aman. Hal itu juga ikut menaikkan nilai dollar AS.
Banyak perekonomian di Eropa dan Asia sedang berjuang akibat anjloknya harga gas yang disebabkan konflik di Ukraina.
Adapun AS belum mengalami pukulan keras akibat kenaikan harga energi. Meskipun ekonominya telah menyusut dalam enam bulan terakhir, sektor bisnis di AS masih terus merekrut pegawai --suatu hal yang dipandang sebagai tanda kepercayaan investor terhadap perekonomian setempat.
Akan tetapi, dollar yang kuat justru merugikan perusahaan AS yang menghasilkan uang dari berbagai kawasan di dunia, seperti Apple dan Starbucks.
Diperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika yang berdagang di indeks pasar saham S&P 500 bisa kehilangan US$100 miliar dalam penjualan internasional.

Apa pengaruh dollar yang sedang menguat terhadap negara-negara dengan mata uang yang lemah?

Negara-negara dengan mata uang yang lebih lemah bisa mendapatkan keuntungan dari dollar yang kuat, karena negara-negara tersebut menyediakan jasa dan menjual barang ke AS dengan harga lebih murah. Itu sama artinya mengerek ekspor.
Akan tetapi, itu juga berarti barang-barang yang diimpor dari Amerika jadi lebih mahal.
Karena harga minyak diperdagangkan dalam dollar AS, harga bahan bakar minyak saat ini lebih mahal di banyak negara di dunia.
Di Kenya, misalnya, mata uang shilling jatuh ke rekor terendah terhadap dollar AS. Harga BBM pun naik hampir 40% sejak awal 2022.
Dolar yang menguat membuat harga bahan bakar lebih mahal di negara-negara seperti Kenya.
Pemerintah dan perusahaan di banyak negara juga sering meminjam uang dalam dollar AS daripada mata uang mereka sendiri karena lebih stabil.
Sebab ketika nilai dollar AS meningkat, akan lebih mahal membayar utang tersebut jika menggunakan mata uang lokal.
Pemerintah Argentina sangat terpukul oleh dollar yang menguat. Negara itu pun melarang impor barang untuk sementara, termasuk kapal pesiar dan wiski demi melindungi cadangan devisa.

Bagaimana dengan pekerja migran yang mengirim dollar AS?

Setiap tahun orang yang bekerja di luar negeri mengirim sekitar US$625 miliar (Rp 9,4 kuadriliun) ke negara asal. Pengiriman uang ini sangat vital bagi perekonomian lokal.
Pekerja asing di AS sendiri diperkirakan mengirimkan sekitar US$150 miliar per tahun: lebih dari US$30 miliar ke Meksiko, US$16 miliar ke China, US$11 miliar ke India dan Filipina.
Semakin kuat dollar AS, semakin banyak mata uang lain yang dapat dibeli. Ini membuat penerima kiriman uang dollar AS menjadi lebih baik.
Bernadette Cruz tinggal bersama tiga putranya di San Jose City di Filipina.
Keluarga itu bergantung pada dollar yang dikirim suaminya, Fred, dari New York - tempat dia bekerja sebagai perawat selama 18 tahun terakhir.
Sementara, nilai tukar dollar telah naik 13,5% terhadap mata uang peso Filipina. "Semua komoditas naik harganya di Filipina, termasuk makanan dan jasa," kata Bernadette.
"Tapi dollar yang sedang tinggi, sangat membantu saya membeli barang-barang yang kami butuhkan. Uang tersebut membuat pengorbanan suami saya yang berada di luar negeri jadi lebih berharga."

Apa yang dilakukan negara-negara terhadap dollar AS yang kuat?

Banyak negara di dunia mencoba meningkatkan nilai mata uang mereka sendiri dengan menaikkan suku bunga.
Di Argentina, suku bunga acuan bank sentral saat ini 69,5%. Di Ghana 19%, Nigeria 14%, dan di Brasil 13,75%.
Namun suku bunga yang lebih tinggi membuat makin mahal bagi kalangan pengusaha dan rumah tangga untuk meminjam uang.
Perusahaan bisa kesulitan berkembang dan sangat mungkin memecat pekerjanya. Sedangkan rumah tangga terpaksa mengurangi pengeluaran.
Pada gilirannya, kondisi seperti ini dapat menyebabkan ekonomi tergelincir ke dalam resesi.