Mengapa Kita Semakin Terbiasa dengan Kerja Lembur Tanpa Dibayar?

Konten Media Partner
24 Oktober 2021 9:07 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengapa Kita Semakin Terbiasa dengan Kerja Lembur Tanpa Dibayar?
zoom-in-whitePerbesar
Kita kini bekerja lebih lama dari sebelumnya, baik untuk membuka dan membalas email saat larut malam atau menerima telepon pada pagi hari. Bagaimana aktivitas di luar jam yang tidak dibayar ini bisa menjadi bagian dari pekerjaan kita?
Ketika Erik mengambil pekerjaan pertamanya sebagai asisten pengacara di sebuah firma hukum internasional, dia tahu aturan jam kerja normal dari pukul sembilan pagi hingga lima sore tidak berlaku.
Berbasis di Hong Kong, kantor hukumnya bergengsi tapi juga terkenal kejam dalam hal mempekerjakan pegawai baru. Beban kerja yang mengerikan hingga larut malam tidak bisa dinegosiasikan.
"Itu hanya berlaku dalam industri hukum. Umumnya pengacara tidak dibayar untuk jam lembur. Kadang-kadang, saya harus begadang," kata Erik.
Erik sekarang bekerja di Beijing, China dan masuk ke jenjang karier yang lebih tinggi. Dia kini menghadapi lebih sedikit pekerjaan yang harus dia tuntaskan hingga pagi hari berikutnya.
Namun, pekan kerja konvensional tetap sulit dipahami. "Bekerja selama 40 jam seminggu akan menjadi pekan yang ringan bagi saya," kata Erik.
"Jam kerja saya bergantung pada kebutuhan klien. Saya tidak memiliki pilihan untuk bekerja lebih sedikit."
Hari-hari yang berlarut-larut di meja kerja dengan cepat terakumulasi. Di Inggris, sebelum pandemi, lebih dari lima juta pekerja rata-rata menjalani lembur hingga 7,6 jam seminggu.
Itu setara 35 miliar poundsterling (Rp680 triliun) dalam bentuk lembur yang tidak dibayar.
Sekarang, menurut angka global dari ADP Research Institute, satu dari 10 orang mengatakan mereka lembur hingga 20 jam seminggu tanpa dibayar. Rata-rata, pekerja menjalani 9,2 jam lembur yang tidak dibayar setiap minggu.
Di seluruh dunia, tingkat lembur meningkat tajam setelah pandemi Covid-19. Jumlahnya meningkat dua kali lipat di kawasan Amerika Utara.
Kerja jarak jauh telah meningkatkan masalah. Rata-rata hari kerja secara global diperpanjang hampir dua jam.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pemberi kerja di Inggris mengakui bahwa staf mereka bekerja dengan jam tambahan yang tidak dibayar setiap hari.
Pekerja dapat mengaitkan kenaikan lembur dengan hilangnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Selama pandemi, perjalanan dari rumah ke kantor, bangunan kantor secara fisik dan jam istirahat makan siang tidak dirasakan banyak pekerja kerah putih.
Mereka juga tidak memiliki batas yang jelas kapan memulai dan menyelesaikan jam kerja. Mereka membuka email saat sarapan. Jam kerja berlanjut hingga malam hari. Rapat melalui Zoom bahkan juga berlangsung hingga dini hari.
Bagi banyak pekerja, lembur di luar jam kerja telah menjadi harapan, bukan pengecualian. Namun ini jarang secara eksplisit dijabarkan secara lisan, apalagi secara tertulis.
Sebaliknya, ini adalah pemahaman yang diam-diam disepakati antara majikan dan karyawan: lupakan jam kerja, Anda baru bisa keluar dari jam kerja setelah benar-benar menyelesaikan tugas pada hari itu.
Tapi bagaimana situasinya bisa seperti ini dan apa yang terjadi selanjutnya?

Akar masalah

Pandemi Covid-19 mungkin telah memperburuk masalah, tapi lembur yang tidak dibayar telah menjadi bagian dari banyak pekerjaan selama beberapa dekade.
Di era industri, karyawan memiliki jam tetap mingguan. Jika mereka bekerja di luar jam kerja, berarti mereka akan mendapat upah tambahan.
Namun pada pertengahan abad ke-20, budaya kantor berkembang pesat dan muncul pula rentang gaji pekerja kelas menengah. Jumlah pekerjaan yang diukur dengan target yang dikurangi.
Di tempat kerja modern, tanggung jawab tidak lagi dapat digambarkan dengan rapi seperti yang terjadi di pabrik. Ambiguitas tentang kapan pekerjaan 'selesai' memunculkan lembur yang tidak dibayar.
Fakta bahwa perusahaan mendasarkan jam kantor mereka pada delapan jam kerja dapat dibaca bahwa pekerja kerah putih menghabiskan waktu terlalu lama di meja mereka.
"Jenis pekerjaan yang banyak kita lakukan saat ini, pekerjaan intensif di depan komputer, secara kognitif tidak dapat dilakukan lebih dari lima jam sehari," kata Abigail Marks, profesor masa depan pekerjaan di Newcastle University Business School, Inggris.
Namun terlepas dari ini, hari kerja secara bertahap menjadi lebih lama.
Grace Lordan, profesor ilmu perilaku di London School of Economics, menyoroti tahun 1980-an sebagai titik balik tren ini.
Di Inggris dan AS, Thatcherism dan Wall Street mempopulerkan gagasan jam kerja yang semakin panjang. Jika Anda menginginkan promosi besar itu, Anda harus mengabdikan diri di tempat kerja.
Bekerja lembur menjadi simbol status.
"Pada dasarnya ini terjadi karena anggapan campur aduk bahwa jam kerja yang lebih lama terkait dengan produktivitas," kata Lordan.
"Pada 1950-an, pekerja kantoran bisa makan malam dengan keluarga mereka. Pada 1990-an, mereka dikatakan beruntung jika bisa melakukannya pada akhir pekan."
Ketika ekonomi mengglobal, jam kerja hanya berjalan satu arah. Tapi kemudian teknologi menjadi akselerator.
Pada tahun 2010-an, setiap orang terkungkung secara digital dan terhubung dengan pekerjaan pada pagi, siang dan malam.
Selalu ada email masuk. Panggilan dan pesan terkait pekerjaan menyerbu alat komunikasi yang sama yang digunakan orang untuk bersosialisasi.
"Ponsel pintar adalah lonceng kematian untuk jam kerja," kata Marks.
"Segera setelah Anda memasukkan email kantor ke ponsel Anda, orang-orang akan memanfaatkannya. Kemudian, Anda membiasakan diri untuk selalu menyediakan diri bagi kantor."

Bagaimana kita menormalisasi kerja yang berlebihan

Sejak pandemi melanda, urusan kantor beralih ke digital. Pekerjaan jarak jauh telah menciptakan lingkungan di mana manajer dapat memanggil staf sepanjang waktu. "Saya diharapkan untuk menanggapi permintaan klien," kata Erik.
Meskipun itu mungkin tidak lagi mengharuskan Anda begadang, bekerja hingga dini hari terus berlanjut.
"Sebagian besar waktu, saya berhasil berkoordinasi dengan klien di zona waktu yang berbeda. Tetapi jika kita menutup transaksi, saya mungkin harus tetap terlambat," ujar Erik.
Kita benci mengatakan tidak. Jika bos mengharapkan kita menelepon menjawab email di luar jam kerja, kita cenderung menurutinya.
Di beberapa negara, ekspektasi budaya dimasukkan ke dalam jam kantor yang berlebihan. Di Jepang, misalnya, kerja berlebihan adalah mata uang profesional yang penting.
"Di sini, kerja keras menunjukkan bahwa Anda adalah karyawan yang setia," kata Jeff Kingston, direktur jurusan Studi Asia di Temple University, Tokyo.
"Dan itu berarti bos Anda lebih mungkin untuk mempercepat promosi karier Anda. Bekerja keras dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengesankan atasan dipandang sebagai kebajikan yang nyata."
Di tempat lain, bekerja berjam-jam dapat menjadi produk dari tekanan teman sebaya, keinginan untuk maju atau bereaksi terhadap lingkungan kita. "Kita gemar mengikuti orang lain," kata Lordan.
"Pada hari pertama Anda di pekerjaan baru Anda, Anda mencari isyarat sosial non-verbal untuk menyesuaikan diri. Jika ada orang yang bekerja lembur atau sampai akhir pekan, Anda cenderung meniru perilaku itu."
Kita juga benci mengatakan tidak. Jika bos mengirim email setelah jam kerja, kita membalasnya.
Jika ada panggilan Zoom pukul enam pagi, kita tidak menolaknya. Jika kita harus bekerja lembur, kita lebih baik melakukannya daripada ribut, bahkan jika komitmen tersebut tidak tercermin dalam gaji kita.
"Itu tertanam dalam karyawan," kata Marks.
"Orang-orang selalu takut kehilangan pekerjaan mereka, dan bahwa seseorang akan melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada mereka. Jika semua orang melakukannya, Anda juga harus melakukannya."
Ada pula tekanan di industri tertentu. Karyawan di beberapa pekerjaan kreatif dimaksudkan untuk merasa 'beruntung', jadi diasumsikan bekerja beberapa jam ekstra.
Di bidang keuangan, begadang adalah ritus peralihan dalam perjalanan untuk menjadi mitra. Menantang norma sosial semacam itu di tempat kerja dianggap tabu.
"Sebagai manusia, kita ingin terlihat baik dan dapat diterima," kata Lordan.
"Semuanya sesuai dengan narasi bahwa kita adalah pekerja keras dan kolaboratif. Jam kerja yang panjang secara tradisional mengukur kerja keras dan produktivitas. Jadi kami bekerja lembur tanpa dibayar."

Mengapa perubahan tidak mudah dilakukan

Namun ada tanda-tanda bahwa tenaga kerja sudah cukup lama bekerja selama berminggu-minggu dan menelepon tengah malam.
Jutaan orang di seluruh dunia berhenti dari pekerjaan mereka dalam periode yang bersamaan. Momen itu dikenal dengan istilah Great Resignation.
Orang-orang optimis mungkin menyebut bahwa pada pasar tenaga kerja berkembang, pegawai akhirnya dapat mengambil inisiatif dan menuntut upah untuk lembur mereka.
Pada kenyataannya, bagaimanapun, tidak seperti itu. "Kelompok yang protes dengan cara tidak masuk kerja biasanya adalah mereka yang berada pada fase karier tinggi. Mereka punya pilihan untuk mundur," kata Lordan.
"Generasi yang lebih muda tidak memiliki kemewahan itu. Persaingan untuk pekerjaan di perusahaan yang menuntut jam kerja yang panjang tetap sengit.
"Itu tergantung pada orang-orang yang ingin menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang sudah mapan jauh sebelum mereka berjalan melewati pintu kantor. Sangat sulit mendobraknya," ujar Lordan.
Jam kerja yang diperpanjang juga begitu tertanam dalam budaya kantor sehingga banyak bisnis bergantung pada lembur.
Itu sebabnya, bahkan di tengah pandemi, praktik yang sudah dikenal itu kembali dilakukan. Perusahaan keuangan besar yang terkenal dengan budaya kerja berjam-jam menuntut staf kembali ke kantor lima hari seminggu.
Jika bos mengamanatkan hari kerja yang panjang dan lembur yang tidak dibayar, sulit bagi karyawan untuk mengambil sikap dan mengatakan tidak.
"Mereka yang berada di puncak adalah penjaga gerbang untuk peluang dan promosi," kata Lordan.
"Jika mereka percaya pada kehadiran tanpa produktivitas, orang-orang di bawah mereka akan merasa sulit untuk tidak bekerja ekstra selama itu."
Regulasi yang kuat dapat mendorong perubahan, kata Marks. Tren saat ini adalah empat hari kerja dalam seminggu, dengan uji coba di Islandia, Spanyol, dan Irlandia. Dia ragu apakah ide itu akan berhasil.
"Banyak perusahaan meraup keuntungan besar dari lembur yang tak berbayar. Tetapi banyak pemberi kerja tidak siap untuk tiba-tiba mengurangi beban kerja. Jadi pegawai mungkin harus menjejalkan pekerjaan selama lima hari menjadi empat," kata Marks.
Dan bahkan ketika pemerintah mengeluarkan arahan tentang jam kerja, para pengusaha adalah yang pada akhirnya menentukan keputusan.
Di Jepang dan Korea Selatan, misalnya, jelas bahwa ada tekanan budaya mengesampingkan upaya legislatif di banyak perusahaan.
Tentu saja, ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih sedikit meningkatkan produktivitas. Tetapi untuk pekerjaan yang didasarkan pada pengetahuan, kesulitannya terletak pada bagaimana kita mengukur target.
Jelas, penanda itu seharusnya bukan waktu.
Lordan mengatakan cara itu harus berbasis tugas. Itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga lembur yang tidak dibayar. Tapi ini akan membutuhkan perspektif baru dari para pemimpin senior.
"Pada akhirnya, manajer perlu mendefinisikan apa yang harus dilakukan dan mengizinkan karyawan mereka melakukannya. Jika Anda menginginkan perubahan positif, Anda perlu mendapatkan lebih banyak manajer, yang bukan sebagai pengendali, dalam peran kunci," ujarnya.
Bahkan jika lembur sulit diberantas, pandemi telah memperbesar percakapan seputar budaya kerja. Ini semakin mengarah ke aktivisme karyawan.
Lordan mengutip kasus Goldman Sachs baru-baru ini. Para bankir muda diberi kenaikan gaji menyusul keluhan mereka tentang bekerja 95 jam seminggu. Ini bisa, mungkin, menjadi awal dari sebuah pergeseran.
"Selama ada perusahaan bergaji tinggi dengan manajemen senior yang memiliki keyakinan bahwa jam kerja sama dengan produktivitas, Anda akan selalu memiliki pekerja profesional yang mengorbankan diri dan kesejahteraan untuk mencapai hasil," kata Lordan.
"Seiring waktu, mereka yang lebih peduli dengan keseimbangan kehidupan kerja mereka akan memilih perusahaan yang menawarkan fleksibilitas lebih besar."
---
Artikel ini pertama diterbitkan dalam bahasa di BBC Capital.