Mengapa 'Selfie' di Berlin, Ibu Kota Jerman, Dianggap Aneh dan Egois?

Konten Media Partner
1 Maret 2024 17:45 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengapa 'Selfie' di Berlin, Ibu Kota Jerman, Dianggap Aneh dan Egois?
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah Anda suka berswafoto atau selfie? Ternyata, ada tempat yang ketika Anda melakukannya akan disoroti oleh banyak mata dan dianggap aneh. Di Berlin, Jerman, di mana privasi, tren kehidupan saat ini, dan juga budaya tandingan sangat dihargai, berswafoto menjadi kegiatan yang dianggap egois dan tidak bermanfaat.
Saat itu pukul 01:00 malam waktu setempat. Meski cuaca hujan dan suhu udara mencapai dua derajat Celcius, Kafe Luzia tetap ramai.
Bar di kawasan Kreuzberg yang modern di Berlin, Jerman, itu dipenuhi para pengunjung yang mengenakan mantel besar.
Mereka berbicara dengan suara keras di depan cermin yang dicoret-coret dan diam-diam menyalakan rokok menggunakan lilin-lilin yang menyala.
"Ayo kita berswafoto!" kata seorang gadis di ujung meja kami, sambil mengulurkan tangannya.
Dia berasal dari Paris dan ini kali pertamanya datang ke ibu kota Jerman. Kami tertawa dan menurutinya, bersiap-siap untuk mengambil gambar.
Ketika kami kembali ke posisi masing-masing, seorang teman – yang telah tinggal di sini selama bertahun-tahun – berkata, "Lucu sekali, di sini, di Berlin, tidak ada gunanya berswafoto."
Ini bukan pertama kalinya saya mendengar hal ini sejak datang ke Berlin enam bulan lalu.
Di sini, saya melihat semakin sedikit orang yang berpose dengan kamera ponselnya di depan umum. Swafoto dianggap sebagai tindakan yang egois dan seenaknya sendiri.
Di kampung halaman saya di Sydney, dengan pelabuhannya yang terkenal di dunia dan pantai-pantai memikat yang tak terhitung jumlahnya, swafoto untuk media sosial terasa seperti kegiatan yang menyenangkan dalam keseharian.
Di Berlin tampaknya tidak demikian.
Bukan berita baru bahwa orang Jerman lebih menghargai privasi mereka. Menurut penelitian tahun 2017 dari Universitas Hohenheim mengenai sikap, perilaku, dan privasi, warga Jerman “sangat jarang” mengungkapkan informasi pribadi mereka.
Dan ketika mereka mengunggah foto diri ke jejaring sosial, seperti swafoto di Instagram, para peneliti menemukan bahwa "hanya sedikit orang Jerman" yang menganggap tindakan tersebut memiliki "manfaat".
“Persentase tertinggi ditemukan di antara peserta termuda (7%),” kata laporan itu.
Di Berlin, jarang sekali orang berpose dengan ponselnya di depan umum.
Hingga Tembok Berlin runtuh pada 1989, Berlin terpecah menjadi Republik Demokratik Jerman (GDR) di timur dan Republik Federal Jerman (FRG) di barat.
Oleh karena itu, penduduk Berlin, serta penduduk GDR lainnya, menjadi sasaran pengawasan yang menyeluruh oleh Kementerian Keamanan Negara – yang juga dikenal sebagai Stasi.
Sejarah ini bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa ada kekhawatiran di antara masyarakat saat ini mengenai privasi online dari negara.
Ditambah lagi, munculnya rasa ketidakpercayaan anti-kapitalis - yang mungkin akan menggunakan data-data yang mereka unggah ke platform daring - membuat orang-orang menghindari berswafoto di tempat umum di Berlin.
Banyak penduduk Berlin yang saya ajak bicara mengatakan bahwa budaya "dilarang berswafoto" juga berkembang melalui kancah klub-klub malam yang terkenal.
Klub malam ini berusaha menjaga kerahasiaan dari dunia online dan mendorong orang-orang yang berpesta untuk fokus bersenang-senang.
Saya terkejut ketika pertama kali tiba di kota dan melihat tanda-tanda dilarang memotret di hampir semua klub yang saya kunjungi.
Namun, kini saya sudah terbiasa dan menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa mengambil foto di dalam klub. Saya harus menyimpan ponsel pintar atau menempelkan stiker di lensanya.
Hal ini karena klub-klub di Berlin tidak hanya menjadi rumah bagi beberapa musik tekno terbaik dunia, tetapi juga tempat di mana orang-orang bebas bertindak dengan cara yang tidak selalu diterima di muka umum.
Klub ini secara khusus menjadi ruang untuk menikmati gerakan-gerakan budaya tandingan, termasuk bagi komunitas LGBTQI+.
Berghain (yang secara luas terlihat memperjuangkan aturan larangan berfoto) dan Sisyphos, adalah klub paling terkenal yang tidak menyukai adanya fotografi di Berlin.
Contoh menonjol lainnya adalah KitKat, klub yang menganut sex-positive di Mitte. Di sini, para tamu didorong untuk mengenakan pakaian berbahan kulit paten, glamor, atau pakaian dengan fetish tertentu, dan banyak lagi, dan diperbolehkan berhubungan seks di lokasi.
"Ini bukan misteri besar," kata akun resmi KitKat, ketika saya menghubungi mereka di Instagram untuk menanyakan mengapa mereka tidak mengizinkan foto di dalam, kecuali untuk acara tertentu.
"Larangan ini di satu sisi merupakan perlindungan terhadap tamu kami, dan… perlindungan terhadap atmosfer dan konsep klub. Tanpa larangan tersebut, sebagian besar orang mungkin akan berperilaku berbeda."
Singkatnya, ini adalah cara untuk memungkinkan pelanggan mewujudkan keinginan mereka tanpa takut akan dampak dari dunia luar.
Marta Lodolr, seorang seniman pertunjukan, yang sudah sembilan tahun menjadi penduduk Berlin, mengatakan ia percaya bahwa untuk sebuah kota besar di Eropa, Berlin terasa seperti kota kecil dengan “tingkat kebebasan yang tinggi” untuk menikmati momen di ruang kolektif.
“Ada begitu banyak hal yang bisa [dialami] di luar dunia online,” katanya.
Dia menambahkan bahwa bukan hanya klub yang meminta pelanggannya untuk tidak mengambil foto. “[Di] tempat lain juga, ini demi menghormati orang yang masuk, atau demi menghormati tempat itu sendiri, swafoto tidak diperbolehkan.”
Memang benar, keinginan untuk menikmati momen adalah sesuatu yang terlihat jelas di ruang-ruang lain di kota ini.
Dalam kunjungan rutin saya di musim panas, untuk berjemur di pinggir kolam Badeschiff yang populer di Sungai Spree, saya melihat tanda di pintu masuk yang melarang fotografi.
Lalu, tidak seperti acara musik di kebanyakan kota lain, Anda hampir tidak akan pernah melihat lautan orang mengacungkan kameranya untuk merekam musisi yang sedang melakukan konser di Berlin.
Selain itu, meskipun tidak ada larangan langsung, Berlin adalah rumah bagi ruang-ruang pasca-perang yang sangat khidmat – seperti Peringatan Orang Yahudi Eropa yang Dibunuh di Mitte – di mana fotografi dianggap sangat tidak pantas, bahkan dilarang.
Berlin adalah memiliki banyak tempat pascaperang bersejarah, di mana fotografi dianggap sangat tidak pantas.
“Di London, saya melihat lebih banyak orang yang mengunggah foto tentang kegiatan sehari-hari,” kata Claudia Hampton, seorang fotografer dan pembuat film dokumenter yang tinggal di Berlin dan berasal dari London.
Dia memandang bahwa mendokumentasikan diri tentang kehidupan sehari-hari di Berlin tidak ada gunanya, tidak seperti di ibu kota Inggris.
"Saat [seorang teman] berada di pub dengan segelas bir [di Inggris], atau bersama anjingnya, Anda akan melihatnya di story instagram mereka. Tapi, saya jarang melihatnya [di Berlin]."
Hampton juga mengatakan, selain pandangan bahwa penduduk Berlin akan merasa tidak pantas atau sangat egois jika mengunggah aktivitas sehari-hari mereka, berswafoto di sini juga bisa jadi terasa canggung.
"Orang-orang akan berpikir itu buruk – tapi kadang-kadang saya melakukannya."
Saya lalu bertanya, mungkinkah nilai-nilai privasi dan kebebasan dari fotografi di Berlin terkikis oleh meningkatnya tekanan di kota-kota lain bagi para profesional yang bekerja aktif di dunia online?
“Pada dasarnya saya berpikir bahwa kota ini menjadi lebih [seperti] kota-kota Eropa lainnya,” kata Lodolr, mengacu pada apa yang dilihatnya sebagai pergeseran bertahap dari sikap anti-kapitalis di Berlin.
“Sebelumnya, tingkat kebebasan seperti ini, katakanlah, tersebar dalam hal harga, harga sewa, dan komunitas. Semakin banyak investor yang tertarik membeli bangunan di kota.”
Wisatawan berswafoto di Gerbang Brandenburg, Berlin.
Memang, menurut Masur, masalah privasi di Jerman semakin sejalan dengan negara-negara lain.
“Salah satu asumsi saya adalah hal ini ada hubungannya dengan kemajuan globalisasi. Kita lebih terpapar dengan orang lain, yang berarti [konvergensi] pada tingkat tertentu.”
Misalnya saja influencer sosial fesyen dan pengusaha perempuan yang berbasis di Berlin, Amelie Stanescu, yang sering mengunggah swafotonya ke 64.000 pengikut di Instagram-nya.
“Orang-orang di Berlin banyak yang memandang [dia saat berswafoto],” katanya kepada saya sambil minum kopi di kafe Prenzlauer Berg yang trendi, saat kami berbincang tentang perbedaan sikap sosial terhadap swafoto antara kota tempat dia tinggal selama sembilan tahun dan kampung halamannya di Italia.
Dia mengatakan Berlin masih berada pada titik di mana berswafoto di depan umum masih dianggap sesuatu yang tidak biasa.
"Menurut saya mereka memandang Anda saat swafoto bukan karena Anda melakukan sesuatu yang buruk. Saya pikir mereka hanya menatap untuk melihat apa yang Anda lakukan."
Namun, dia mengatakan meskipun ada kecanggungan, dia tetap berswafoto di depan umum untuk akunnya dan agar sukses dalam pekerjaannya.
"Saya melakukannya untuk pekerjaan dan saya menikmatinya," katanya. “Pada titik hidup dan karier saya saat ini, saya tidak dapat memikirkan atau mempertimbangkan perasaan orang lain ketika saya bekerja.”
Ini adalah sikap yang dapat dimengerti dan praktis di dunia yang semakin internasional, yang sering kali memerlukan keterbukaan diri secara visual untuk mencapai kesuksesan.
Jadi, apakah perubahan ini akan menghilangkan keengganan kota ini untuk berswafoto?
Saya harap tidak.
Saya semakin menyukai sikap Berlin dalam memandang kebebasan.
Saya tidak lagi merasakan adanya tekanan untuk mendokumentasikan acara malam apapun yang saya hadiri.
Atau mengunggahnya hanya untuk sekedar membuktikan kepada orang lain bahwa saya benar-benar bersenang-senang.
Sebaliknya, hari-hari saya – dan khususnya malam-malam saya – telah menjadi ruang berharga untuk menciptakan kenangan yang patut disimpan, dan bukan tempat di mana saya diwajibkan untuk mengambil foto.
Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The European city where selfies are 'awkward' dapat Anda baca di BBC Travel.