Mimpi Punya Apartemen Masih Angan-angan, Konsumen Meikarta Merasa Tidak Adil

Konten Media Partner
20 Agustus 2022 8:08 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara pembangungan proyek kawasan Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara pembangungan proyek kawasan Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Waluyo dan Suryadi sudah mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah untuk membeli apartemen pertama mereka. Tapi, upaya yang sudah mereka lakukan selama kurang lebih lima tahun untuk mewujudkan mimpi itu masih jauh dari kata terwujud.
Setiap kali Waluyo melintas di kawasan Cikarang Selatan, Bekasi, Jawa Barat, dia selalu diselimuti rasa sedih dan kecewa. Seharusnya di lokasi yang pernah digadang-gadang sebagai calon ‘Jakarta Baru’ itu Waluyo sudah memiliki dua unit apartemen yang dia beli sejak 2017, meski dengan cara menyicil.
Namun sampai Agustus 2022, Waluyo belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Padahal dalam perjanjian awal, serah terima unit apartemen dijadwalkan pada 2019.
“Saya sudah berangan-angan, nanti tahun sekian sudah saya nikmati (hasil berinvestasi apartemen). Anak saya pas lulus kuliah, pas ini, pas ini, makanya berani ambil. Kalau tahu bakal kayak gini, mana berani ambil keputusan seperti ini,” kata Waluyo kepada BBC News Indonesia.
Lima tahun lalu, Waluyo mengaku “terbuai iklan”, yang memang pada kala itu juga menarik perhatian banyak orang. Warga Cikarang itu langsung membeli dua unit apartemen tipe studio di District 2, Meikarta.
“Harganya hampir sama dengan rumah tapak dengan fasilitas yang oke. Bagaimana nggak tertarik? Orang pasti akan punya mimpi yang lebih bagus kan, cari kehidupan yang lebih bagus, lingkungan yang bagus,” ujar Waluyo.
Suryadi juga berminatmembeli hunian di mega proyek ‘kota baru’ itu karena alasan yang sama. Ditambah lagi proyek itu berada di bawah naungan salah “satu pengembang terbesar” di Indonesia, PT Lippo Cikarang Tbk, dan pembelinya pun “sudah banyak”.
Tanpa keraguan, dia akhirnya membeli satu unit apartemen Meikarta di District 2 dengan cara menyicil melalui bank. Di bayangannya, dia bisa menyewakan apartemen itu dan hasilnya bisa dia gunakan untuk menambah biaya kuliah anaknya, yang baru saja masuk ke universitas tahun ini.
“Tapi kenyataannya sama sekali nggak ada, tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau bisa uang konsumen harus dibalikin, jangan sampai konsumen ditelantarkan begini, hanya diberi janji-janji saja,” kata Suryadi.

Diminta relokasi

Sudah dibuat kecewa dengan apartemen yang tak kunjung berdiri, Waluyo dan Suryadi juga dipusingkan dengan tawaran relokasi dari pihak Meikarta dan beberapa perusahaan pengembang lainnya yang berada di bawah payung grup Lippo.
Tawaran relokasi itu selalu mereka dapatkan ketika menanyakan nasib apartemen mereka ke PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemegang proyek Meikarta.
Tawaran relokasi tidak hanya disampaikan satu atau dua kali. Waluyo dan Suryadi mengaku sering ditawarkan untuk pindah ke unit baru di District 1, tapi dengan tambahan harga karena menyesuaikan harga saat ini.
District 1 adalah satu-satunya distrik yang sudah dibangun di Meikarta, meski belum rampung 100%. Menurut rencana awal, Meikarta akan memiliki tiga distrik.
Tak berhenti di situ, kedua warga Cikarang itu juga kerap dihubungi nomor tak dikenal yang ternyata menawarkan properti baru. Mereka menjelaskan, Waluyo maupun Suryadi hanya tinggal melanjutkan cicilan yang sudah mereka bayarkan untuk unit mereka di District 2 Meikarta.
“Semua yang belum terima unit, pasti dikasih solusi relokasi, tapi diminta penambahan dana karena unit baru dengan harga saat ini, sementara yang punya kami dianggap unit lama, kan perbedaannya (harga) sangat jauh,” kata Waluyo.
Suryadi mengajak BBC News Indonesia untuk menemui salah satu tim penjualan dan menyaksikan tawaran relokasi yang diberikan kepadanya.
Ditemani Waluyo, kami menemui tim penjualan di kawasan District 1 Meikarta. Mereka menawarkan Suryadi untuk relokasi ke Karawang, ke sebuah hunian yang harganya sekitar Rp700 juta, sementara apartemen yang dia cicil harganya sekitar Rp150 juta.
“Tinggal lanjutkan saja cicilannya, pak,” kata salah satu orang dari tim penjualan pengembang hunian tersebut.
“Duit dari mana?” keluh Suryadi, yang kemudian mempertanyakan nasib apartemennya di Meikarta. Pertanyaan itu tentunya tidak bisa dijawab oleh tim penjualan yang kami temui, meski perusahaan mereka masih merupakan grup Lippo.
Mendengar penjelasan tim penjualan terkait cicilan, Suryadi dan Waluyo lantas bingung, kalau uangnya bisa dipindahkan ke pengembang lain, mengapa tidak digunakan saja untuk membangun apartemen atau bahkan dikembalikan.
Usai bertemu dengan tim penjualan, Waluyo dan Suryadi membawa saya mengunjungi lokasi apartemen mereka. Rasa khawatir, takut, kecewa, dan sedih yang mereka rasakan, terpancar dari wajah mereka.
Bagaimana tidak, bertahun-tahun menyicil uang ratusan juta rupiah ke bank demi mendapatkan apartemen impian, tapi yang di depan mata hanya ada beberapa bangunan terbengkalai, semuanya dipagari seng.
“Tower bapak di mana seharusnya?” tanya saya kepada mereka.
“Di sini, mbak,” kata Suryadi menunjuk ke arah kanan kami.
“Kalau saya di belakang sana,” kata Waluyo menunjuk ke bangunan yang kerangka gedungnya sudah berdiri.
Keduanya mengaku berada di gedung yang sama. Tapi, keterangan dari pihak manajemen berbeda-beda.
“Kalaupun (proyek) ini dilanjutkan, coba bayangkan, beberapa tahun lagi bangunan ini bagaimana? Kena panas, kena hujan. Apa tidak bahaya? Sekarang saja nggak ada pembangunan apa-apa lagi,” ujar Waluyo sambil bangunan gedung yang belum selesai.

Mogok cicilan, meminta pertanggungjawaban

Melihat banyak hal yang tidak bisa diterima dengan akal sehatnya, Waluyo memutuskan untuk berhenti menyicil kredit pembiayaan apartemen (KPA), yang seharusnya dia lakukan selama 15 tahun. Mogok menyicil itu dia lakukan sejak April 2021 lalu.
Pemilik warung makan di Cikarang itu mengatakan bukan hanya dia yang mogok menyicil apartemen. Dia mengikuti puluhan konsumen lainnya yang juga mengalami nasib yang sama.
“Sudah ada peringatan dari pihak bank, tapi saya jawab, intinya saya mau bayar asal ada unitnya. Unit enggak ada, saya stoplah. Saya mau cicil, cicil untuk apa?” kata Waluyo.
Sebelum berhenti menyicil, laki-laki berusia 56 tahun itu mengaku sudah bolak-balik mempertanyakan nasib pembangunan apartemennya, tapi sampai saat ini tidak kunjung mendapat kejelasan.
Berbeda dengan Waluyo dan puluhan orang lainnya, Suryadi masih tetap menyicil. Dua tahun lagi cicilannya lunas.
“Kalau misalnya saya tidak nyicil, itu nanti di-blacklist, ditakut-takuti oleh bank, nanti ada BI Checking, katanya. Jadi makanya, untuk sementara ini tiap bulan saya terus nyicil,” ujar Suryadi.
Laki-laki yang baru saja diminta pensiun dini dari pekerjaannya itu cuma berharap apartemennya bakal jadi, atau kalaupun tidak, uang yang sudah dia bayarkan bisa dikembalikan.

Apa kata pihak Meikarta?

BBC News Indonesia mencoba mengonfirmasi hal ini kepada PT MSU selaku pengembang. Namun, PT MSU meminta kami menghubungi pihak Lippo Cikarang, yang berada satu payung dengan MSU.
Public Relation Head Lippo Cikarang, Jefrey Rawis, menolak permintaan wawancara BBC News Indonesia dan hanya memberikan keterangan tertulis.
Terkait tawaran relokasi yang selalu disodorkan ke konsumen ketika mempertanyakan kelanjutan proyek Meikarta, Jefrey mengatakan itu hanya pilihan.
“Terserah konsumen, apakah berkenan direlokasi. Setahu saya banyak yang setuju,” kata Jefrey tanpa menyebutkan jumlah orang yang bersedia relokasi.
Sementara itu, terkait kelanjutan proyek Meikarta, Jefrey menjelaskan saat ini pihaknya sedang melakukan kewajiban terhadap konsumen sesuai isi Proposal Perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga pada 2020 lalu.
Putusan pengadilan itu terkait status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT MSU yang sebelumnya digugat pailit oleh PT Graha Megah Tritunggal karena tidak membayar uang jasa keamanan.
PT MSU akhirnya mendapatkan pengesahan hakim atas persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan. Para kreditur, termasuk para pembeli apartemen, menyetujui restrukturisasi pembayaran tagihan.
“Perlu diketahui, PT MSU telah menginformasikan hasil Putusan Homologasi ini kepada seluruh Pembeli yang belum menerima unit, di mana pelaksanaan hasil putusan sudah dijalankan dalam bentuk serah terima unit secara bertahap sejak Maret 2021 lalu,” kata Jefrey dalam keterangan tertulisnya.
Grup Lippo mengklaim, hingga saat ini PT MSU sudah menyerahkan 1.600-an unit ke para pembeli. Dari jumlah tersebut, Jefrey mengatakan itu termasuk pembeli yang melakukan relokasi ke District 1, satu-satunya District yang pembangunannya pun belum mencapai 100%.

‘Tidak adil’

Dalam proposal perdamaian, pihak Meikarta menyatakan akan memulai pembangunan selambat-lambatnya bulan ke-24, terhitung sejak Desember 2020. Kemudian, pihak Meikarta akan menyerahkan unit dalam waktu 30 bulan setelah pembangunan, atau selambat-lambatnya 55 bulan.
“Tapi itu nggak dijelaskan berapa persen ngebangun-nya. Lemah PKPU-nya, dijadikan politik saja,” kata Ketua Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Aep Mulyana kepada BBC News Indonesia.
Aep menyebut situasi ini ‘tidak adil’.
Komunitas Peduli Konsumen Meikarta resmi berdiri tahun ini. Anggotanya sudah lebih dari 100 orang. Semuanya merupakan para pembeli apartemen, baik secara tunai maupun menyicil, yang sampai saat ini belum mendapatkan haknya. Waluyo dan Suryadi juga termasuk anggota komunitas ini.
Dalam homologasi Meikarta, Aep menilai banyak ketentuan yang menguntungkan PT MSU, seperti pengurangan denda atau keterlambatan menjadi 0,5% dan maksimal hanya 5%, serah terima unit sampai tujuh tahun, dan opsi pengembalian dana lebih dari tujuh tahun tanpa kompensasi pertambahan nilai atau bunga, serta tidak ada kepastian tanggal, bulan, dan tahun serah terima.
“PT MSU sepertinya tidak punya iktikad baik untuk mengembalikan dana kami. Pada saat melakukan proses PKPU pun, konsumen tidak diberitahu secara personal, baik lewat telepon maupun surel, sehingga tidak semua konsumen apartemen Meikarta yang bisa ikut memberikan hak suaranya, karena tidak tahu proses PKPU. Kami merasa hak kami sangat dilanggar, terabaikan, dan tertindas,” tegas Aep.
Namun, Public Relation Head Lippo Cikarang, Jefrey Rawis, mengatakan pihaknya sudah melakukan pemberitahuan melalui koran Harian Terbit dan Republika pada 28 Juli 2021.
Bertahun-tahun tidak melihat titik terang, komunitas kemudian mengadu hingga ke DPR dan presiden. Aep mengatakan pada 23 Juni 2022 lalu, pihaknya mengirim surat ke DPR dan pada 27 Juni mengirim surat ke presiden.  

Konflik pengembang dan konsumen sering terjadi

Pengamat dan konsultan properti, Anton Sitorus, mengatakan konflik antara pengembang dan konsumen, seperti yang terjadi di Meikarta, bukanlah yang pertama kali terjadi. Dia menilai, kasus Meikarta menjadi besar karena proyeknya berskala besar dan pada saat itu pemasarannya sangat ‘fenomenal’ dan ‘luar biasa’.
Pada periode 1990-an, banyak pengembang yang tidak bisa memenuhi kesepakatan, hingga terkena wanprestasi. Masalahnya pun beragam. Ada pengembang yang tidak bisa menyelesaikan bangunannya, sampai pengembang yang kabur.
“Dulu banyak kasus seperti itu. Makanya pemerintah membuat aturan, kalau pengembang ingin menjual propertinya, perizinannya harus sudah selesai di lokasi yang ditentukan sudah ada progres pembangunan,” kata Anton kepada BBC News Indonesia.
Penerapan aturan yang lebih ketat itu pun, tambah Anton, juga diikuti oleh perbankan. Pencairan kredit dilakukan berdasarkan progres konstruksi pembangunan.
“Sehingga kalau belum apa-apa, ya nggak dikasih. Tujuannya untuk melindungi dari kejadian-kejadian one prestasi, baik dari sisi pengembang maupun konsumennya,” ujar Anton.
Salah satu aturan yang mengatur hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Anton juga mengatakan, tiap-tiap daerah juga memiliki aturan sendiri terkait perizinan.

‘Konsumen mesti belajar’

Untuk menghindari risiko kerugian di kemudian hari, Anton menyarankan konsumen untuk membekali diri dengan informasi yang cukup, sebelum membeli properti.
“Artinya membeli barang seperti properti itu bukan kayak kita beli makanan. Namanya juga beli capital expenditure, yang harganya mahal. Jadi, mesti banyak belajar, sebenarnya seperti apa transaksinya,” kata dia.
Sebelum membeli properti, konsumen harus mengetahui dulu rekam jejak pengembangnya. Kendati rekam jejak pengembang sudah baik, Anton menyarankan konsumen harus tetap teliti dan jeli, terutama tentang peraturan-peraturan yang berlaku, sampai hak dan kewajiban yang dimiliki.
“Contohnya kejadian yang Meikarta itu, kita tahu Lippo itu pengembang besar yang punya track record bagus. Kenapa terjadi masalah? Nah, itu kan sebenarnya bukan hanya karena masalah pengembangnya, tapi ada yang lain juga seperti masalah peraturan, masalah teknis perizinan, yang harusnya konsumen juga melek akan hal itu,” ujar Anton.
Konsumen diminta proaktif, menanyakan segala hal mulai dari hal-hal teknis pada bagunan, sampai masalah yang rumit seperti regulasi karena itu merupakan hak konsumen.