Myanmar: Mengapa Pemrotes Anti-kudeta Militer Kini Memilih Jalan Kekerasan?

Konten Media Partner
1 Februari 2022 12:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beberapa milisi penentang kudeta militer di Myanmar membawa senjata api.
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa milisi penentang kudeta militer di Myanmar membawa senjata api.
Pada jam-jam pertama setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta mengejutkan di Myanmar pada tahun 2021, hanya ada sedikit reaksi publik yang muncul.
Tampaknya tidak seorang pun warga Myanmar tahu bagaimana harus bereaksi. Pada saat yang sama, Aung San Suu Kyi, pemimpin kubu oposisi terhadap kekuasaan militer selama tiga dekade sebelumnya, ditahan.
"Pagi itu sambungan internet dan telepon terputus", kata Moe Sandar Myint, aktivis serikat pekerja terkemuka di Hlaing Tharyar, sebuah distrik industri di Yangon.
"Awalnya kami tidak percaya berita itu, tapi setelah kami pergi membeli radio, kami tahu kudeta itu benar terjadi.
"Kami hancur. Itu adalah hari kegelapan bagi kami. Myanmar baru saja berkembang. Mencari tahu bagaimana caranya melawan para diktator adalah yang paling penting bagi kami," ucapnya.
Namun pada akhir hari itu, sebuah pesan dari Suu Kyi, yang ditulis sebagai antisipasi kudeta, muncul ke publik. Lewat pesannya, dia mendesak rakyat Myanmar untuk tidak membiarkan kudeta terjadi begitu saja.
Pada saat yang sama, salah satu penasihat Suu Kyu yang paling tepercaya, Win Htein, mengutip Mahatma Gandhi. Dia menyerukan pembangkangan sipil. Ini adalah strategi yang pernah dilakukan Suu Kyi terhadap pemerintahan junta militer sebelumnya.
Maka terbentuklah CDM, Gerakan Pembangkangan Sipil, yang awalnya diinisiasi para petugas kesehatan dan guru yang menolak bekerja.
Gerakan ini secara cepat mendapat dukungan serikat pekerja, kelompok pegawai negeri, berbagai bintang musik dan film, serta kelompok LGBT+ dan etnik minoritas.
Mereka tidak hanya mendukung gerakan non-kekerasan Aung San Suu Kyi, tapi juga menyerukan pemulihan pemerintahan terpilih yang dipimpin peraih Nobel Perdamaian tersebut.
Kala itu, wajah Suu Kyi terlihat dalam berbagai poster protes anti-kudeta.
Moe Sandar Myint memimpin unjuk rasa pertama yang diikuti banyak pekerja selama empat hari setelah kudeta.

Melarikan diri ke Thailand

Mereka yang turut dalam demonstrasi ini adalah bagian dari gerakan nasional melawan kekuasaan militer. Pada beberapa bulan pertama sejak kudeta, mereka memenuhi jalanan dengan unjuk rasa bernuansa karnaval.
"Saya khawatir rekan kerja saya tertembak", kata Moe Sandar Myint.
"Tapi begitu melihat partisipasi luar biasa dari banyak orang ketika kami turun ke jalanan, ketakutan saya itu sirna," ucapnya.
Moe Sandar Myint menjadi eksil di Thailand bersama suami dan tiga anaknya. Dia memulai masa pelarian itu setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dari Yangon.
Dari kota terbesar di Myanmar itu, Moe Sandar Myint menuju ke kawasan perbatasan yang dilanda perang dan dikendalikan kelompok pemberontak berbasis etnik.
Dari situ mereka melakukan perjalanan malam menakutkan untuk melintasi perbatasan ke arah Thailand.
Titik balik situasi di Myanmar terjadi Maret 2021, ketika para pemimpin kudeta memerintahkan tentara melakukan apapun untuk menghentikan gerakan protes.
Bagi Moe Sandar Myint, kekerasan terjadi pada 14 Maret. Saat itu dia sudah tinggal jauh dari rumahnya untuk menghindari penangkapan.
Hlaing Tharyar, kawasan dengan populasi pekerja migran yang padat, memiliki reputasi sebagai lingkungan yang keras di Yangon. Penduduk wilayah ini telah membarikade jalan untuk mencegah aparat masuk.
"Saya bersama para pemimpin serikat lainnya merencanakan tindakan selanjutnya. Tiba-tiba kami mendengar militer datang, jadi kami bubar," ujarnya.
"Mereka memblokir semua jalan keluar dari Hlaing Tharyar dan menembaki kami. Banyak orang meninggal, termasuk beberapa rekan kerja saya," kata dia.
"Pertama mereka mulai menembak dari tengah," tutur suami Moe Sandar Myint, Ko Aung. Dia berada di jalanan bersama para pengunjuk rasa saat itu.
"Kemudian tembakan datang dari samping dan dari belakang kami. Kami mencoba berlindung tetapi tidak ada perlindungan dari peluru," tutur Ko Aung.
Myanmar Witness, organisasi yang menggunakan satelit dan citra lainnya untuk memverifikasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia, yakin bahwa sebanyak 80 orang meninggal dunia di Hlaing Tharyar pada peristiwa tersebut.
Mereka menggambarkan kejadian itu sebagai pembantaian dengan penembakan membabi buta oleh pasukan keamanan.
Video dari peristiwa itu menunjukkan polisi yang diposisikan di jembatan menghadap ke Hlaing Tharyar, dengan santai menembaki orang-orang di bawah mereka.
Setelah pasukan keamanan menggerebek rumahnya, Moe Sandar Myint tahu dia dan keluarganya harus meninggalkan Yangon.
Tenaga kesehatan menjadi salah satu kelompok yang pertama berunjuk rasa untuk menentang kudeta 1 Februari di Myanmar.
Banyak peserta lain dalam euforia bulan pertama unjuk rasa itu juga telah melarikan diri. Beberapa dari mereka bergabung dengan aliansi bersenjata yang putus asa, meski tidak memiliki kekuatan yang setara untuk melawan junta militer.

Tidak kembali

Aung San Suu Kyi sejak itu menghilang dari pandangan publik. Dia harus menghadapi persidangan yang tertutup untuk umum.
Anggota parlemen dan pejabat dari partai yang dipimpin Suu Kyu lantas membentuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) pada April lalu.
Pemerintahan bayangan digagas untuk menantang upaya junta, sekaligus meraih pengakuan internasional dan memperluas kepemimpinan oposisi dengan memasukkan lebih banyak etnik minoritas.
Namun karena anggotanya yang tersebar dan melarikan diri dari kejaran militer, pengaruh NUG terhadap kelompok perlawanan bersenjata yang muncul di seluruh Myanmar menjadi terbatas.
Milisi lokal ini menamakan diri Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Mereka menggunakan senjata rampasan, senjata rakitan, dan bahan peledak untuk menyerang konvoi militer. Mereka juga membunuh pejabat yang bekerja dengan junta militer.
Mereka tidak lagi berbicara banyak tentang protes damai. Beberapa dari pimpinan PDF memang mempertanyakan kepemimpinan otokratis Su Kyi yang cenderung ingin berdampingan dengan militer.
Mereka mengatakan tidak ada jalan kembali ke status quo.
George dan Frank adalah dua pemuda yang ambil bagian dalam protes anti-kudeta di dekat rumah mereka di Yangon. Kami tidak dapat menggunakan nama asli mereka.
George adalah seorang eksekutif bisnis. Sementara itu, Frank, seorang pemain gim video, bekerja di sebuah kafe.
Mereka sekarang menjadi pejuang sukarelawan PDF yang beroperasi di daerah yang dikuasai pemberontak.
Setelah menyaksikan orang-orang ditembak mati pada unjuk rasa yang mereka ikuti, Maret, 2021, dan menyadari bahwa tidak ada bantuan internasional yang datang, mereka memutuskan bahwa strategi non-kekerasan tidak berhasil.
"Sulit untuk mengetahui dari mana memulai perjuangan bersenjata kami. Kami adalah orang-orang biasa, tanpa pengalaman pelatihan militer," kata George.
Warga penentang kudeta militer berhadapan dengan aparat keamanan Myanmar.
Bagi para aktivis di Yangon, pilihan termudah adalah bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang mapan di timur dari arah kota tersebut. Kelompok itu sudah memerangi pemerintah pusat selama beberapa dekade.
Beberapa dari kelompok ini tetap menjauh dari gerakan anti-kudeta. Tiga di antaranya adalah Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) di wilayah utara, Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA), dan Pasukan Pertahanan Nasional Karenni (KNDF) di sepanjang perbatasan Thailand, menawarkan perlindungan dan pelatihan bagi para demonstran.
Tantangan pertama yang dialami George dan Frank saat bergabung dengan KNLA adalah mendapat kepercayaan dari milisi tersebut.
Mereka mewaspadai kemungkinan penyusup militer dan menyimpan kecurigaan lama terhadap kelompok mayoritas tersebut yang sampai saat ini hanya menunjukkan sedikit simpati terhadap kelompok minoritas Myanmar.
Masalah kedua mereka adalah senjata. Mereka harus membeli sendiri di pasar gelap.
George mengeluarkan uang setara dengan US$2.000 (sekitar Rp28,7 juta) untuk sebuah pistol. Frank menjual mobil dan sebidang tanahnya untuk membeli senapan M4 buatan AS senilai US$3.500 (Rp50 juta). Amunisi adalah masalah yang muncul secara konstan.
Pimpinan etnik Karen yang mendampingi keduanya berharap sebagian besar anggota PDF mendanai sendiri aktivitas mereka, walau tetap bergerak di bawah komando KNLA. Ini merupakan penyesuaian yang sulit.
"Sebelumnya saya hanya tertarik untuk belajar dan bermain gim," kata Frank.
"Tinggal di hutan, tidur di tanah, terkadang saya hanya ingin menyerah. Kami harus makan apa pun yang ditawarkan, lebih sering batang pisang daripada daging. Yang paling sulit adalah membiasakan diri dengan kondisi toilet," tuturnya.
Banyak orang yang awalnya mengikuti unjuk rasa damai kini menganggap jalan kekerasan adalah solusi.
Desember lalu, George dan Frank terluka dalam pertempuran saat tentara menyerang daerah yang mereka yakini menjadi tempat berlindung para pemimpin PDF dan anggota NUG.
Keduanya menggambarkan pertempuran yang menakutkan dan kacau. Saat itu mereka kehabisan senjata. Mereka juga mengeluh karena tidak mendapatkan dukungan materi dari NUG, yang setia kepada PDF.
NUG memutuskan memutar haluan setelah sebelumnya mengikuti prinsip non-kekerasan Suu Kyi. Mereka beralih ke perlawanan bersenjata.
September 2021, kelompok itu mengumumkan Revolusi Pertahanan Rakyat untuk mendukung hak warga menggunakan kekuatan bersenjata untuk melawan junta. Mereka juga menerbitkan kode etik untuk berbagai kelompok milisi.
Mereka sudah menggalang dana besar dari diaspora Myanmar di luar negeri. Mereka membentuk kementerian pertahanan.
Dalam skema komando itu, George, yang sekarang memimpin sebuah batalion PDF, mengaku rutin berkomunikasi dengan pimpinan perlawanan. Namun dia berkata, keinginan pimpinan etnik Karen yang mendampinginya harus didahulukan.
Satu tahun telah berlalu sejak kudeta militer lalu. Perlawanan terhadap kekuasaan militer di Myanmar telah bertransformasi dari awal yang riuh dan penuh warna.
Pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 1.500 orang. Sebagian korban tewas dalam pembantaian yang mengerikan. Ratusan rumah juga telah mereka hancurkan.
Junta militer Myanmar mengklaim ratusan aparat mereka terbunuh dalam serangan bom, pembunuhan dan penembakan dari kendaraan.
Ekonomi Myanmar dalam titik kehancuran. Hari ini semakin banyak orang yang terpaksa melarikan diri dan menjadi eksil.